NAKARAJA - DUA

34 4 4
                                    


"Tuhan selalu adil. Buktinya, Tuhan tidak
akan memberikan sesuatu yang kita
tidak sanggup untuk menguasainya."

☘️

Satu hari semenjak kepergian ibu, Naka masih merasa sedih dan sangat kehilangan. Untungnya keberadaan bapak yang selalu menemani dan menenangkan perasaan Naka saat dirinya sedih. Terkadang Naka berpikir, walaupun hidupnya tidak sebaik teman-teman diluar sana, tetapi dirinya masih mempunyai Bapak sebagai benteng pertahanan mental bagi seorang Naka.

Bapak itu sederhana, penjabaran sifatnya tidak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata. Sebagai seorang anak tentu kita pernah merasa sedih, karena tidak dapat membahagiakan orang tua, padahal mereka selalu ada untuk kita.

Waktu kebersamaan terus teringat, namun sekarang ... Semuanya telah sirna, separuh hidup Naka hilang sebelum dirinya dapat membahagiakan orang tuanya.

Laki-laki jangkung itu menatap lekat sepatu yang dikenakannya, sangat jauh dari kata layak. Setiap dirinya ingin mengatakan kebutuhannya pada orang tua, Naka justru merasa tidak berguna.

Oleh sebab itu, Nakaraja membuka jasa joki untuk tambahan uang saku dirinya, agar uang yang diberikan Bapak dapat Naka tabung untuk kedepannya.

Naka merasa, dirinya tak lain adalah beban untuk keluarganya. Bapak selalu melarang Naka untuk bekerja, dan selalu menyuruh dirinya untuk fokus belajar. Setiap kali Naka diam-diam bekerja, Bapak pasti akan tahu.

Selesai dengan urusan sepatu, Naka berdiri dan mengunci rapat-rapat pintu rumahnya. Dia bergegas pergi kedepan gang rumahnya untuk menunggu angkutan umum lewat.

Biasanya, Naka harus menunggu didepan counter sembari duduk dan mengobrol dengan Mas Hadi, si karyawan yang bekerja disana. Namun pada kali ini, angkutan langsung datang tanpa Naka harus menunggu.

Kebiasaan Naka duduk di belakang kursi supir yang sudah dekat dengan dirinya itu. "Mas Naka iki, wes ganteng, duwur, pinter, gek sayange ora nduwe gandengan," ujar supir itu dengan nada bercanda.

Naka tertawa ringan. "Jadi orang kaya dulu, baru mikir kesitu, Pak."

"Wah iyo, yo. Saiki kebanyakan bocah-bocah yang harusnya tugas e sekolah aja wes pada boncengan berdua sama yang-beb nya." Mereka berdua tertawa bersama. Kondisi angkutan masih sepi karena Pak supir angkot memang sengaja berangkat lebih pagi.

Waktu semakin berjalan, semakin banyak pula penumpang di angkot, dan Naka masih setia memandangi jalan raya pada pagi itu.

Tidak terasa, angkot sudah sampai didepan gerbang sekolah Naka. SMA Pancasila, sekolah unggulan yang akreditasinya selalu baik dari tahun ke tahun. Sungguh keberuntungan bagi Naka karena dapat memasuki sekolah elit ini.

"Makasih, Pak. Ini ongkosnya." Naka menyodorkan uang, dua lembar berwarna kuning.

"Buat hari ini, tak kasih gratis wae, Mas."

"Loh, kenapa, Pak?" tanya Naka kebingungan.

"Ndak popo. Sebagai ucapan terima kasih karna Mas Naka selalu ikut angkot bapak." Pak supir angkot itu tersenyum, disambut pula senyuman bahagia dari Naka.

"Makasih banyak, Pak," balas Naka. Pak supir hanya mengacungkan jempolnya, kemudian berpamitan dan pergi dari sana.

Naka berjalan menuju gerbang sekolahnya. Menjumpai keramaian disana, dirinya tersenyum ramah kepada beberapa orang yang menyapanya.

