WAJIB VOTE SEBELUM BACA
Alma duduk di tepi jendela, tatapannya melayang jauh. Cahaya senja memeluk wajahnya, menggambarkan kerinduan yang tak terucap. Di balik layar komputernya, dunia sibuk berputar tanpa henti. Tapi Alma, dia hanya ingin merenung. Mungkin tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud, atau kenangan yang terlupakan. Suara langkah kaki rekan kerjanya hanya samar-samar terdengar, seperti melodi pelan yang mengiringi lamunan Alma.
Rasanya gelisah sekali setiap dirinya memikirkan bunda dan adiknya. Merasa bersalah karena belum memberikan yang terbaik. Kata orang-orang, Alma dianggap sebagai sandwich generation dalam keluarganya. Namun, Alma selalu menolak mentah-mentah dari sebutan itu.
Menurutnya Alma, Ava itu adalah tanggung jawabnya. Meski sang ayah masih memberinya nafkah secara diam-diam, Alma tidak pernah menganggap bahwa sang ayah telah tiada. Terlalu sakit jika harus menganggapnya.
"Al? Inget deadline." Tegur sang teman yang tiba-tiba menghampiri meja Alma.
"Thank you, ya." Balas Alma berterima kasih.
"Penat banget, ya? Pulang ngantor mau ngopi?" tawarnya, membuat Alma tersenyum.
"Gajian masih-"
"Gue yang bayarin." Potongnya, Alma sedikit mengerutkan keningnya. Sisi lain ia bahagia karena masih ada temannya yang memberi perhatian.
"Gak usah." Dengan cepat, Alma menolaknya. Bukan berarti Alam tidak bersyukur, harga kopi secangkir juga tidak membuat dirinya jatuh miskin.
Kalau saja tengkorak manusia bisa di lepas pasang, ingin rasanya Alma melepasnya untuk mengeluarkan semua masalah yang ia pikirkan.
Ya, tadi pagi, sebelum Alma berangkat bekerja, sang ibu mendadak meminta mengantarkan makanan kepada orang yang telah ia anggap mati. Namun, Alma tidak bisa menolah. Itu perintah. Apalagi sang ibu yang menyuruhnya. Bisa durhaka dunia akhirat, pikirnya.
"Kakak!" seru pria yang sudah siap untuk mencari nafkah, ia suda mengenakan kemeja serta jas kerjanya.
"Kakak cuma-"
"Kakak kangen sama ayah? Atau sama Asya?! Masuk, ya, kak!" potong pria tersebut, dan langsung memberikan berentet pertanyaan yang membuat Alma kesal pagi ini.
"Ada titipan dari bunda. Kakak cuma mau kasih ini aja," jelasnya sambil memberikan sebuah kotak makan itu.
"Untuk siapa?" tanyanya kebingungan.
"Untuk putra anda, pak Agast." Jawabnya tegas, kemudian Alma meninggalkan sang ayah. Benar, ia pergi ke rumah sang ayah untuk memberikan makanan sesuai dengan perintah sang ibu.