CH [7] Dia- yang Diam-Diam Mengintai

46 6 5
                                    

Mianhae, Qey bawa berita duka.

Dikarenakan kondisi kesehatan Qey yang tidak memungkinkan untuk magang di pabrik, akhirnya Qey menyerah. Untuk itu, syukuran diterimanya Qey yang mengubah harga cerita ini ke 25 rb dengan berat hati akan dihentikan.

Tenang aja, untuk hari ini masih 25rb kok. Harga normal akan berlaku besok ya.. Untuk cerita Gus! I Lap Yuh sendiri harga normalnya ada di 75rb ya teman-teman..

Sekali lagi Qey mohon maaf, mungkin memang rejekinya teman-teman yang garcep kemarin 25rb nya..

***


Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.

Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.

Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.

'Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!'

Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.

Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.

"Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!" Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Wah, iya, sih! Bisa jadi!"

Tampang kuyunya berubah dengan cepat. Berekspresi selayaknya orang yang tengah berpikir keras.

"Ya kali gue yang selama ini anti cinta-cintaan, mendadak terkintil-kintil sama jelmaan Firaun!"

"Buahahaha!!" Seseorang terbahak dibelakang Lolita. Sejak Lolita bermonolog, sosok itu setia berdiri disana. Ia menantikan rangkaian kalimat-kalimat ajaib yang Lolita lontarkan.

"Bang Richi"

Lolita pun membekap mulutnya menggunakan kedua tangan.

Sial!

Ia baru saja mengata-ngatai Ketua BEM Universitas, sekaligus juga sahabat dari pemuda yang menyambanginya. Dan yang lebih parah, ia melayangkan fitnah keji tentang dunia perpeletan.

"Nih, es krim! Gue cariin di kantin, taunya lo nggak ada disana."

"Duh, God!" Pekik Lolita, menepuk keningnya. "Si Melisa ba-tiba aja rapat, Bang. Mau ngabarin Abang tapi belum tukeran kontak."

"Oh, jadi kode minta nomor ceritanya?" Richi kembali menyodorkan es krim ditangannya, karena Lolita tak kunjung menerima pemberiannya.

"Eh, nggak gitu ya!" Lolita membuang pandangannya ke samping. Gadis itu merasa malu. "Sumpah nggak ada maksud apa-apa, Bang Rich." Terangnya, tak ingin Richi salah paham.

"I know, I know. Terima dulu kali es krimnya, Lol. Keburu cair ntar."

"Oh, iya, thanks, Bang.." Gagap Lolita, canggung.

"Biasa aja kali, Lol. Kayak sama siapa aja. Kita udah sering ketemu ini, waktu lo sering.."

"Stop! Nggak usah diingetin, Please!" Potong Lolita. Semua yang berkenaan dengan kebodohannya, Lolita tak ingin lagi mendengarnya.

PELET CINTA LOLITA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang