"Bagaimana?"
"Ada satu barang yang terlihat tak biasa dan kami berhasil mendapatkannya," jawab seorang pria yang masih dibungkus dengan penyamaran serbahitam.
Sebuah kantung serut kecil telah berpindah tangan ke seorang pria paruh baya yang menyandang status sebagai perdana menteri untuk kedua kalinya. Kedua tali yang menjadi penyerut kantung mengendur setelah ditariknya. Perdana menteri yang menduduki usia empat puluh sembilan tahun itu tersenyum kecil seraya mengeluarkan isi dari kantung tersebut. Segelintir informasi berhasil ia dapatkan melalui pengawal rahasianya.
"Baguslah, terus awasi setiap pelelangan di seluruh kota, kita harus dapatkan jejak apa pun!" perintah sang perdana menteri.
"Hai!" sahut pria dengan pakaian serbahitam itu. Setelah menanggalkan jaket kulit hitamnya, terungkaplah sebuah badge besi bertuliskan "Ishida Hayato".
Malamnya, para pengawal kembali berkumpul untuk memperoleh informasi terbaru dari misi masing-masing. Langit makin menghitam—pekat, awan suram kian menyelimuti atmosfer mencekam di seisi kantei. Hitoshi yang cemas disibukkan oleh keyboard ponselnya. Pesan demi pesan tersampaikan pada kontak bernama Sasaya Rikumi.
Sasaya-san, tampaknya aku pulang besok. Tolong jaga Nozushi, terima kasih!
Begitulah isi pesan dari Hitoshi yang masih dibelenggu kekhawatiran. Memiliki seorang putri ternyata lebih merepotkan dari yang dia duga. Bukan karena tak bisa merawatnya, melainkan harus menyembunyikan keberadaannya. Termasuk dari rekan terdekatnya sendiri, yakni Ishida Hayato. Kali ini, Hitoshi tak hanya menjadi pengawal untuk perdana menteri, tetapi juga sang putri.
Malam kian larut, sedangkan beragam agenda masih setia memenuhi durasi perundingan. Para pengawal terpaksa mengikhlaskan jadwal istirahat mereka karena ocehan perdana menteri yang tak kunjung usai. Tugas yang diemban para pengawal menjadi lebih ekstra saat Matsuoka Shizen kembali menjabat sebagai perdana menteri Toka. Misi-misi baru terus menjemput mereka untuk memenuhi ambisi pria tua itu.
Matsuoka Shizen mengeluarkan belahan batu permata biru dari misi Hayato pagi tadi. Hitoshi seketika membelalak, batu biru itu tak asing baginya. Bahkan alur patahannya sangat cocok dengan belahan permata biru yang ada padanya.
"Kalian tahu ini apa?" tanya si perdana menteri sambil mengangkat benda itu cukup tinggi. "Dari luar, ini hanya sebuah batu permata yang sudah terbelah, tetapi ada sihir yang terkandung di dalamnya," tuturnya yang spontan membuat seluruh orang terperangah.
"Be-benarkah? Jadi, sihir masih ada?" Maru berkomentar sedikit panik, lebih tepatnya tak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya.
Sang perdana menteri memberi senyum simpul, lalu membalas, "Tentu saja. Kau kira untuk apa selama ini semua negara mengawasi rakyatnya? Itu karena ... kaum mereka masih ada."
Jantung Hitoshi seakan-akan memompa darah dua kali lebih cepat tatkala kalimat tersebut terlontar dari atasannya. Meskipun ia sendiri tak tahu siapa jati diri asli sang putri, tetapi perkataan perdana menteri barusan menyadarkannya kembali.
"Aku tidak tahu sihir sejenis apa yang ada di batu ini, tetapi aku mau kalian untuk mencari bagiannya yang hilang. Aku ingin meneliti keseluruhannya secepat mungkin. Ishida Hayato, Kotosuki Hitoshi, dan Maru Keita, aku ingin kalian ikut serta dalam pencarian ini. Terutama kau Hitoshi, aku mengandalkanmu!" titah sang perdana menteri sebelum angkat kaki dari sana.
"Hai!" Hayato dan Maru menyahuti dengan kompak, kecuali Hitoshi yang mulai kehilangan fokusnya. Napasnya memburu, dadanya pun tak kalah sesak. Daripada sebuah misi, perintah tadi lebih terlihat sebagai rentetan petunjuk menuju rahasia terbesarnya—Nozushi. Entah kebetulan atau bukan, tetapi berhasil menampar Hitoshi, bahwa risiko yang dibicarakannya dulu perlahan-lahan sedang menghampirinya. Hitoshi salah besar jika berpikir bahwa ia dapat hidup bahagia bersama putrinya. Karena nyatanya, jejak sang putri dapat ditemukan meski sudah delapan tahun lamanya.
***
Hari berlalu dan memperlihatkan Hitoshi yang berkunjung ke kamar putrinya. Kamar itu ditata dengan pernak-pernik menggemaskan berwarna biru laut sebagai warna favorit sang empu. Beberapa target panahan juga memenuhi sebagian tembok, guna membantu latihan mandiri gadis kecil itu.
Hitoshi duduk di tepi ranjang, menyugar lembut rambut putrinya. "Nozu-chan, kau baik-baik saja?" tanyanya lantaran tubuh kecil itu belum juga menyentuh makan malamnya. Hitoshi kaget saat tangannya merasakan suhu yang begitu panas dari kening Nozushi. "Tubuhmu panas sekali. Ayo, ke rumah sakit!" titahnya khawatir, hendak membopong tubuh putrinya yang masih dibungkus selimut.
"Mereka sudah menemukannya, ya?" Bibir kecil itu bersuara dengan mata yang masih terpejam.
Hitoshi spontan memaku pergerakannya. "Nozu-chan? Kau bicara apa? Kau mengigau?" tanyanya seraya memicingkan mata.
"Hitoshi-kun, kau akan melindungiku, 'kan?"
Hanya sebuah pertanyaan biasa, tetapi mampu membuat Hitoshi membisu dilahap kengerian yang luar biasa, sampai-sampai tungkainya mati rasa. Alasannya adalah, suara itu tidak terdengar seperti gadis berusia delapan tahun, melainkan seorang wanita dewasa.
"No-Nozushi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaguya : The Light Between Two Destinies
FantasyKehebatan Kotosuki Nozushi dalam hal memanah menjadikannya seorang pengawal perdana menteri, yang mana ia harus menjaga orang yang sangat penting di Javana. Alih-alih ingin mengejar gelar tinggi, Nozushi malah diikutsertakan dalam misi pencarian bel...