Matahari sudah menampakkan cahayanya, langit biru dengan kicauan burung seolah ikut menemani minggu pagi. Dasha duduk diteras taman, kaki kirinya diluruskan dengan sebuah pot besar dihadapannya. Gadis itu bersenandung kecil sambil mengemburkan tanah, meletakkan bibit buah jeruk yang kemarin dibelikan Mirza.
Seharusnya ia menanam buah favoritnya bersama Mirza, tetapi pagi-pagi sekali sang Ayah sudah berpamitan karena ada hal mendesak yang harus ia urus di Kantor. Tentu Dasha tidak bisa menolak, lagi pula itu bukan hal baru jika orang tuanya membatalkan janji seperti ini. Ia sudah terbiasa.
Kepala Dasha mendongak saat panas matahari tidak lagi menyentuh kulitnya, bibir gadis itu sedikit naik melihat siapa yang sedang berdiri menghalangi dirinya dari panas.
"Lo bisa minta tolong pembantu atau tukang kebun buat nanem ini, Sha."
Dasha kembali menunduk. "Lo kan tau gue suka ngurus taneman." Dasha menggeser pot yang sudah selesai ia tanam, lalu mengeser satu pot lagi membuat Lio dengan sigap membantunya.
Lio kembali berdiri, melihat Dasha yang sibuk dengan menanam serius. "Lagi ada masalah?"
Gerakan Dasha terhenti. Namun, didetik berikutnya ia hanya menggeleng lalu tetap melanjutkan menanam jeruk. Lio berjongkok, hendak membantu tapi belum sempat dirinya memegang tanah tangannya terlebih dahulu di cekal.
"Jangan." Dasha menahan tangan Lio, melirik perban yang masih membalut luka sepupunya. "Nanti luka lo infeksi, cukup liat aja."
Lio menatap lukanya, ia mengangguk lalu berdiri menghalangi matahari. Menunggu Dasha selesai dengan aktivitasnya.
"Lo nggak latihan basket? Bukannya sebentar lagi pertandingan?"
"Latihan, tapi nanti sore," jawab Lio membuat Dasha hanya ber-oh ria.
Setelah beberapa saat, Dasha selesai. Lio beranjak mengambil selang air untuk membasuh tangan Dasha.
"Yang lain mana?"
"Davin sama Mama lagi ke rumah sakit buat check up, Papa lagi ke Kantor katanya ada hal mendesak."
"Ini kan weekend?"
Dasha menaikan bahu tak tahu. "Namanya juga selalu sibuk."
"Padahal udah janji," dengus Dasha pelan. Sejujurnya ia masih sedikit kesal tapi memilih di tampung sendiri.
"Pak Boim bantuin Dasha dong," pinta Dasha pada tukang kebun yang sedang membersihkan rumput.
Lio meletakkan selang, membantu tukang kebun meletakkan tiga pot bibit jeruk di tempat yang Dasha inginkan.
"Disini, Non?" tanya Boim meletakkan pot tersebut kedekat kolam ikan, disana pencahayaan cukup bagus jadi akan baik untuk tanaman.
Dasha mengangkat satu jempolnya sedikit tinggi sambil tersenyum. "Iya! Makasih Pak!"
Bersamaan dengan Boim yang beranjak pergi, Lio memilih duduk disamping Dasha sambil menatap lurus kedepan. Taman rumah ini adalah hasil karya tangan Dasha sendiri, ia sangat suka mengurus tanaman, berbagai Bunga mulai bermekaran menunjukkan bahwa gadis itu berhasil.
"Kenapa lo nggak ikut ke rumah sakit? Lo bisa sekalian check up."
Dasha menunduk, melihat kakinya yang masih berbalut perban. "Repot, kasihan Mama. Yang ada gue malah nyusahin lagi."
Lio mendengus. "Nyokap lo udah berubah belum sih?"
"Lio...."
"Cuman nanya."
Dasha menghela napas, menatap lurus kedepan. "Gue juga nggak tau." Bibir gadis itu dipaksa naik, menoleh kearah Lio seolah menunjukan dirinya baik-baik saja. "Tapi setidaknya gue bisa disini, gue udah seneng. Seenggaknya Papa udah mulai peduli."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vestigia
Teen FictionSemua orang punya hak yang sama Tapi stigma masyarakat yang membuat semuanya berbeda