Setelah sesi wawancara usai, Bintang dengan ramah membagikan kotak-kotak makanan yang dibawanya kepada para awak media. Ia mempersilahkan mereka untuk menikmati makan siang gratis itu.
Sementara para wartawan sibuk menyantap hidangan, Bintang menghampiri Luna yang duduk di salah satu meja.
"Ayo kita makan juga. Pasti kamu lapar kan habis diwawancara tadi," ajak Bintang ceria.
Luna hanya mengangguk singkat lalu mulai menyantap makan siangnya dalam diam. Ia masih merasa canggung duduk berdua dengan Bintang.
"Kamu nggak perlu sungkan begitu. Anggap saja kita teman lama yang kebetulan dijodohkan," ujar Bintang santai, seolah bisa membaca pikiran Luna.
Luna akhirnya angkat bicara. "Terima kasih sudah repot-repot membawakan makan siang ke sini. Sebenarnya ini tidak perlu dilakukan," ucap Luna sopan.
Bintang tertawa kecil mendengar ucapan Luna yang kaku itu. "Ah, ini bukan apa-apa kok. Lagipula aku melakukannya buat orang tua kita," candanya.
Luna mengernyit bingung mendengar ucapan Bintang. "Maksudnya?"
"Ibu kita yang memintaku sering mengunjungimu sebelum pernikahan kita. Katanya biar terlihat alami, bukan perjodohan," jelas Bintang santai.
Luna mengangguk paham. Jadi memang benar dugaannya kalau kunjungan Bintang atas permintaan orangtua mereka.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" ujar Luna hati-hati.
"Tentu. Silakan saja," sahut Bintang ramah.
"Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Apa karena takut mengecewakan orangtua?" tanya Luna penasaran.
Bintang terkekeh mendengar pertanyaan Luna yang terlalu langsung itu.
"Hmm gimana ya? Sebenarnya sih menurutku kamu cukup ideal kok sebagai calon istri," jawab Bintang enteng.
Luna mengernyitkan dahi mendengar jawaban mengejutkan itu. "Maksudnya?"
"Yah, pertama kamu kan anak presiden. Jadi otomatis berstatus sosial tinggi dan terhormat," jelas Bintang.
Luna mendengus kesal mendengar alasan dangkal Bintang. Jadi dia hanya dinilai dari status keluarganya saja?
"Terus kedua, secara fisik dan intelektual kamu juga nggak jauh dari tipe wanita idamanku sih. Manis, anggun, pintar," tambah Bintang tanpa dosa.
Luna hampir tersedak mendengar pengakuan blak-blakan Bintang itu. Jadi selama ini Bintang menilainya hanya dari status sosial dan penampilan luar saja? Sungguh mengecewakan!
"Jadi intinya aku menerima perjodohan ini karena menurutku kamu cukup ideal sebagai istri. Apalagi dengan menikahimu, aku bisa sekalian membahagiakan orangtuaku. Win-win solution kan?" ujar Bintang mengakhiri penjelasannya.
Luna benar-benar speechless mendengar alasan Bintang. Ternyata calon suaminya itu sangat dangkal, hanya memandangnya dari status dan fisik belaka. Luna jadi semakin ragu apakah ia sanggup menikah dengan pria seperti itu.
"Kenapa Luna? Kok bengong?" tegur Bintang heran melihat reaksi Luna.
Luna segera tersadar dari lamunannya. "Ah, nggak kenapa-napa kok. Aku hanya agak kaget mendengar penjelasanmu yang terlalu jujur itu," kilah Luna.
"Memangnya kenapa? Bukannya jujur itu lebih baik? Daripada aku berbohong dan bersandiwara kalau aku menerima perjodohan ini karena cinta pada pandangan pertama misalnya," kekeh Bintang.
Luna hanya bisa tersenyum miris mendengar celotehan polos Bintang. Lelaki ini sama sekali tidak peka. Luna jadi semakin ragu apakah ia sanggup menikah dengan Bintang yang memiliki pemikiran dangkal seperti itu. Tapi Luna juga tidak punya pilihan lain selain menerima perjodohan demi menyelamatkan yayasan peninggalan kakeknya.
Dengan hati berat Luna memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana pernikahan meski semakin kecewa dengan sosok Bintang. Luna berharap sikap dangkal Bintang hanyalah kesan pertama yang keliru. Mungkin setelah mengenal lebih jauh, Bintang bisa terbukti lebih baik dari perkiraannya. Itulah harapan tipis yang kini masih Luna pegang.
***
Luna duduk termenung di depan cermin besar di ruang rias. Matanya menatap pantulan dirinya yang kini terbalut gaun pengantin putih nan anggun. Rambut hitam panjangnya disanggul rapi dengan hiasan bunga-bunga kecil yang manis. Wajah ayunya tampak bersinar setelah dipoles make up natural yang membuatnya terlihat memesona.
"Wah, Nona Luna cantik sekali hari ini. Persis putri raja saja," puji Bu Widyo, make up artist kebanggaan istana yang ditugaskan mendandani Luna.
Luna tersenyum tipis. "Terima kasih Bu. Kalau bukan Bu Widyo yang mendandani, mungkin nggak bisa sebagus ini hasilnya," balas Luna ramah.
"Ah biasa saja Nona. Nona Luna kan memang sudah cantik, jadi saya tinggal menonjolkan kecantikan alami Nona saja," sahut Bu Widyo merendah.
Obrolan keduanya terhenti saat terdengar ketukan di pintu. Seorang staf wedding organizer masuk dan memberitahu acara akan segera dimulai.
"Nona Luna, acara akan dimulai 5 menit lagi. Mohon bersiap-siap," ujarnya sopan.
Jantung Luna berdegup kencang mendengar pemberitahuan itu. Sebentar lagi dia akan resmi menikah dengan Bintang, pria yang bahkan baru dikenalnya beberapa minggu yang lalu.
"Baik, terima kasih," sahut Luna gugup.
Setelah staf itu undur diri, Bu Widyo membantu Luna untuk berdiri. "Pelan-pelan saja jalannya."
Luna mengangguk singkat. Sebelum mulai berjalan, sekali lagi Luna menatap pantulan dirinya di cermin. Dia masih tidak percaya semua ini terjadi begitu cepat. Apakah keputusannya sudah tepat? Masih adakah waktu untuk mundur?
Luna menggelengkan kepalanya, mengenyahkan keraguan itu. Tidak, dia tidak boleh mundur. Demi menyelamatkan yayasan kakeknya, Luna harus teguh pada keputusannya.
***
Dengan langkah berat, Luna melangkah menuju altar pernikahan di halaman Istana Kepresidenan yang telah disulap menjadi venue pernikahan megah nan elegan. Matanya menatap deretan kursi tamu yang telah terisi penuh oleh para tamu undangan. Mereka menatap Luna dengan decak kagum, membuat Luna sedikit salah tingkah.
Sesampainya di altar, Luna melihat Bintang sudah duduk di kursinya. Di hadapan Bintang, ayahnya yang juga merupakan calon mertua Bintang duduk dengan wibawa. Tak lupa dua orang saksi, yang merupakan menteri yang dekat dengan keluarga Luna dan Bintang, sudah bersiap di tempatnya masing-masing.
Bintang tersenyum lebar menyambut kedatangan Luna. Namun Luna hanya membalasnya dengan senyum tipis. Dia masih merasa canggung dan ragu, apakah senyum Bintang itu tulus atau hanya formalitas belaka.
Luna pun mendudukkan dirinya di samping Bintang. Jantungnya berdegup kencang menyadari sebentar lagi statusnya akan berubah. Dia akan resmi menjadi istri Bintang, seseorang yang bahkan belum lama dikenalnya.
Sang penghulu pun memulai ijab kabul. Suasana menjadi hening dan khidmat.
"Saya nikahkan engkau, Bintang Mahendra dengan Luna Aurora binti Abdi Negara, dengan mas kawin berupa emas tunai seberat 5 gram dan perhiasan senilai 20 juta rupiah. Apakah saudara menerima Luna Aurora sebagai istrimu?" tanya sang penghulu pada Bintang.
"Saya terima nikahnya Luna Aurora binti Abdi Negara dengan mas kawin yang telah disebutkan," jawab Bintang tegas.
Kemudian penghulu beralih pada Abdi Negara.
Abdi Negara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab lirih, "Saya terima nikahnya Bintang Mahendra dengan mas kawin yang telah disebutkan."
Setelah ijab kabul selesai, keduanya menandatangani akta nikah. Dan saat itulah Luna merasa seluruh tubuhnya melemas. Dia masih tidak percaya, kini dirinya telah resmi menjadi seorang istri. Istri dari pria pilihan orangtuanya, bukan pilihan hatinya sendiri.
Suka sama ceritanya? Jangan khawatir, novel ini bisa kamu baca secara gratis sampai selesai. Kalau kamu pencinta cerita romansa, aku punya koleksi cerita lainnya di Karyakarsa. Ayo, baca dan dukung karyaku di sana!
Klik link yang di Bio ya!
YOU ARE READING
Unwanted Marriage
Roman d'amourLuna, putri satu-satunya presiden yang sedang berkuasa, dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya dengan Bintang, putra sulung dari calon presiden berikutnya dari partai yang sama dengan ayahnya. Luna yang tadinya menolak perjodohan tersebut akhirnya...