2. Luka dan sembuh

63 7 0
                                    


"Lio!"

Suara lantang kembali terdengar.

"Derelio Sagarya!"

Merambat ke setiap sudut kokoh rumah yang memiliki tiga lantai.

"Lio! Bangun dan datang keruangan Kakek nanti!"

Teriakan demi teriakan seolah menjadi saksi nyata di Senin pagi. Lio bangun dari tidur panjangnya, mendudukkan diri lalu menarik napas sesak. Helaan napas berat terdengar sebelum akhirnya ia memilih berdiri mendekati pintu kamar yang berjarak lima belas meter dari ranjang.

Tepat setelah pintu kamar terbuka, tiga orang pelayan laki-laki masuk. Ada yang menaruh seragam rapi diatas kasur, memberi secangkir teh lalu satunya lagi menunjukkan tablet berupa jadwal hari ini.

"Bacain aja." Lio memilih berbalik, menunggu air hangat untuk mandi. Ia memasuki walk in closet pribadi lalu duduk dan meminum teh di sofa. Pria yang memberi teh padanya berjalan menuju lemari kaca didepan, ada berbagai macam jenis sepatu dari beberapa merk disana.

"Pagi ini, Pak Dinata ingin bertemu di ruangannya selama lima belas menit setelah sarapan."

Lio menyipitkan mata saat sepatu Nike putih dikeluarkan, ia menggeleng lalu menggerakkan dua jari ke kanan. Meminta sepatunya dicari lagi.

"Lalu berangkat sekolah. Tepat pulang sekolah nanti sopir akan menjemput karena Pak Dinata tidak memperbolehkan anda bermain hari ini."

Lio mendengus lalu menggeleng lagi ketika sepatu dengan merk Jordan dikeluarkan. Sejujurnya, Lio bisa saja memilih sepatunya sendiri. Tapi dia sedang sangat malas untuk berdiri hanya untuk sekedar memilih-milih.

"Pak Dinata ingin bermain golf sore ini, apa Den Lio bersedia? Beliau sempat mempertanyakan hal ini tadi."

Lio memutar bola mata malas. Pertanyaan macam apa yang sudah jelas-jelas Dinata tau jawabannya. Lio berdehem tanda mengiyakan. Karena itu jawaban satu-satunya.

"Oh ya, Den." Geo sadar telah melewati satu jadwal.

Lio menoleh malas.

"Hari ini ada jadwal bertemu Dokter Reka."

Matilah. Lio ingin sekali mengumpati jadwal yang satu ini. Ia mengangguk cepat ketika sepatu Vans hitam dikeluarkan. Lalu menunjuk jam tangan rolex berwarna silver tak jauh dari lemari sepatunya.

Dengan segera Davin berdiri ketika air hangatnya sudah tersedia.

"Pak Geo."

Geo berdehem. "Iya, Den?"

"Apa aku masih terlihat sakit?" Pertanyaan itu kembali terlontar, membuat kepala pelayan yang sudah beberapa bulan terakhir bersamanya menunduk.

Lio mengubah ekspresinya menjadi lebih hangat, bibirnya tersenyum lebih ceria. "Nggak usah dijawab, aku udah tau jawabannya."

***

Ada tiga hal, yang akan membuat seorang Dinata Pranatayuda berteriak bahkan diusia renta. Pertama, ada sesuatu yang salah. Kedua, jadwal yang tidak sesuai. Atau ketiga, itu bersangkutan dengan pernyataan seseorang yang ditulis untuk Lio.

Dari ketiga kemungkinan ini, Lio bisa menebak kalau dirinya terjebak di point' ketiga. Kakinya diketuk beberapa kali, menunggu lift membawanya ke lantai tiga, tepat dimana ruang pria yang berstatus sebagai ketua yayasan sekolahnya berada.

Lift terbuka, Lio segera melangkah mendekati sebuah pintu dari kayu berukuran lima meter. Tanpa perlu mengetuk, pintu sudah dibuka oleh asisten sang Kakek yang langsung memperbolehkannya masuk.

Vestigia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang