Luna duduk termenung di tepi ranjang. Pikirannya kacau setelah mendengar rencana perjodohan yang disiapkan orang tuanya secara sepihak. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki bernama Bintang sebelumnya. Bahkan pertemuan pertama mereka baru terjadi beberapa jam yang lalu saat acara makan malam di istana.
"Luna, Ibu tahu kamu masih shock dengan rencana pernikahan ini. Tapi percayalah, Bintang adalah pria pilihan yang sangat tepat untukmu," bujuk Maya lembut.
Luna menggeleng tegas. "Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai, apalagi tidak kukenal, Bu!" tolaknya.
"Bintang bukan orang sembarangan, Lun. Dia putra sulung keluarga Mahendra yang kaya raya itu. Ayahnya adalah kandidat presiden paling kuat untuk pilpres berikutnya. Kemungkinan besar dia akan jadi presiden setelah ayahmu. Itu artinya kamu tidak hanya jadi anak presiden saat ini tapi kamu juga akan jadi menantu calon presiden berikutnya!" jelas Maya panjang lebar.
Luna masih bergeming. Ia sama sekali tidak tertarik dengan peningkatan status sosialnya, apalagi dengan latar belakang calon suaminya itu.
"Belum lagi, Bintang sendiri juga sangat tampan dan berprestasi. Dia pewaris utama bisnis keluarganya yang sangat sukses. Masih banyak gadis di luar sana yang mengantri ingin menikah dengannya, tapi Bintang memilihmu, Luna!" puji Maya.
"Pokoknya aku menolak, Bu. Aku belum siap menikah. Lagipula aku harus fokus mengembangkan yayasan peninggalan kakek," tegas Luna. Ia sudah bulat dengan pendiriannya.
Maya menghela napas panjang. Dipandanginya wajah Luna lekat-lekat. "Baiklah kalau itu keputusan finalmu. Ibu tidak akan memaksamu lagi," ucap Maya akhirnya.
Luna mengangguk lega mendengar pernyataan ibunya. Setidaknya ia tidak perlu dipaksa menerima perjodohan dengan Bintang.
"Tapi dengar, Ibu. Jangan harap kamu bisa mendapatkan calon suami yang lebih baik dari Bintang. Dia adalah yang terbaik dari yang terbaik. Pikirkanlah masak-masak," nasihat Maya sebelum beranjak pergi meninggalkan kamar Luna.
Luna termenung sejenak memikirkan ucapan ibunya. Meski enggan mengakuinya, sepertinya memang sulit menemukan calon suami yang lebih sempurna dari Bintang dilihat dari latar belakang keluarga dan pencapaiannya. Tapi tetap saja, Luna merasa belum siap berumah tangga. Ia masih ingin fokus membangun kariernya di yayasan peninggalan kakeknya.
Keesokan paginya, Luna berangkat ke kantor yayasan dengan perasaan tidak menentu. Ia masih memikirkan pembicaraannya dengan sang ibu semalam. Begitu tiba di yayasan, Luna langsung disambut hangat oleh para staf dan pengurus. Mereka sangat antusias menyambut kepulangan Luna dari studinya di luar negeri.
"Kak Luna, senang sekali melihat Anda kembali. Kami sudah lama menunggu Anda untuk memimpin yayasan ini," sambut Mira, salah satu relawan yayasan.
Luna tersenyum kikuk mendengar sambutan itu. Di dalam hati ia merasa tidak yakin mampu memenuhi ekspektasi mereka. Kondisi yayasan saat ini jauh dari kata prima, berbeda jauh saat kakeknya masih hidup dulu.
Sepanjang hari itu Luna mengunjungi berbagai fasilitas yayasan, dari panti asuhan, rumah singgah, hingga poliklinik gratis. Kondisi semua fasilitas itu sangat memprihatinkan. Gedung-gedungnya tampak kumuh dan minim perawatan. Peralatan yang tersedia sangat terbatas dan banyak yang rusak. Luna sangat sedih melihat yayasan yang dulu digdaya kini begitu terlantar.
Saat berkunjung ke kantor pusat yayasan, Luna makin dibuat terkejut. Tumpukan tagihan menggunung di meja administrasi keuangan, menandakan krisis dana yang parah. Bahkan gaji pegawai bulan ini belum bisa dibayarkan.
"Maaf Kak Luna, kami sudah berusaha semaksimal mungkin mencari donatur dan sponsor baru. Tapi peminatnya sedikit sekali. Keuangan yayasan saat ini sangat memprihatinkan," jelas Mira dengan wajah sendu.
YOU ARE READING
Unwanted Marriage
RomansLuna, putri satu-satunya presiden yang sedang berkuasa, dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya dengan Bintang, putra sulung dari calon presiden berikutnya dari partai yang sama dengan ayahnya. Luna yang tadinya menolak perjodohan tersebut akhirnya...