5. Dia yang dirindukan

71 4 3
                                    

Deburan ombak semakin terdengar, air laut sesekali menyapu tepi pantai dengan sinar matahari yang perlahan tenggelam. Disebalik senja, Lio dan Biana masih berjalan di tepi pantai. Sesekali merasakan dinginnya air laut yang menyentuh kaki mereka.

"Jadi, lo udah tinggal di Jakarta hampir setahun?"

Lio mengangguk, berjalan diatas pasir putih yang sesekali disapu ombak.

"Lo masih ngelukis?"

Lio mengeleng. "Semua alat lukis gue tinggalin di Surabaya, tapi gue masih sering buat sketsa. Lagian seseorang bilang, gue cuman buang-buang uang dan waktu untuk melukis."

Biana menghentikan langkahnya, untuk kali ini ia tidak setuju. "Tapi lukisan lo bagus, lo berbakat."

Suara kekehan terdengar, rasanya Lio ingin tertawa keras mendengar kalimat itu. "Apa sih yang bisa dibanggain dari bakat melukis? Apalagi kalau nilai lo jeblok, tetap aja dianggap nggak berguna."

Biana terdiam sesaat, sebelum akhirnya kembali bertanya. "Jadi lo nggak pernah balik ke Surabaya?"

"Enggak." Lio menjawab sambil menunduk, menatap pasir basah yang ia injak. "Gue juga masih belum punya keberanian untuk ketemu Ziya."

"Ziya pasti seneng kalau lo datang."

Lio menoleh, melihat Biana yang berhenti disampingnya. "Menurut lo begitu?"

"Iya. Karena setahu gue, Ziya itu anak yang penyayang, dia gadis yang hebat. Jadi gue pikir dia pasti pengen ketemu lo." Biana membalas tatapan Lio sambil tersenyum. "Dia pasti kangen Kakaknya."

"Gue terlalu buruk untuk disebut Kakak."

"Tapi Ziya pasti nggak pernah mikir itu." Biana menghela napas berat, menatap langit berwarna jingga sambil tersenyum sendu. "Hidup nggak selalu berjalan sesuai keinginan kita, Lio. Lo cuman perlu belajar ikhlas, walaupun itu sulit."

"Gue masih belajar soal itu. Soal kata ikhlas yang selalu orang lain katakan ke gue," jelas Lio ikut memandangi senja. "Gue terus mencoba tapi selalu gagal, gue gagal mengikhlaskan semuanya. Seandainya gue...."

"Gimana caranya lo belajar ikhlas kalau masih ada kata seandainya?" potong Biana cepat berhasil membuat Lio terdiam. "Lio, gue nggak minta lo ikhlas secepat itu."

"Tapi setidaknya lo temui Ziya. Dia pasti nungguin lo di Surabaya."

Air mata Lio akhirnya jatuh kembali, kedua tangannya bertaut dengan bibir digigit pelan. "Gue...." Lio mengeleng. "Gue nggak bisa."

Lio menghapus air matanya kasar sebelum Biana melihat, bibir Lio sedikit naik tanda ia baik-baik saja. "Makasih udah dengar cerita gue, entah kenapa gue ngerasa nyaman. Mungkin itu yang dirasain Ziya waktu ketemu lo."

"Sama-sama, gue seneng bisa dengerin cerita lo. And sorry soal tadi, gue beneran nggak bermaksud nyakitin lo," ucap Biana merasa bersalah karena melempari Lio dengan batu.

"Nggakpapa, nggak sakit juga kok."

Lio dan Biana larut sesaat dalam keindahan senja, seolah menghipnotis dan membawa ketenangan.

"Oh ya, dari tadi bicarin tentang gue terus." Lio membuka suara kembali. "Lo sendiri, kenapa pindah ke Jakarta?"

"Gue rasa lo nggak perlu tau alasannya."

"Oke," angguk Lio menghargai ucapan Biana. Jika gadis itu tidak ingin bercerita maka ia tidak akan memaksa.

Biana menatap jam tangannya, sudah saatnya ia pergi dari sini atau ia akan mendapat masalah. "Udah mau malem, gue pulang dulu ya."

"Sendiri? Naik apa? Taxi?"

Biana terkekeh. "Mahal kalau naik Taxi."

Dahi Lio berkerut. "Terus? Lo pulang naik apa?"

Vestigia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang