Arkhava Rafaudza Eren. Katanya, dia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Lelaki dengan hidung bangir itu biasa di panggil Ava oleh Kakak, Ibu, dan teman-temannya. Wajahnya yang selalu menunjukkan kebahagiaan, sehingga orang-orang sekitarnya berpikir bahwa dia selalu baik-baik saja. Memang, hanya dirinya dan Tuhan yang mengetahui bagaimana kondisi jiwanya.
"Ava, kamu gak dingin dari habis magrib duduk disini sampai jam segini?!" suara nya yang keras namun lembut itu menghampiri anak lelakinya yang sedang duduk di balkon sambil memperhatikan hamburan bintang di langit.
Ava menoleh ke arah wanita berusia 44 tahun, menatapnya dengan senyuman manis yang telah lama ia tidak pancarkan.
"Nda, lihat, deh!"
Wanita itu menyimpan piring kecil berisi pil serta segelas air putih di meja kecil yang ada didekatnya. Kemudian, ia duduk disebelah anak lelakinya sambil mengusap lembut rambut sang anak.
Mata ibu dan anak itu bersinar dengan kekaguman saat menatap ke langit malam yang gelap, memperhatikan setiap bintang yang bersinar dengan gemerlapnya.
"Dua bintang paling terang itu gambaran Ava sama Bunda." Jari telunjuknya menunjuk ke arah bintang paling terang di antara bintang yang lain.
Seorang wanita lain kini bersandar di pintu dengan wajah melasnya. "Alma gak di anggap, Nda?"
Sang ibu menoleh, sedikit terkejut bahwa anak perempuannya sudah ada dibelakang daritadi.
"Protesnya ke Ava aja, jangan ke Bunda." balasnya seraya berdiri, dan meninggalkan kedua anaknya di balkon.
"Obatnya jangan lupa di minum, Va!" teriak sang ibu dari kejauhan.
Alma menoleh ke meja kecil yang tak jauh dari ia berdiri, matanya segera tertuju pada piring kecil yang berisi beberapa pil obat berwarna-warni. Di sampingnya, terdapat segelas air putih yang jernih, menunggu untuk membantu menelan obat-obatan tersebut.
Dengan gerakan lembut, Alma mengambil piring dan gelas itu, kemudian mendekati sang adik yang menikmati kembali bintang-bintang di langit.
Alma memegang bahu kiri sang adik dengan cukup keras. Sengaja, karena Alma tahu, adiknya itu akan meringis kesakitan jika bahu nya dipegang.
"Sakit, kak." lirihnya.
"Minum obatnya kalau gitu," balasnya sambil menyodorkan piring kecil tadi.
"Hmm." jawab Ava singkat sambil menerima obat-obatan yang diberi sang kakak.
Alma— sang kakak, melihat Ava yang sedang menelan beberapa pil obat secara bersamaan itu dengan tatapan sendu. Ia merasa kehilangan adiknya meski kini ada disampingnya.
Benar, bukan kehilangan raganya. Namun, hati yang begitu hangat telah berubah menjadi dingin. Alma merasakan itu, meski sebenarnya Ava masih berusaha agar bisa menjadi penghangat bagi keluarganya. Terutama, untuk Bundanya.