Nakaraja, dia si laki-laki ramah dan selalu dihargai orang karena sikapnya. Naka itu sederhana, persis keturunan bapak dan ibunya. Walaupun banyak yang tidak suka dengan dirinya, Naka akan tetap menyikapi orang itu dengan baik.

Hatinya seperti malaikat, tidak pernah membalas perilaku tak mengenakkan dari orang-orang yang tidak menyukainya. Cukup tersenyum dan biarkan, tunggu sampai pengganggunya itu kelewatan batas, baru Naka akan membalas.

"BALIKIN SEPATU GUE!!"

Bruk!

Naka terkejut saat melihat seorang gadis dengan baju sekolah sama dengan dirinya, menabrak punggung lebarnya dan terjatuh.

"Aduh, maaf." Gadis itu merapikan isi tasnya yang terjatuh. Tanpa melihat kearah Naka.

"Sekali lagi, maaf ya. Gue gak sengaja." Dia bergegas berlari kearah temannya yang tertawa sambil membawa sepatu miliknya. Persis seperti anak TK yang sedang bermain. Naka hanya tertawa singkat.

Ternyata, gadis itu tidak sadar jika pulpennya tertinggal disana. Naka mengambilnya, kemudian menatap arah pergi gadis itu, tetapi sudah menghilang. Pulpen pink muda yang diatasnya terdapat bentuk kelinci putih. Ada notebook mini yang tertempel di ujung pena itu.

Ashia Kalura Anantaraya

"Ashia. Kalura." Naka mengeja nama tersebut. Kemudian memasukkan pena pink itu kedalam sakunya. Barangkali dia bertemu gadis itu lagi.

☘️

"Unfriend pokoknya!"

"Yaelah, Ra. Kalo gak gini, bisa-bisa gue dibunuh sama tuh cowok." Lawan bicaranya justru nyengir tanpa dosa, setelah membawa sepatu milik Lura ke orang suruhannya.

"Kalo kayak gini, berarti gue pulang nyeker, dong!" Kalura memutar bola matanya malas.

Sahabat durhaka Kalura—Reina—hanya tersenyum kikuk dan menggaruk belakang kepalanya. Mencari cara untuk mengambil kembali sepatu sahabatnya.

Menjadi Reina sulit sebenarnya, satu sisi diancam unfriend, satu sisi lainnya mengancam kewarasan mentalnya karena yang menyuruhnya mengambil sepatu Kalura adalah Shagra—kapten basket bengis yang mengincar Kalura.

"Ah, nanti gue beliin aja yang baru, ya. Pulsek ntar kita langsung perg—"

Kringg!

Bel tanda masuk sudah berbunyi, membuat ucapan Reina terpotong. Kalura pula hanya merespon ucapan Reina tadi dengan tersenyum tipis, mau bagaimana lagi? Si Shagra bajingan itu juga tidak bisa ditentang keinginannya.

"Ra, katanya lo abis beli pena baru, mana?" tanya Reina mengingat ucapan Kalura beberapa hari lalu, yang berjanji membawakan pena pink barunya hari ini.

"Oh iya, pena gue ..." Mata hitam siswi itu langsung membulat saat memeriksa sakunya, tetapi tidak ada benda yang dicarinya.

"Pasti jatoh, tadi." Kalura menarik nafas dalam-dalam, mencoba sabar. Kemudian dia menengok kearah Reina dengan tatapan melotot, tetapi tersenyum. Ala joker.

"A-anu, nanti beli lagi, ya, Kalura," balas Reina kehabisan kata-kata. Kalura mode joker sudah menjadi tahap maksimal emosi seorang Kalura tercetak.

"Gue cuma bawa satu pena, Rei. Nulisnya pake apa?" Masih dalam ekspresi seram tadi, Kalura berbicara.

"P-pake punya gue, nih ada tiga. A-ambil aja." Kalura menyerahkan kotak pensil ala dompet miliknya.

☘️

long time no see, guys!

aku bakal usahain ff kali ini buat lanjut ya.

soo, bantu komen+vote dan
share ke orang-orang terdekat kaliann🌷

NAKARAJA : Tangis dan Bahagia SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang