ch 21

7.6K 670 37
                                    

Entah sudah berapa lama ia berada di sini. Di tempat yang begitu suram dan gelap.

Tubuhnya terombang-ambing tidak tentu arah.

"Bodoh! Nyawamu lebih berharga dari wanita itu! Lari sialan, lari!"

"Tidak! Jangan pergi! Berhenti!!"

Kedua matanya tertutup rapat. Suara-suara aneh seperti kaset rusak, terdengar memenuhi isi kepala.

Sangat berisik membuat telinganya sakit.

"Lepaskan.., tolong.., kumohon, berhenti. Ini sakit..."

"Tolong ... Siapapun tolong aku."

Ia ingin berteriak. Namun mulutnya seperti tertutupi oleh sesuatu membuat suaranya tidak ada yang keluar. Tangan-tangan hitam menggerayangi tubuhnya.

Sesuatu yang bergejolak di dalam membuat dirinya ingin muntah. Lehernya seperti di cekik, membuat dia kesulitan untuk sekedar bernafas.

"Aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun. Kau, tidak akan bisa lari dariku. Kau milikku." 

"My slurt!"

Gaspp!

"Huhh .., hough, hnghh?"

Dia terbangun dengan tubuh yang sudah basah oleh keringat. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya sedikit gemetar.

Kedua netra abu-abu kelamnya menatap sekeliling waspada. Ini bukan di rumah sakit. Dimana dia?

Melirik sebuah infus yang tertancap di punggung tangannya. Tanpa aba-aba dia menarik selang infus itu hingga punggung tangannya terluka. Darah segar mulai menggenang, lalu jatuh mengotori seprai putih.

Dia tidak memperdulikan lukanya. Baginya, ini bukanlah apa-apa.

Sekuat tenaga, dia mencoba bangkit dari atas ranjang. Namun kakinya seperti lumpuh, sangat sulit untuk di gerakan. Keadaannya yang sangat lemah membuat dia emosi.

Dia mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku tangannya memutih.

"SHI! BAJINGAN! KELUAR KAU!" Teriaknya dalam hati, melampiaskan berbagai emosi dan umpatan. "Kau melanggar janji! Kau mengambil alih tubuhku secara paksa! SHI!!"

Dia—Alvias, mengambil nafas dalam-dalam untuk meredam emosi nya saat Shi tidak kunjung menjawab panggilannya. Dadanya naik turun.

Click!

"Oh, sudah bangun, Avi. Bagaimana tidur mu?"

Alvias menoleh kearah pintu, menatap seorang pemuda yang keluar dari bathroom. Dia hanya mengenakan handuk kecil yang melilit pinggang, menutupi sebuah belalai gajah yang terlihat sedikit menonjol dari balik handuk.

Rambutnya basah, membuat tetesan air mengenai wajahnya yang tampan.

Setiap langkah yang ia ambil mendekati ranjang. Entah kenapa membuat Alvias gelisah, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Manik abu-abu bersinar si pemuda, membuat Alvias tidak dapat mengalihkan pandangannya. Dalam tatapan itu, dia tau ada sebuah kerinduan di sana. Sebuah kerinduan yang membuat pemiliknya nyaris menggila.

Hug.

Pupil mata Alvias bergetar saat pemuda itu memeluknya. Dia menahan nafas untuk sesaat.

"Kamu kembali.., adikku, milikku.., akhirnya kamu kembali. Aku pikir kamu tidak akan bangun. Aku sangat merindukan kamu, rindu yang membuatku ingin mati rasanya jika tidak segera bertemu denganmu," Elvias, dia menyembunyikan wajahnya pada perut Alvias. Lengannya yang kekar melingkar sempurna pada pinggang kecil yang sangat pas dalam pelukannya. "Sembilan tahun.. akhirnya aku bisa membawamu kembali kedalam dekapanku. Maaf.. maaf aku meninggalkan kamu. Maaf aku membiarkan kamu melawan para iblis itu sendirian. Maafkan aku.. maaf. Hngg.."

Nafas hangat Elvias menggelitik perutnya. Pemuda itu menangis, Alvias tau, karena terbukti dari baju di bagian perutnya yang terasa basah.

"Tolong maafkan aku, aku akan membalas perlakuan mereka jauh lebih sakit dari apa yang mereka lakukan padamu. Jadi beritahu aku apa yang kamu ingin lakukan untuk membalas mereka? Aku dengan senang hati akan melakukannya untukmu.."

Alvias tertegun mendengar penuturan Elvias yang sedikitnya dapat ia pahami. Lidahnya terasa kelu.

"Huu.. katakan sesuatu, Al." Elvias mendongakkan wajahnya. Pemuda itu menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, bibirnya melengkung ke bawah.

Alvias menatap lekat lekat kedua mata Elvias. Mata yang sama persis seperti miliknya.

Dia menghapus air mata Elvias dengan jari. Ia ingin menanyakan sesuatu yang sedari tadi mengganggu hatinya, namun ia urungkan.

Semakin kesini alurnya semakin berantakan. Semua pemeran out of character.

Tidak ada alur yang menceritakan Carlos mengangkat seorang anak. Terlebih lagi anak yang di angkat itu dirinya. keponakan Carlos sendiri.

Rezvan yang seharusnya lengket kepada female lead. Justru malah menjauhi Keyla dan malah menempel padanya.

Untuk sang female lead itu sendiri. Dia aneh, tidak seperti di deskripsi cerita yang mengatakan jika sang female lead itu lugu, baik hati dan polos. Namun dia cenderung lebih seperti memainkan peran teratai putih. Di balik wajah lugu dan polosnya Alvias tau dia menyembunyikan sesuatu.

Apalagi saat Alvias mendapatkan ingatan asli si pemilik tubuh saat Keyla berusaha berkali-kali mencelakainya, dengan mengadu yang tidak-tidak pada keluarganya.—Eh, keluarganya? Munafik, Alvias tidak pernah memiliki keluarga, dia  tidak tau arti keluarga yang sesungguhnya. Yang Alvias tau 'keluarga' itu hanya luka dan trauma baginya. Entah itu di kehidupan pertama maupun yang kedua.

Ceklek.

Seorang pria berdiri membeku di ambang pintu. Lengannya yang memegangi handle pintu bergetar kecil.

Tatapan pria itu dengan Alvias berserobok, Alvias melebarkan matanya saat pria itu berlari menubruk tubuh Alvias hingga kembali jatuh terlentang di atas ranjang.

"Daddy sangat merindukanmu.. Al." bisik Giovanni di samping telinga Alvias.

Tubuh pria itu yang besar menjepit Alvias yang sudah jelas-jelas tubuhnya lebih kecil dari Giovanni, hal itu membuat Alvias kesulitan bergerak barang seincipun. Apalagi Elvias juga memeluk dan menjadikan pahanya sebagai bantalan kepala.

Alvias merasa tertekan, tatapannya menatap tajam kearah langit-langit kamar.

"Maafkan daddy, maaf meninggalkanmu sendiri. Kau pasti ketakutan dan juga kesepian. Daddy ingin bersamamu sekarang meski terlambat."

Kata-katanya sama persis seperti yang baru saja Elvias ucapkan.

destroying the grooveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang