Matahari terlihat bersinar menyinari kamar tidur. Membuatku, tanpa sadar terbangun dari tempat tidur. Mataku terbangun secara perlahan, memperlihatkan suamiku yang terlihat indah saat tidur. Aku bertanya-tanya bagaimana dia masih tetap tampan bahkan saat tidur.
Setelah kuingat lagi, aku ingin menikahi Sean dulu saat pertama kali kami bertemu. Kencan yang diinginkan oleh orang tuaku awalnya kutolak mentah-mentah bahkan aku sudah berencana menolaknya langsung bahkan sebelum kami bertemu. Tapi itu sia-sia, setelah bertemu aku memaksa orang tuaku untuk membujuk suamiku dulu untuk menikahiku.
"Mungkinkah, kamu terpaksa menikah denganku?" Ucapku sambil membelai rambutnya yang tipis
"Benar, pernikahan yang di jodohkan pasti memberatkanmu. Dia pasti berusaha memenuhi tugasnya dan menjagaku." Gumamku dalam hati dengan mata yang berlinang.
"Tapi maafkan aku" Ucapku sambil menghapus air mataku.
"Aku tidak bisa berpisah denganmu dan bahkan jika kamu masih menyukai orang lain aku akan berpura-pura tidak mengetahuinya selama kamu disisiku." Ucapku diam sambil bertekad
Aku bangun membersihkan badan dan bersikap biasa sebagaimana mestinya dengan membuat sarapan untuknya.
Sarapan yang telah kusediakan namun Sean masih belum turun juga, sehingga kuputuskan untuk naik membangunkannya mungkin saja dia masih tidur.
"Sayang... Kamu belum bangun?"
Pintu yang terbuka namun masih menunjukkan Sean yang masih di kasur. Aku mendekat, mencoba membangunkannya, Sean yang tadi waktu bangun masih baik-baik saja entah mengapa dia terlihat sakit kali ini.
"Sayang, kamu kenapa?"
Tanyaku khawatir sambil mengecek suhu tubuhnya yang meningkat. Dia terlihat mulai bangun, wajahnya sedikit pucat membuatku semakin khawatir.
"Tidak, tidak apa-apa. Sepertinya, aku hanya sedikit demam sayang." Ucapnya sambil membelaiku.
Baru kali ini aku mendapatinya sedang sakit, membuat perasaanku risau aku tidak pernah mengurus orang sakit.
"Haruskah kita ke rumah sakit." Ucapku sambil menangis.
Sambil tertawa kecil, dia mengusap kepalaku.
"Tidak aku akan membaik setelah istirahat."
Setelah penolakan berulang kali, kuputuskan untuk membiarkannya istirahat dan pergi membeli obat.
"Hah, bukankah dia harus segera ke dokter, bagaimana jika dia semakin sakit? Suamiku tidak akan meninggalkanku kan?" Omelku saat sedang bersiap-siap keluar.
______________
"Apakah anda membutuhkan sesuatu"
"Suamiku.. suamiku sekarat, dia demam dan wajahnya pucat."
"Maaf?" Ucap karyawan di depanku dengan bingung
"Dia berkata dia hanya sedang demam dan tidak ingin di bawa ke rumah sakit"
"Baik, ini beberapa obat penurun panas, sakit kepala dan obat pereda nyeri. Bila gejala masih berlaku selama 24 jam atau semakin memburuk anda bisa membawanya langsung ke dalam rumah sakit"
"Terima kasih" Ucapku sebelum pergi keluar.
_____________
Sebelum ke rumah aku singgah untuk membeli bubur. Sesampainya di rumah, aku mempercepat jalanku kemudian menyiapkan makanan sebelum dia minum obat.
"Sayang" Ucapku membangunkannya sambil memeriksa demamnya.
"Kamu sudah pulang, kenapa kamu lama sekali" Sambil merengek dan memelukku yang masih berdiri.
"Maaf, apakah kamu kesakitan? Sebaiknya kamu makan dulu, kemudian minum obat"
Suamiku masih memelukku untuk beberapa saat, kemudian melepaskanku dan memperbaiki posisinya menjadi setengah duduk. Dia terlihat sangat pucat dan demamnya terlihat lebih parah.
"Aku akan membantumu makan" Ucapku sambil berusaha menyuapinya.
"Mmm, terima kasih" Ucapnya sambil tersenyum kecil.
Dia berusaha untuk menelannya, namun setelah beberapa sendok suamiku menyerah sambil berusaha untuk tidur lagi.
"Tunggu, sayang kamu harus minum obat dulu"
Setelah dia berbaring aku berusaha bangun ingin membersihkan makanan yang tadi pagiku buat.
"Sayang, kamu akan menemaniku kan?" Sambil mengulurkan tangannya
"Iya, tapi aku akan membersihkan beberapa hal dulu"
"Nanti, nanti saja. Jadi, bisakah kamu berbaring di sampingku saja?"
Baru kali ini aku melihat suamiku merengek, selain itu karna dia saat ini sedang sakit membuatku melakukan segala hal yang dia inginkan.
Aku mulai berbaring setengah duduk di sampingnya. Suamiku yang berbalik mendekat ke arahku dan memelukku seolah anak kecil yang mencari kehangatan. Rasa panas yang mengalir kurasakan dari suamiku, kuusap kepalanya lembut seolah menenangkan dan ingin mengurangi rasa sakitnya.
Setelah dia tenang, aku bangun perlahan dan memperbaiki selimutnya.
"Hah, bagaimana bisa jadi seperti ini?" Ucapku mengeluh sambil melihat kekacauan yang kubuat sendiri.
"Sekarang sudah jam 12.00 siang, haruskah aku menelepon sekretaris Sean?"
Setelah membersihkan rumah, aku menghubungi Vera. Namun, sepertinya nomornya tidak dapat dihubungi jadi aku menghubungi Yuri, seseorang yang membuatku canggung bahkan saat dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku merasa bersalah namun perasaan cemburuku tidak dapat kuhindari.
"Halo."
"Iya, nyonya. Apakah anda membutuhkan sesuatu?"
"Iya, aku hanya mau mengabari kalau Sean sedang sakit dan juga Vera tidak dapat dihubungi kamu tahu kabar Vera?"
"Baik nyonya. Vera sedang sakit sejak 2 hari yang lalu. Mengenai berkas penting yang perlu segera diurus haruskah saya menundanya atau melanjutkannya?"
"Sean masih istirahat, berkas penting bisa kamu bawa ke rumah dulu."
"Baik"
Yuri datang setelah aku menunggu cukup lama. Bunyi dari bel pintu terdengar yang menandakan kedatangan Yuri.
"Yuri, masuk dulu"
Yuri belum pernah datang ke rumah kami jadi ini terasa agak canggung.
Sambil mengantarnya ke ruang tamu dan menjamunya. Aku memerhatikan bahwa selain berkas yang dibawanya dia juga membawa buah-buahan.
"Silahkan" ucapku sambil mempersilahkannya duduk.
"Terimakasih"
"Dokumennya bisa kamu simpan di meja saja."
"Baik, saja juga membawa beberapa buah-buahan setelah mendengar bahwa Sean sedang sakit. Baru kali ini saya mendengar tuan Sean sakit, sebelumnya dia tidak pernah sakit." Ucapnya sambil tertawa kecil.
Mendengar kisah masa lalunya dari seseorang yang pernah bersama Sean dan disukainya membuatku cemburu memikirkannya. Kusadari bahwa aku benar-benar sangat mudah cemburu.
"Ah begitu..."
"Bolehkah saya melihat Sean sebelum kembali ke kantor?"
"Hmm, Sean baru saja tertidur setelah minum obat."
Yuriana yang ingin menemui Sean namun kuhalangi membuatku merasa sedikit merasa bersalah. Bagaimanpun juga dia dan Sean berteman hingga sekarang.
Saat ingin berdiri Yuri terlihat tersentak dengan jawabanku dan tersenyum tipis.
"Baik, kalau begitu saya pergi dulu."
Aku mengantarnya pergi hingga terlihat dia sudah tidak terlihat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband is second male lead
RomancePernahkah kalian membayangkan bahwa suami kalian menjadi pemeran utama pria kedua dalam novel? "Novel sialan!!" teriakku dengan tangan yang gemetar kubuang novel itu. "Tidak, tidak mungkin" pikirku. Aku menuju ruangan kerja suamiku, mencari baran...