Luna berbaring di pinggir ranjang dengan tubuh menempel di sisi ranjang, berusaha menjaga jarak dari Bintang yang berbaring di yang lain. Jantung Luna berdebar kencang. Ia bingung harus bersikap bagaimana menghadapi situasi ini.
Bintang menyadari gerak-gerik Luna yang gelisah. Ia pun berkata, "Luna, kamu tidak perlu takut. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini."
Luna menoleh dengan ragu. "Benarkah?"
Bintang tersenyum lembut. "Tentu saja. Aku mengerti ini semua terlalu mendadak bagimu. Kita baru saling mengenal kurang dari sebulan. Jadi wajar kalau kamu belum siap untuk intim denganku."
Luna menghela nafas lega mendengar ucapan Bintang. Rupanya Bintang cukup peka untuk memahami perasaannya.
"Terima kasih. Aku memang masih butuh waktu untuk terbiasa dengan semua ini," ujar Luna jujur.
Bintang mengangguk maklum. "Tidak masalah. Kita jalani saja pelan-pelan. Jangan dipaksakan. Kita lakukan kewajiban sebagai suami istri kalau kita berdua sudah benar-benar siap."
Mendengar itu, Luna akhirnya bisa sedikit rileks. Ia pun tidak lagi menempel di pinggir ranjang dan berbaring sedikit lebih tenang. Meski masih belum terbiasa tidur seranjang dengan Bintang, setidaknya kata-kata Bintang tadi sedikit mengurangi kegugupannya.
Luna memejamkan mata, berusaha untuk segera tertidur dan melupakan kecanggungan yang dirasakannya. Sedangkan Bintang hanya tersenyum tipis melihat Luna yang sudah mulai tenang, lalu ikut memejamkan matanya.
***
Keesokan paginya, Luna dan Bintang berkemas untuk pindah ke rumah baru mereka. Dengan pengawalan dari Yenny dan seorang anggota paspampres bernama Joko, mereka berangkat menuju rumah baru itu dengan menggunakan mobil Bintang.
Sesampainya di sana, Luna menatap rumah bergaya minimalis modern itu dengan pandangan kurang puas. Meski rumah itu megah dan elegan, tapi terlalu minimalis dan tidak sesuai dengan seleranya.
Bintang yang menyadari raut wajah Luna, bertanya, "Kamu nggak suka ya sama rumahnya?"
Luna menjawab dengan hati-hati, "Bukan begitu, hanya saja aku lebih terbiasa dengan rumah bergaya klasik. Ini terlalu minimalis untukku."
Bintang mengangguk paham. "Oke, kalau begitu kamu renovasi saja interiornya sesuai seleramu," ujarnya santai.
"Eh, nggak perlu sampai renovasi. Aku nggak mau merepotkan, Lagian, lama-lama aku juga bakal terbiasa," tolak Luna halus.
"Nggak merepotkan sama sekali. Anggap saja ini hadiah pernikahan dariku. Kamu berhak mendapatkan rumah impianmu," bujuk Bintang.
Luna tersenyum kecil mendengar tawaran baik hati Bintang. Tapi ia tetap menggeleng.
"Terima kasih Bintang, tapi aku nggak mau menyinggung perasaan orang tuamu yang sudah susah payah menyiapkan rumah ini untuk kita," ucap Luna bijak.
Bintang mengacak rambutnya sendiri dan tertawa. "Ya ampun, kamu ini terlalu baik Luna. Tapi ya sudahlah kalau memang itu maumu."
Meski sedikit kecewa dengan desain interior rumahnya, Luna memutuskan untuk menerimanya apa adanya. Baginya, menjaga hubungan baik dengan mertua jauh lebih penting.
***
Setelah membereskan barang-barang di rumah barunya, Luna menyempatkan diri mampir ke hotel tempat Rahmi menginap sebelum kembali ke istana. Luna ingin menyapa Rahmi yang hari itu akan kembali ke Jogja.
Begitu tiba di kamar hotel Rahmi, Luna langsung disambut pelukan erat dari sepupunya itu.
"Lun, kangen banget sama kamu! Gimana kabarnya nih, pengantin baru?" goda Rahmi. Luna hanya tertawa malu.
YOU ARE READING
Unwanted Marriage
RomanceLuna, putri satu-satunya presiden yang sedang berkuasa, dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya dengan Bintang, putra sulung dari calon presiden berikutnya dari partai yang sama dengan ayahnya. Luna yang tadinya menolak perjodohan tersebut akhirnya...