ραятιє³ : Point De Vue

51 4 0
                                    

Say It Right!

"Say it right now!"

3. Sudut Pandang

☘☘☘

Jumat, Juli 24, 2020

Dua hari lalu, tepatnya hari rabu. Savana tahu dari Rahara jika pengumuman dari ruang siaran itu karena adanya salah satu guru yang terjatuh di tangga gedung kelas 12. Selain itu, katanya pun ada siswi yang tengah mencoba bunuh diri di salah satu kamar mandi kelas 10 yang terletak di lantai tiga. Kabarnya, siswi itu ditemukan pingsan oleh rekannya di dalam bilik kamar mandi dengan nadi kiri yang telah tersayat dalam dan mengeluarkan banyak darah hingga mengotori almamater dan seragamnya.

Hanya ada satu kata di kepala Savana saat Rahara mengatakan hal tersebut. Gila. Ya, tentu saja gila. Bunuh diri adalah kematian yang konyol. Seberat apa masalah yang ditanggung siswi itu hingga ingin bunuh diri? Padahal semua masalah dapat diselesaikan dengan baik-baik, bukan dengan otak dangkal seperti itu.

Ini masih pukul 04.30, masih terlalu pagi untuk bersiap-siap ke sekolah. Tetapi Savana tengah berada di balkon kamarnya dan berdiri di pinggiran pembatas seraya menatap langit yang masih berwarna gelap. Ia mengeratkan sweaternya saat sepoi angin pagi yang dingin berhembus melewatinya hingga menerbangkan helaian halus miliknya. Savana memejamkan matanya kuat-kuat.

Sungguh, Savana tidak tahu kapan air mata turun melewati pipinya begitu netra jelaganya terbuka. Sebenarnya, Savana masih memikirkan kejadian percobaan bunuh diri seorang siswi di kamar mandi itu.

Terkadang hidup memang sangatlah berat, mustahil rasanya untuk kita melampauinya.

"Gue juga pernah pengen mati konyol kayak gitu," lirih Savana tertawa sumbang.

Iya. Semua orang tidak akan pernah tahu luka orang lain jika orang itu tersendiri tak pernah merasakan luka yang sama.

Sayangnya, Savana pernah nekat melakukan aksi bunuh diri saat ia masih duduk di kelas 9. Semua orang tidak tahu, psikosis akut bukanlah hal mudah untuk Savana lewati sendiri. Pernah sekali Savana speak up masalah terbesarnya itu, namun hanya berakhir menjadi bahan candaan dan orang-orang menganggapnya “gila” dan tak berTuhan. Dari situlah Savana hampir melakukan aksi bunuh diri jika Gavian Arlen tak bergerak cepat untuk mencegahnya.

Ya. Setidaknya Gavian pernah menjadi sosok pahlawan baginya untuk mencegah kematian.

Flashback,

Sosok gadis dengan rambut kepang yang akar rambutnya sudah bercabang ke mana-mana itu menyeret langkah beratnya menuju gudang belakang sekolah dengan pandangan kosong dan senyum tipis yang terpajang di paras berantakannya. Tangan kanannya yang sudah berdarah-darah mencengkeram erat serpihan kaca, tak peduli jika kaca itu menancap lebih dalam.

Suara-suara di kepalanya ramai. Sorakan bahagia terdengar di telinganya. Sosok bayangan hitam yang selalu mengikutinya itu pun ikut tertawa keras seiring langkahnya yang mendekati gudang.

Banyak suara itu tak pernah hilang jika ia berada dalam keheningan. Mereka selalu berlomba-lomba untuk menyuruhnya agar cepat mati. Dan sekarang, sepertinya hal tersebut akan terkabulkan.

Tangan kiri Savana yang bergetar meraih gagang berkarat pintu gudang dan didorongnya dengan pelan. Bahkan tangan kirinya tak pernah luput dari goresan mendatar.

SAY IT RIGHT!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang