Dasha mengetuk pulpen dimeja, matanya fokus ke jendela, duduk sendiri di ujung kelas sambil bersenandung ringan. Ada hal yang masih terus ia pikirkan, tentang seseorang yang tidak hadir hari ini.
"Mau?"
Dasha menoleh lalu memutar bola matanya malas, dirinya kembali fokus menghadap jendela. Melihat tetesan air bekas hujan semalam, tidak tertarik dengan roti yang Davin tawarkan. Hening tercipta begitu saja, suara berisik disekitar seolah hanya angin semata bagi keduanya.
"Maafin gue, Sha." Davin sudah duduk disampingnya, sedikit menunduk karena rasa bersalah. "Seharusnya, gue nggak ngomong kayak tadi malam."
Dasha bergeming, meski tak memperhatikan dia setia mendengarkan. Jemarinya perlahan mengepal, menggengam pulpen seolah siap dipatahkan.
"Lo bener, gue selalu cemburuan. Tentang Lio bahkan tentang lo."
Dasha akhirnya menoleh setelah kalimat terakhir di ucapkan. "Gue?"
Davin tersenyum miris, bibirnya terasa kelu kala mengungkapkan apa yang ia pikirkan. "Hanya cemburu karena lo dan Lio nggak pernah dituntut apapun oleh Kakek."
Dasha terkekeh sinis, gadis itu mengeleng lalu kembali melihat keluar jendela. "Nggak pernah terlihat bukan berarti nggak pernah kejadian."
Tangan Dasha diraih, digenggam lalu diletakkan didadanya. Davin memejamkan mata, dirinya benar-benar ingin meminta maaf kepada saudarinya. "Gue tau, gue kali ini salah. Gue nggak bisa kendaliin rasa cemburu gue, gue minta maaf Sha. Gue bener-bener minta maaf."
Mata Dasha perlahan terpejam, hatinya terasa pedih setiap kali Davin melakukan ini. Meletakkan tangannya diatas dada, tepat di mana jantung Davin berada itu sangat menyakitkan. Setiap menit, setiap detik, setiap detak jantung Davin seolah sangat berharga dan selalu menjadi prioritas. Prioritas, yang tanpa sadar juga menyakiti dirinya.
Dasha perlahan berbalik, menatap Davin lalu menarik tangannya perlahan berpindah ke bahu saudaranya. "Gue udah maafin lo."
"Bukannya itu kewajiban gue? Selalu harus bisa maafin lo."
Hening, hanya ada tatapan yang membuat keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Davin terkesiap kala dahinya ditepuk mundur.
"Enggak usah liat gue, beliin gue makan sana. Gue laper," titah Dasha kembali berbalik melihat jendela.
Davin maju sedikit, membuat wajahnya sedikit terlihat dari samping. "Mau makan apa, adikku sayang?"
Dasha tampak berpikir sejenak. "Bawain gue mie aja deh."
Raut wajah Davin berubah seketika. "Nggak ada mie mie, usus buntu lu," ketus Davin memundurkan tubuhnya.
"Gue makan mie sebulan sekali ye bang, nggak akan kena usus buntu," cerca Dasha tak terima.
"Dirumah aja deh, nggak sehat beli mie dikantin."
Dasha memicingkan mata, merasa tak terima atas pembelaan Davin. "Gue lapernya sekarang Davin! Beliin nggak?!"
"Tapi, Sha...."
"Yaudah nggak usah gue maafin."
"Oke fine, gue beli sekarang. Lo diem disini, makan dikelas aja," ucap Davin mengalah, beranjak meninggalkan Dasha bersama teman sekelasnya.
"Tumben ngalah," cibir Dasha melihat punggung Davin menghilang dari balik pintu. Suara decakan terdengar, Dasha mengeleng saat menyadari benda berwarna hitam masih bertengger di atas meja. "Nih orang kebiasaan."
"Ke Kantin nggak bawa duit," cibir Dasha melihat dompet Davin tertinggal diatas meja. Tangan Dasha tertahan sebelum berhasil meraih dompet saudaranya.
Dasha memutar bola matanya malas saat tau siapa yang menahan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vestigia
Teen FictionSemua orang punya hak yang sama Tapi stigma masyarakat yang membuat semuanya berbeda