Perkenalkan, aku Sagara. Panggilanku Blue, tapi panggil aku sesuka hati kalian saja.
Hari-hari makin berlalu? Iya, dan ini semakin memuakkan.
Memang seberapa berat? Sangat berat.
Kali ini, rasanya aku tenggelam dalam lautan hampa yang sangat gelap.
Air laut ini mulai masuk ke dalam tubuhku, napasku juga sudah habis, dan kini penglihatanku mulai pudar. Di persekian detik selanjutnya, semuanya gelap. Aku hilang kesadaran.
Deg!!
"Kamu, gapapa?"
Dua kata yang mampu membuatku menangis kencang. Dua kata dari seorang raga yang aku rasa dia peduli akan keadaanku saat ini.
"Hey, kamu gapapa?"
Lagi, dia menanyakannya lagi padaku. Dan aku masih menangis sekarang.
"Ayo kita ke UKS, Ra."
Namanya, Bagaskara. Dia murid baru di sekolah ini, tepat 1 minggu yang lalu. Aku membuat nama panggilan untuknya diam-diam, 'Red' nama panggilannya. Tapi dia belum mengetahui hal itu sekarang.
Kalau ditanya, iya dia satu-satunya orang yang kini peduli denganku. Hanya dia. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi aku bersyukur karena Tuhan masih menyisakan satu raga yang peduli denganku.
"Ngga usah, makasih ya."
"Tapi kamu ngga baik-baik aja sekarang. Ayo, ikut aku, Ra," katanya, sambil mengulurkan tangannya padaku.
Di detik ke tiga, aku menerima uluran tangan itu, dan kami berdua pergi menuju UKS.
Sesampainya di sana, aku langsung duduk di ranjang, dan Bagaskara nampaknya sibuk mencari obat.
"Apa yang kamu rasain sekarang, Ra? Sakit di bagian mana? Kepala?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya padaku.
"Cape, Red."
Perkataan yang membuat aktivitasnya terhenti. Dia mengalihkan pandangannya padaku dengan raut wajah yang bingung.
"Red? Siapa, Red?"
"Kamu. Aku boleh manggil kamu, 'Red' ga?"
"Oh, hahahah! Red ya? Boleh deh, terserah kamu, Ra."
"Oke, thanks ya."
Bagaskara kini duduk di kursi tepat di sebelah ranjang ku. Ia menatapku sambil tersenyum.
"Ra cape kenapa? Mau cerita?"
Aku menghela napas yang berat. Hadirnya membuatku sedikit lebih tenang.
"Red, aku ...."
Aku tak bisa menahan isak tangis yang mulai menjadi-jadi. Tapi dia hanya menatapku tanpa berkata apa-apa, menunggu aku melanjutkan perkataanku tadi.
"Aku cape. Sama semuanya. Muak banget, Red."
Aku terus-menerus menangis, tanpa sadar bahwa dia dari tadi menunggu ku. Aku lalu mengusap air mata yang membasahi pipiku.
"Ini tisunya," kata Bagaskara sambil menyerahkan kotak tisu padaku. Tanpa berpikir lama aku mengambil tisu itu dan mengucapkan terima kasih padanya.
"Ngga apa-apa, Ra. Semuanya bakal baik-baik aja."
"Tapi sekarang semuanya lagi ngga baik-baik aja, Red. Berapa lama lagi aku harus disini?"
Pertanyaan yang membuat Bagaskara menggelengkan kepalanya dan berkata, "Ngga boleh ngomong gitu, Ra."
Dia menghela napasnya, tersenyum manis dan menepuk-nepuk pundak ku.
"Kamu harus tahu Ra, kalau takdir Tuhan itu indah banget. Ngga ada saingannya. Kalau kamu sekarang cape kayak gini, pasti nanti kamu bakalan ngerasain bahagia banget. Iya, ngga langsung sekarang, tapi nanti. Kita tinggal nunggu waktu yang tepat aja.
Kamu tahu nggak? Aku pindah sekolah karena orang tua aku. Awalnya aku juga nolak, tapi ternyata pas pindah ke sini, aku ketemu orang yang benar-benar bikin aku semangat sekolah."
"Siapa?"
"Dia kayak lautan biru yang gelap banget. Suram tau, kayak ngga mau ngomong sama siapapun. Dia sendirian terus, sereemm tauu. Terus ya, aku coba deketin dia. Nah! Ternyata pas udah aku deketin, dia beda 180°. Dia cantik banget, dan orang itu, adalah orang yang ada di hadapan aku sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara yang Tertutup Raga
Teen FictionJujur saja, tulisan ini sudah cukup lama direncanakan, tapi aku takut untuk menuliskannya karena dia yang dianggap baskara tak kunjung hadir. Namun, akhirnya dia hadir kembali, dengan sosok yang sepertinya berbeda dari sebelumnya. Aku tidak berharap...