Suara langkah terdengar memasuki rumah, diikuti suara langkah dari arah dapur. Sambil menampilkan senyum, pembantu rumah tangga itu hendak meraih tas dari tangan Tuan rumah. "Mari saya bawakan, Pak."
Mirza segera menyerahkan tas ditangannya. "Makasih Bik."
Airin segera merangkul tubuh putranya. "Ayo, istirahat dulu." Davin mengangguk, melirik sekilas kondisi rumah yang telah ia tinggal selama lebih dari seminggu.
"Ma, aku pengen buah."
"Iya, nanti Mama bawain," ucap Airin membawa Davin ke kamar.
Mirza melirik pembantunya yang berjalan menuju dapur setelah menghantar tasnya ke kamar. "Dasha dimana, Bi?" tanya Mirza menuangkan air kedalam gelas.
"Ada di Taman, Pak." Mirza mengangguk, meneguk air sampai tandas lalu pergi ke Taman yang terletak di belakang rumah. Bibirnya sedikit naik mendapati Dasha yang sedang sibuk dengan pot berisi Bibit. Rambutnya di ikat ekor kuda, tubuhnya membelakangi posisi Mirza sekarang dengan tangan sibuk mencabuti rumput diatas tanah. Pria itu terdiam ditempat, dari posisi ini ia bisa melihat dengan jelas bekas luka di leher belakang putrinya.
"Wah, bibitnya udah di tanem ya."
Gerakan Dasha terhenti, melirik kearah Mirza yang kini mendekat dan berjongkok disampingnya. Dasha hanya terdiam sesaat lalu kembali sibuk mencabut rumput yang tidak ia bersihkan selama seminggu. "Kalau nunggu Papa takut kelamaan."
Mirza tersenyum tipis, ada perasaan bersalah saat Dasha mengutarakan isi hatinya. Mirza segera mengelus rambut putrinya. "Maaf ya sayang, Papa kemarin agak sibuk."
"Nggakpapa, biasanya juga gitu kan."
Mirza tertegun, sedangkan Dasha memilih berdiri dan membersihkan tangannya dari aliran keran. Sebelum langkahnya menjauh Mirza lebih dulu menahan lengannya, membuat Dasha mau tak mau menatap sang Ayah malas. "Papa beneran minta maaf."
"Iya," jawab Dasha singkat, berusaha menarik lengannya tapi siapa sangka Mirza justru mengenggamnya erat.
"Papa serius."
"Aku juga," tekan Dasha terdengar tak suka dari nadanya.
"Jangan kayak gini sayang."
Dasha mendengus kesal. "Terus aku harus gimana? Aku terima permintaan maaf Papa, udah kan?"
Mirza menghela napas pelan, ia tau dengan jelas bagaimana sikap Dasha jika sudah merajuk, itu sebabnya ia memilih meminta maaf sekarang. Karena jika tidak, gadis itu tidak akan mau berbicara dengan siapapun selama berhari-hari.
"Gini deh. Papa janji, nanti Papa temenin kamu check up. Okey?"
Dasha menarik tangannya. "Nggak usah, aku bisa sendiri," jelas Dasha membawa langkahnya memasuki rumah. Ia sedang tidak ingin memperdebatkan apapun.
"Jangan seperti anak kecil, Sha."
Langkah Dasha terhenti, terdiam ditempat untuk mendengar ucapan Airin yang tengah mengupas apel di meja makan. "Ini cuman masalah sepele, apa pantas kamu cuekin Papa kayak gitu?"
Buku tangan Dasha perlahan mengepal, ia seharusnya terbiasa tapi tak pernah bisa. Entah sejak kapan tapi Dasha merasa sang Ibu selalu bersikap skiptis padanya. "Iya, Mama benar. Aku yang salah." Dasha menoleh lalu tersenyum sinis. "Emang kapan aku bener dimata Mama?"
Suara dentingan terdengar keras, Airin menyandarkan tubuhnya di kursi lalu melirik Dasha tak kalah sinis. "Kalau salah jangan ngebantah."
"Emang aku ngapain sih, Ma? Aku merasa nggak punya salah. Lagian Mama pulang-pulang malah marah-marah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vestigia
Teen FictionSemua orang punya hak yang sama Tapi stigma masyarakat yang membuat semuanya berbeda