Happy Reading
CRAASH!
CRAASH!
CRAASH!
"Cukup professor, sepertinya orang itu sudah mati."
Seorang pria dengan wajah dan tangan yang dipenuhi darah menghentikan pergerakannya. Ia menatap tajam ke sebuah mayat laki-laki yang sudah terbaring tak berdaya berlumuran darah. Dan juga sebuah belati tertancap tegak di dada sebelah kirinya. Sudah pasti belati itu merobek jantung si korban.
Pria yang dipanggil Professor itu menyeka bibirnya yang tertutupi darah segar. Keringat yang bercampur dengan darah si korban yang ada di dahinya menetes ke lantai. Napas pria itu berangsur-angsur normal. Netranya menatap dingin kearah si mayat.
Kemudian ia menggerakkan kembali tangannya. Mencabut belati yang tertancap di dada kiri korban. Professor itu berdiri, menerima sebuah handuk putih untuk membersihkan tangannya yang penuh dengan darah. Lalu ia berjalan sambil melempar belati yang tadi ia gunakan itu ke atas meja keramik berwarna putih.
Trangg!
Belati itu berputar selama 5 detik setelah dilempar.
"Segera bersihkan kekacauan ini. Simpan benda itu ke tempatnya, lalu segera urus mayatnya," si Professor berucap dengan nada dingin dan suara yang berat.
Ia berjalan dengan langkah yang tenang menuju pintu putih yang tingginya hampir tiga meter. Meletakkan ibu jari sebelah kananya di layar hologram berukuran 10 × 10 centimeter. Layar hologram itu berbunyi dan sedetik kemudian pintu putih itu bergeser. Sebuah jalan keluar terbuka lebar.
Namun, sebelum pria itu benar-benar pergi meninggalkan ruangan serba putih dengan satu mayat di dalamnya. Ia berkata lagi kepada tiga laki-laki jangkung yang mengenakan jas laboratorium putih serta kacamata bening.
"Jangan lupa untuk mengambil otaknya."
Setelah mengucapkan kalimat yang terdengar sadis itu menggunakan nada yang sangat tenang, sang Professor lalu melanjutkan langkahnya. Ia keluar dari ruangan itu lalu punggungnya menghilang di makan pintu yang kembali tertutup rapat.
Ruangan putih berukuran 21×21 meter persegi itu nampak lengang. Di tengah ruangan terdapat meja keramik putih yang sangat berantakkan. Serpihan kaca berserakan di mana-mana.
Salah satu pria dengan rambut legam seleher menghembuskan napas panjang sambil memandang mayat seorang laki-laki yang sangat mengenaskan. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh luka robek tusuk -yang entah berapa kali mayat itu mendapatkan tusukan dari sebuah belati tajam. Darah menodai sebagian lantai putih itu.
Si pria berjongkok. Dengan sarung tangan karet yang sudah ia kenakan, dia membolak-balikkan wajah si mayat untuk mencari tahu apakah ada luka tusuk di wajahnya. Tapi tidak ada, Professor itu hanya menikamnya di bagian tubuh sebanyak 34 kali.
"Segera bersihkan ruangan ini. Lalu bawa mayatnya ke ruangan operasi. Kita akan segera membedahnya," titah laki-laki berambut seleher itu kepada dua orang laki-laki lainnya.
"Kenapa ngga besok aja?" Laki-laki jangkung lainnya memecah keheningan.
"Dia akan membusuk jika menunggu besok hari," jawabnya.
"Kita bisa memasukkannya dalam cryonics supaya mayatnya gak cepat busuk." Salah satu yang lainnya menimpali lagi.
Dia menghembuskan napas jengah. "Itu benar, tapi memori dalam otaknya akan menghilangkan seiring berjalannya waktu. Professor tidak ingin itu terjadi, tuan Yuta."
Laki-laki bernama Yuta itu membuang wajah. Akhirnya dia pasrah dengan keputusan itu, ia hanya bisa menggerutu di dalam hati. Seharusnya malam ini ia bisa pulang lebih cepat, tapi nyatanya ia harus tetap tinggal hanya untuk mengurus mayat. Dan ia yakin sekali pekerjaannya itu akan menembus pagi hari.
"Dokter Ten, anda bisa menyiapkan alat-alatnya. Silahkan ambil sample darahnya."
Si dokter mengangguk. Lalu tanpa berpikir panjang ia langsung mengeluarkan tiga buah suntikan dan segera menancapkan jarumnya ke tubuh mayat, maka tiga buah suntikan itu sudah terisi penuh dengan darah korban.
Kenapa tidak mengambil yang di lantai saja? Oh, itu akan mempengaruhi hasil pemeriksaannya nanti. Darah yang di lantai tentu saja sudah terkontaminasi dengan bakteri.
"Saya akan segera kembali."
"Tunggu, anda ingi pergi kemana, tuan Kun?" Yuta. Laki-laki berambut pirang itu menghentikan langkah rekan kerjanya.
"Saya harus menghubungi Professor Na Jaemin dan menunggu perintah darinya," Kun menjawab dengan tenang.
Yuta menjauhkan tangannya dari hadapan rekan kerjanya. Ia benar-benar tidak bisa berkutik. Sejujurnya ia sangat membenci pekerjaan ini.
Sebuah pekerjaan yang seluruh dunia melihat kalau mereka berkerja menjadi seorang ilmuwan dengan Professor wibawa yang menjadi petinggi di gedung itu. Tapi ternyata ia baru mengetahui bahwa ia bekerja bersama orang gila yang haus darah.
Kun kembali melanjutkan langkah. Keluar dari ruangan serba putih yang semakin lengang itu. Dokter Ten masih sibuk dengan pekerjaannya, sementara Yuta di tugaskan untuk membersihkan ruangan dan memindahkan mayat ke ruang operasi.
Betapa sial dirinya. Mendapatkan sebuah pekerjaan bergaji besar tapi ternyata ia harus berhadapan dengan manusia psikopat yang terlalu obsesi dengan eksperimen gilanya.
To be continued...
.
.
.Are u ready?
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
C'est La Vie
Science Fiction❝Tuhan akan tetap berbuat baik bahkan pada manusia yang penuh dosa sekalipun. Tapi keadilan-Nya berlaku kepada siapa saja.❞ . . "Mereka mengatakannya sebagai 'tebusan bagi si pendosa' tapi ada juga yang mengatakan 'balasan bagi si pendosa'." . . Ten...