03: Other Eyes Are Watching

9 1 0
                                    

Matahari kian bergerak ke ufuk barat, lantas memelopori rona ungu yang didominasi jingga untuk bersemarak menutup hari. Corak senja itu pula yang menjadi pemandangan dari balik kaca bus wisata yang ditumpangi sekelompok murid sekolah dasar. Ocehan-ocehan kecil senantiasa berkicau di sepanjang lintasan walaupun sebagian dari penumpang berwajah lugu itu telah dijerat oleh rasa kantuk.

"Hei, kau lihat bulan tadi malam?" Seorang bocah lelaki membuka obrolan dengan teman sebangkunya.

"Aku melihatnya, warnanya sedikit merah. Ibuku bilang bulan merah tidak baik," sahut si bocah satunya, sedikit antusias dengan topik yang dibawa temannya, tak terkecuali seorang gadis kecil yang duduk di belakang mereka. Badge nama bertuliskan "Kotosuki Nozushi" tersemat sejajar dengan saku seragamnya. Telinga gadis kecil itu berdengung seakan-akan menunjukkan penolakan.

"Kenapa begitu?" Nozushi menyela dengan ekspresi tak suka. Kedua bocah lelaki itu serentak menengok ke belakang, kemudian mengubah arah duduk mereka.

"Bulan berwarna merah itu penuh kutukan. Semua orang bilang begitu," jelas bocah yang memulai percakapan tadi.

"Tidak semua orang bilang begitu. Jangan bohong!"

"Kotosuki-san, kau kenapa?" Bocah lelaki lainnya bertanya dengan bingung, lalu menatap temannya yang juga kebingungan.

Bocah perempuan yang masih bersemuka dengan mereka itu makin menampakkan kekesalannya. "Aku benci dengan orang-orang yang berbicara buruk tentang bulan. Aku juga benci ibumu karena mengatakan hal buruk tentang bulan!" jelasnya sambil menunjuk salah satu bocah lelaki. Tatapan mengintimidasi Nozushi buru-buru membuat keduanya mengubah kembali arah duduk dengan wajah ketakutan. Mereka bahkan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun lagi setelahnya.

***

Setelah menempuh waktu hampir satu jam lamanya, kendaraan roda empat itu mulai memasuki jalur satu arah menuju sebuah sekolah elite. Sederet mobil mewah sudah terparkir di sepanjang gerbang, menunggu kepulangan para bocah yang baru saja melakukan tur wisata bulanan. Hitoshi melambai dari kursi mengemudi saat maniknya menangkap sosok kecil yang turun dari bus. Rambut sanggul dua dengan sentuhan pita merah muda tampak selaras dengan seragam musim panas yang dikenakannya. Namun, pakaian supergemas itu tak juga menutupi kekesalan di wajah sang pemiliknya.

"Jadi, bagaimana wisata ke akuariumnya?" tanya Hitoshi dengan senyuman hangat, mencoba memecah keheningan ketika ia menyadari wajah muram sang putri yang terpampang.

"Menyenangkan," jawab Nozushi pelan, sangat kontras dengan ekspresi yang dipasang.

Hitoshi terkekeh sembari mencolek pipi Nozushi. "Lalu, ada apa dengan wajahmu?" tanyanya.

"Itu ... temanku bilang kalau bulan berwarna merah itu kutukan. Apa kau juga berpikir begitu, Paman?" tanya Nozushi sembari menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Terungkap alasan di balik kemurungan gadis kecil itu, Hitoshi dibuat terkekeh lagi karenanya.

"Astaga, kenapa kau serius begitu, Nozu-chan?" goda Hitoshi tatkala melihat raut penumpang kecil di sampingnya. "Begini, menurut ayah, temanmu tidak sepenuhnya salah. Adakalanya hal-hal seperti itu memang terjadi," jelas Hitoshi.

Dahi Nozushi mengerut bersamaan dengan posisi duduknya yang kembali tegak. "Bagaimana mungkin ada hal seperti itu?" tanyanya bingung.

Hitoshi menghela napasnya pelan sebelum berkata, "Karena dulu, manusia hidup berdampingan dengan para dewa dan dewi."

Tak ada respons apa pun yang keluar dari bibir kecil gadis itu. Ia lebih memilih membuang atensinya pada separuh bulan yang terpatri bersama para bintang. Untuk seukuran anak berusia delapan tahun, Nozushi sadar bahwa ia berpikir terlalu keras. Bahkan cara berpikirnya terkesan dipaksakan layaknya orang dewasa.

Di lain tempat, sebuah aula megah telah memuat berbagai presensi. Mulai dari kaum menengah ke atas, golongan sendok emas hingga para pejabat. Semuanya terhimpun dalam satu tujuan, yakni melancarkan aksi negosiasi pada sejumlah barang rongsokan. Setidaknya, begitulah isi pikiran kaum menengah ke bawah. Menguras habis dompetmu untuk sebuah benda tak bernilai alih-alih menggunakannya untuk hal yang lebih bermanfaat. Khususnya kaum menengah ke atas yang terkesan memaksakan diri untuk mengimbangi level para konglomerat.

Dentum jarum jam kian mengawal kegiatan tersebut dengan sempurna. Barang demi barang telah keluar untuk meraih nominal tertinggi dari para audiens di sana. Sampai tibalah barang terakhir yang dikelilingi oleh kaca laminasi berbentuk kubus. Permukaannya pula tak dibiarkan polos begitu saja, sebuah bantal putih menopangnya dengan sangat anggun. Penyajian itu teramat sempurna sampai-sampai menjadi magnet atensi bagi para kolektor di sana.

"Sebelumnya, aku ingin memberitahu sesuatu pada kalian. Batu ini bukan batu biasa, batu ini sangat istimewa. Mengapa begitu? Kalian akan tahu sendiri jawabannya!" Pemandu acara yang berdiri di panggung memamerkan senyum miring, seolah-olah sudah paham cara memancing audiensinya. "Baiklah, mari kita buka harga dari seratus juta yen. Siapakah yang akan membawa pulang batu permatanya?" lanjutnya mengumumkan nominal awal dari balik mikrofon.

Papan nomor dua puluh tujuh terangkat tinggi. Pemiliknya sangat antusias untuk merampas barang lelang tersebut. "Seratus lima puluh juta yen, berikan padaku!" ujarnya.

"Jangan sombong dulu, dua ratus juta yen!" Suara wanita menginterupsi dari kursi belakang, menawarkan nominal yang lebih tinggi sembari bersedekap.

"Tiga ratus juta yen! Batu itu milikku!" sanggah tamu lainnya.

Papan-papan nomor di sana terangkat silih berganti disertai nominal-nominal baru yang saling bersahut-sahutan. Semua orang berkompetisi demi secercah validasi. Karena faktanya, uang itu tak hanya digunakan untuk membeli barang yang dilelang, tetapi juga harga diri para tuannya. Entah itu pelelangan barang atau status, tak ada perbedaan yang terlihat. Keadaan yang justru menguntungkan satu sisi malah saban hari dilakukan tiada henti. Batu permata itu masih diperebutkan, kali ini bercampur dengan amarah lantaran tak ada satu pun yang ingin mengalah.

Di tengah atmosfer kacau tersebut, seorang lelaki bertopi hitam yang duduk di barisan terdepan mengawasi dengan tenang. Seringainya timbul sebelum berkata, "Satu miliar yen!" Nominal yang dilontarkannya seketika membungkam kegaduhan di sana. Angka satu tercetak pada papan yang diangkatnya dengan penuh percaya diri. Sudut bibirnya makin mengembang, menyatakan sebuah kepuasan.

"Sial, aku tidak punya sebanyak itu!" umpat seorang lelaki tua.

"Yang lain?" tanya si pemandu memastikan, tetapi tak satu pun orang yang merespons. Nominal yang sangat sulit dijangkau bagi para kolektor yang mengetahui kapasitas mereka. "Satu miliar yen, terjual pada nomor satu!" sambung si pemandu acara sembari mengetok palu. Aula itu lantas dipenuhi oleh tepuk tangan, meskipun masih tersisa rasa jengkel pada masing-masing benak para insan di sana.

Tak jauh dari keramaian itu, sekelompok orang bersetelan hitam terlihat mengintai sejak awal. Kelompok yang terdiri dari lima orang itu hanya menonton dari barisan kursi belakang. Memijak lantai yang sama, pun datang sebagai kolektor. Namun, bukan untuk mengoleksi materi, melainkan informasi.

"Siapa yang mendapatkannya?" Salah seorang dari kelompok itu membuka perbincangan.

"Pengawal perdana menteri, siapa lagi memangnya?" sahut salah satu rekannya, "merekalah yang paling geger karena desingan itu!" timpalnya lagi dengan intonasi mengejek.

"Mereka pasti sudah siaga dari dulu. Mengawasi setiap gerak-gerik manusia di sini." Tanggapan itu datang bersama vokal bas yang sedikit menusuk. "Ayo, kembali! Kita sudah mengoleksi semuanya!" katanya seraya tertawa licik.

Kaguya : The Light Between Two DestiniesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang