chapter IV

22 5 4
                                    

***

"Assalamualaikum.."

"Wa'alaikumussalam. Eh kalian, mari masuk. Ratih ada di kamarnya." Sambut Ratna—Ibu Ratih, sambil tersenyum ramah.

"Ah, iya bu. Kita izin masuk ya," ucap Salsa yang hanya dibalas anggukan.

Mereka berempat langsung pergi menuju kamar Ratih dengan perasaan yang tidak karuan. Ragu, takut, sedih, dan cemas semua jadi satu.

Krek..

Salwa membuka pintu kamar Ratih dengan sangat pelan. Disamping itu, mereka juga takut terjadi apa-apa kalau Ratih benar di ikuti oleh sosok Adel.

"Tih.. "

Putri mencoba menyapa Ratih yang sedang duduk melamun di depan cermin, dengan perasaan ragu.

"Hey.."

"Ratih.." Kini Salwa juga ikut bersuara. Namun, sang pemilik nama masih tak menggubris.

"Tih, lo denger kita gak sih?!" Salsa yang tak sabaran itu mulai kesal, ia langsung menghampiri Ratih dan berdiri disampingnya.

"Ratih! Lo kenapa?! Sadar dong, sadar! Kita ada disini buat lo!" Geramnya.

"Sal, udah. Ini udah gak wajar." Ucap Cika dengan tatapan penuh makna.

Hening. Keempat gadis itu hanya bisa saling tatap satu sama lain, tanpa satu kata pun. Mungkin, menyesal adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan mereka saat ini.

"Anak-anak, mari di minum dulu airnya. Sudah Ibu siapkan di meja sana," ucap Ratna, sambil memberi isyarat untuk keluar.

Keempat gadis itu paham, mereka langsung beranjak pergi dari kamar Ratih.

"Silahkan duduk,"

Mereka berempat duduk dengan perasaan cemas, sambil sesekali beradu tatap. Tatapan yang seolah berbicara tentang apa yang harus mereka katakan soal kejadian ini.

"Bu, kalau boleh tau, sejak kapan Ratih jadi seperti ini?" Tanya Putri seolah tidak mengetahui apa-apa.

Ratna menghela napas panjang, ia sangat terpuruk dengan keadaan anaknya saat ini.

"Malam itu, Ratih pulang dengan terengah-engah. Dia bilang, dia diikuti oleh sosok aneh," Ratna menjeda ucapannya, berharap mendapat jawaban soal 'sosok aneh' itu. Tapi Salsa dan teman-temannya masih tetap diam, seperti benar-benar tidak tahu soal kejadian ini.

"Lalu, bu?" Tanya Cika dengan mengangkat kedua alisnya.

"Lalu, dia pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaian." Lanjut Ratna.

Keempat gadis itu kemudian mengangguk tanda mengerti, sambil saling bertukar tatap.

"Berarti hanya itu ya, bu? Gak ada hal aneh yang lain sebelum dia jadi seperti ini?" Tanya Salsa meyakinkan.

"Ada-"

"AAAA!"

"JANGAN GANGGU AKU! JANGAN GANGGU! PERGI!!"

Belum sempat Ratna melanjutkan ucapannya, tiba-tiba Ratih berteriak histeris. Sontak semua yang ada di sana kaget dan langsung menghampiri.

Kondisinya benar-benar parah. Ia menangis, duduk di pojok ruangan sambil memeluk dirinya sendiri.

"Pergi... Hiks.. Hiks.."

"Pergi..."

"Sebenarnya apa yang kalian lakukan kemarin malam?! Kenapa anak saya jadi seperti ini?!" Tanya Ratna dengan nada tinggi.

"K-kami tidak melakukan apa-apa kok, bu.." Ucap Putri dengan terbata-bata.

"Semalam memang Ratih pulang duluan, padahal sudah kami bilang untuk nanti saja, tapi ia tetap memaksa pergi." Sahut Salwa mengelak.

Ratna sibuk menenangkan anaknya. Ia membawa Ratih kembali ke tempat tidur,

"Udah nak, udah.. Ibu ada disini.."

Ratih akhirnya bisa memejamkan mata. Entah bagaimana perasaan Ratna saat ini, yang pasti sangat hancur.

Salsa dan teman-temannya juga bingung harus melakukan apa, pikiran mereka buntu. Mereka takut nasib Ratih akan sama seperti sahabatnya yang lain itu, Adel.

"Bu, k-kita izin pulang dulu, ya? Hari juga sudah mau gelap." Ucap Cika dengan nada rendah, ia benar-benar tidak enak hati.

Mau bagaimana lagi? Tak mungkin mereka menginap di sana tanpa melakukan apa-apa. Ini semua perlu dibicarakan.

"Oh, yasudah. Kalian hati-hati ya, cuaca juga sedang tidak baik sepertinya." Sahut Ratna.

"Iya bu, terimakasih. Kita pamit dulu.." Ucap Salsa yang lalu bersalaman dengan Ratna, diikuti oleh tiga temannya itu.

"Assalamualaikum, bu.."

"Iya.. Waalaikumsalam."

***
Rumah Salsa, Cika, dan Putri berada di arah yang berlawanan, mengharuskan mereka berpisah di pertigaan. Sedangkan Salwa, ia sudah lebih dulu sampai ke rumah.

"Duluan ya, Sal." Ucap Cika dan Putri sambil melambaikan tangan.

Entah kenapa, jalanan sore ini terasa sangat sepi. Tapi mereka tak menghiraukan hal itu, keduanya pun sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Aku duluan ya, put. Kamu hati-hati, cuaca sudah mau gelap." Ucap cika yang sudah berada di depan gang rumahnya.

"Oh iya, _bye_ Cik." Sahut Putri dibalas lambaian tangan oleh Cika.

**
Putri melanjutkan perjalanannya, entah kenapa perasaannya tidak enak. Hawa disekitarnya juga cukup dingin.

"Put,"

Glek.

Putri menelan ludah kasar. Suara yang sangat jelas, tepat dibelakangnya. Namun, ia tak menghiraukan panggilan itu dan mempercepat laju jalannya.

"Put.."

"Putri.."

"Tolong.."

Putri menghentikan pergerakannya, ia mencoba memberanikan diri untuk menoleh ke arah suara itu berasal.

Perlahan, memutar kepala dengan detak jantung yang berdebar kencang.

Deg.

Sosok Adel dengan seragam sekolah yang berlumuran darah itu ada disana. Terpaut jarak hanya 5 meter, dibelakangnya.

Putri mematung, seluruh badannya terasa kaku. Ia hampir menangis, matanya sudah berkaca-kaca. Sedangkan sosok itu semakin mendekati dirinya.

"Putri!" Seorang wanita paruh baya memanggilnya dengan sedikit berteriak, membuat sang pemilik nama cepat-cepat mengalihkan pandangan.

"Mamah!" Putri bergegas lari menghampiri mamahnya yang berada di depan gang rumahnya itu.

"M-mamah ngapain disini? Tumben banget." Tanya Putri dengan nafas yang masih terengah-engah.

"Mamah mau ke warung sebrang, warung dekat rumah kita sedang tutup." Jelasnya.

"Oh, gitu."

"Iya. Kamu pulang sana, papah kamu di rumah sendiri tuh," ucap mamah Putri sambil menoleh ke arah rumah.

"Oke, mama hati-hati, ya."

"Iya."

Lega. Akhirnya Putri terlepas dari sosok Adel yang membuatnya hampir pingsan. Ia langsung berlari menuju rumahnya sebelum terjadi sesuatu yang lebih mengejutkan.

Ritual Pemanggilan ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang