4-

69 34 96
                                    

4. Truth





"Sen, kalo matematika udah penuh gimana?"

Abel berjalan mundur, badannya menghadap Arsen. Abel melihat tepat ke arah retina mata Arsen, begitu pula sebaliknya.

Satu hal yang Abel suka dari cowok ini, selalu menatap ke arah lawan bicara dengan teduh. Di mana Abel selalu merasa istimewa ketika melihat di mata cowok itu hanya ada gambaran dirinya.

Memang, setiap lawan bicara akan menatap ke arah dirinya. Tapi, berhubung Arsen adalah orang yang ia suka, hal tersebut menjadi hal mendebarkan baginya.

"Ikut yang lain."

"Berapa sih anaknya?"

Abel mendengus saat Arsen menarik pundaknya untuk berjalan menghadap depan. "Awas tiang!"

Mereka berjalan beriringan menuju lab lama yang sudah tidak terpakai. Sepertinya Mandala High School akan mengubahnya menjadi tempat rapat ekskul.

Abel melihat ke kanan-kiri. Baru sadar ternyata sekolah swasta ini luas juga. Dirinya maupun Kalea memang jarang sekali keliling sekolah. Lebih memilih mendekam di kelas maupun di kantin sebagai opsi kedua.

"Sen, kalo nggak salah bunga yang pojok itu gue deh yang bawa. Udah besar aja gila, Pak Ben harus di kasih tips besar sih." Abel menunjuk ke arah bunga sepatu.

Abel tersenyum sumringah memperlihatkan gigi rapihnya.

"Inget nggak lo dulu bawa bunga apaan?" Abel menoleh menatap Arsen.

Cowok ini memang selalu keren. Dari cara berjalan selalu tegap, cara menatap selalu dalam dan intens, cara berbicara terdengar soft, cara berpakaian rapi semuanya keren. Abel diam-diam berdecak kagum.

"Bunga kamboja."

Dulu banget sewaktu mereka MPLS diharuskan untuk membawa satu pot bunga. Abel jadi teringat hal lucu saat itu.

Abel tertawa kecil. "Inget banget, si Alang iseng metik satu bunga buat dimasukin ke mulut Fadil. Seharian tuh misuh-misuh."

Arsen menganggukkan kepalanya. Menyimak obrolan dengan seksama.

"Abel!"

Abel menoleh ke kanan, sengaja menatap sengit ke arah Sintia. "Bareng aja, mau ke lab kan?"

Arsen berdehem kemudian mengangguk. Tanpa disadari cowok itu mengukir senyum tipis.

"Emang ruangan basket di situ?" Cibir Abel.

"Apasih, sensi mulu sama gue? Iya, gue mau lewat situ." Sintia memutar bola matanya. Senyum tipis ia berikan ke arah Arsen yang berjalan di tengah, sengaja untuk lebih dekat dengan pacarnya.

"Balikin bola kaca gue." Abel mengungkit masalah kemarin.

Arsen menghela napas, ribut lagi pasti.

Arsen bukan sekali dua kali mendengar cek-cok antara pacarnya dan juga temannya. Memilih diam adalah opsi terbaik.

Kecuali, sudah main fisik.

"Apasih Bel? Gue udah nyari di toko online maupun offline tetep nggak ada ya!" Suara Sintia naik satu oktaf.

"Napa situ yang sewot, anjir?!" Abel menarik tangan Arsen agar lebih cepat.

Arsen, cowok itu melepas tangan Abel kemudian berhenti. "Bel? Drama banget."

Arsen terdiam, dirinya ikut kaget telah mengucapkan kalimat tersebut. Matanya berkedip menatap Abel yang juga menatapnya kecewa.

Pun sama dengan Abel, dirinya ikut terdiam saat mendengar ucapan Arsen.

SWEET FEELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang