𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝟎𝟑 : 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐚𝐥𝐥

82 13 7
                                    

We need ghost stories because we-in fact-are the ghosts.

(Stephen King)

Satu bulan kemudian

Kafe M, 05.00 PM

Saat Wang Yibo berjalan di antara meja-meja, angin semilir dari arah sungai menerpa rambutnya. Dengan secangkir kopi di tangan, ia memilih hanya berdiri menyandarkan bahu pada satu pilar di teras kafe. Tangannya bergerak merogoh sebungkus rokok dan pemantik dari saku celana, menyelipkan satu batang rokok di sela bibir, lantas menyulutnya dengan cepat. Hari ini penampilannya cukup berbeda. Dia mengenakan jeans dan T-shirt, menikmati hisapan demi hisapan rokok, meniup asapnya ke udara. Kemudian ia menoleh pada seorang pria lain di meja yang paling dekat dengannya dan tersenyum. Meskipun dia bertindak seolah-olah hidupnya sesantai kelihatannya, dia selalu menjaga kewaspadaan dan ketajamannya setiap waktu. Pandangan matanya mengawasi beberapa pasang muda mudi yang berlalu lalang di kawasan itu, serta di meja-meja berpayung bagian depan kafe ini.

"Senja yang indah di hari valentine," dia berkata cukup lantang. Jelas ditujukan pada seseorang. Pria di meja paling dekat menanggapi dengan tatapan dan menyeringai.

"Valentine hampir berakhir, kukira kita tidak seberuntung mereka," pria itu berpenampilan lebih resmi. Celana bahan hitam dan kemeja abu. Tetapi dia sama mudanya dengan Wang Yibo dan terlihat sangat akrab.

"Apakah petugas patroli tidak boleh ikut merayakan?" Wang Yibo tersenyum tipis seraya menghisap rokoknya lagi, memenuhi paru-paru dengan nikotin.

"Tidak ada sangkut pautnya dengan profesi. Itu bergantung pada keberuntunganmu memiliki pacar atau tidak."

"Yaakkk! Itu dia masalahnya," Wang Yibo berdeham canggung.

Dia bergerak dari posisinya, kemudian duduk tepat di hadapan pria yang baru saja ia ajak bicara. Diputarnya rokok yang masih setengah pada asbak di meja sampai nyalanya mati.

"Tidak punya pacar di usia dua puluh delapan. Apa hanya aku yang punya nasib seperti ini? Jackson, bagaimana denganmu?" ia menatap pria di seberang meja.

"Jangan khawatir, bung, aku bersamamu," pria berkemeja abu yang dipanggil Jackson terkekeh kering, kemudian meneguk kopinya.

Wang Yibo meletakkan cangkir di meja, bersandar santai dan mencuri pandang pada pemandangan. Saat itu pertengahan Februari, hari valentine. Suhu sore ini hampir sempurna dan langit biru tua membentang ke cakrawala. Ujungnya bertemu dengan garis air sungai dan semburat jingga mulai terbit di sana, menandakan matahari tak lama lagi akan tenggelam. Selusin burung gereja bertengger di pagar pembatas area kafe dengan sungai, menunggu untuk terbang melesat bersama-sama.

"Jadi, pukul berapa kita akan kembali ke markas?" Jackson bertanya, ikut mengamati pemandangan menakjubkan dari teras kafe tempat mereka menghabiskan sisa hari.

Wang Yibo melirik arlojinya, dan menjawab, "Sebentar lagi pukul enam. Kita akan berada di sana pada pukul tujuh."

"Yah, makan malam bakmi pangsit Bibi Shui lagi? Tapi tidak buruk, aku menyukainya." Jackson tertawa kecil, meneguk sisa minuman untuk menghabiskannya.

"Mari kita akhiri acara nongkrong ini."

Setelah membayar tagihan, keduanya menuju sebuah mobil sedan silver yang terparkir di kawasan parkir samping kafe. Semakin malam, keramaian di kawasan itu semakin bertambah. Orang-orang menikmati keindahan matahari tenggelam yang menakjubkan, seolah sungai menelan bola api raksasa kemerahan. Tak lama kemudian kerlip lampu dari perahu wisata yang berpesiar mengangkut para penumpang yang ingin melayari sungai dalam putaran tertentu, akan menggantikan keindahan alam dan menjadi daya tarik yang lain.

The Mist of Valentine (End Pdf) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang