"Ih! Kenapa sih negatif mulu!" Wening menatap kesal pada testpack yang sudah mendiam di dalam keranjang sampah. Benda keramat itu dilempar begitu saja kala hasilnya bertolak belakang dengan harapan Wening. "Aku salah apa sih? Perasaan aku juga gak ngerokok, gak minum-minum alkohol. Seribu satu jamu juga udah aku teguk. Salahku apa? Kenapa orang-orang main sekali aja bisa langsung brojol?"
Wening melempar bantal ke sofa, kali ini tatapannya beralih sengit ke arah sang suami yang masih asik menghitung uang hasil penjualan minggu ini yang akan disetorkan ke Bank besok.
"Mas!" Sedikit lagi Wening membakar uang-uang itu!
"Sing meneng to, nanti saya salah menghitung," Birawa tidak menoleh sedikit pun, sepertinya sebentar lagi dia butuh mesin penghitung uang.
Dengan kekesalan memuncak, Wening keluar seraya membanting pintu. Tidak perduli di bawah sana mertuanya mendengarkan. Dia sudah gondok sendiri.
"Sri! Kok kamar sebelah gak diseprai?!" Perempuan itu berkacak pinggang, dongkol. Sri yang tengah nonton sinetron lantas terbangun.
"Anu Mbak, kemarin habis dicuci,"
"Pasang sekarang," si ratu judes kemudian melenggang ke dapur, mencari susu strawberry. Biasanya kalau moodnya sedang hancur begini, dia masih tertolong sedikit kalau minum yang manis-manis, asal jangan es teh karena dia akan pipis-pipis setelah itu.
"Sri! Susu strawberryku mana?!" Teriaknya lagi. Masa bodoh lah, toh juga mertuanya tidak akan mendengarkan. Wening mengibaskan wajahnya, siapa pula yang memindahkan susunya dari dalam kulkas!?
"Sri!"
"Suaramu itu lho!" Birawa tiba-tiba muncul di dapur. "Susunya tadi saya kasihkan Narendra dan Etes, besok beli lagi," terangnya.
"Aku ndak nanya kamu kok!" Wening mengibaskan rambut, beranjak menjauh.
"Mbak, tadi manggil?" Sri tergopoh-gopoh menghampiri.
"Kamu dari mana sih, Sri? Habis pita suaraku manggilin kamu," Wening mendumel. Mereka bersisian di persimpangan tangga.
"Kan tadi Mbak menyuruh ganti sprai,"
"Yaudah sana!" Usir Wening, beranjak naik ke lantai dua.
"Mbak badmood ya?"
"Gak tahu!"
"Bapak bikin ulah ya?"
"Gak usah kepo!"
"Ibu beneran mau bobo sendiri? Berani?"
Wening menarik napas dalam-dalam, kemudian berbalik menghadap asistennya yang masih berada di tempat yang sama. "Kenapa? Kamu mau bikin gosip lagi sama Ibu? Iya?" Tebaknya. Jangan salah, meskipun kuping ibu mertuanya budeg sebelah, kalau urusan bergosip dengan Sri pastilah juara.
"Eh? Enggak lah Mbak,"
"Udah sana!"
Di dalam kamar, Wening tersedu-sedu. Dia ingat sekali bagaimana sindiran ibu-ibu yang tengah bergosip saat memilih sayur. Wening ingin sekali menyumpal mulut mereka dengan bekas testpacknya yang negatif itu. Wening pikir hidup di desa itu kunci hidup bahagia, tidak perlu dompet tebal. Eh ternyata telinga yang tebal amat sangat diperlukan. Wening muak diceritakan bagaiman si A, si B, atau si C bisa hamil bahkan sebulan setelah pernikahan.
Dunia rasanya berputar di topik itu saja.
"Nangis terus," Birawa berdecak, menyalakan lampu tidur di atas nakas.
Wening yang tidak menyadari kehadiran suaminya lantas menoleh. Matanya masih berderai air mata, hidung dan pipinya memerah. "Ngapain Mas ke sini?"
Birawa naik ke atas pembaringan, dengan santai merangkul istrinya. "Ndak usah nangis, tho," diusapnya air mata perempuan itu.