Juna mengayunkan kaki dihalte bus. Hujan sudah turun, angin berhembus lembut menderakkan ranting. Gemerisik daun seperti bernyanyi, seolah menghibur Juna dengan segala rasa yang bercampur didada. Ia tak pernah terlalu memikirkan ucapan ibunya, lebih tepatnya sudah terbiasa. Sejak kecil ia sudah mendengar kata penolakan dan makian yang tak kunjung henti dari wanita itu, seperti lagu pengantar tidur, merasuk kedalam mimpi dan sanubari. Namun Juna tak bisa berbohong jika ia juga ingin merasakan belai lembut tangan seorang ibu, kata-kata penenang dan kecupan hangat sebelum tidur. Saat memikirkannya, Juna sedikit merasa lucu. Bagaimana mungkin ia memikirkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya? Konyol sekali.
Bus sudah datang, berhenti tepat didepan Juna. Ia bergegas masuk dan memejamkan mata saat menemukan tempat duduk.
Selama 15 menit perjalanan, Juna tak pernah membuka mata. Sebenarnya ia berniat tidur sebentar, tapi urung karna beberapa anak yang sangat berisik duduk dibelakangnya. Juna bukan orang yang akan dengan berani menegur hal yang mengganggu, ia lebih memilih diam hingga hal itu hilang.
Dukk
Juna membuka mata saat kursi nya dihantam sedikit keras, ia menoleh kebelakang dan mendapati seorang laki-laki yang melihatnya dengan wajah bersalah. Seperti anak kucing yang ketahuan mencuri ikan.
"Sorry-sorry, lo ngga apa-apa kan?"
Juna hanya mengangguk dan tersenyum tipis, menandakan bahwa ia baik-baik saja. Ya, selalu begitu. Juna paling ahli berbohong soal dirinya. Ia berbalik dan kembali memejamkan mata.
"Lo sih.. jadi kena orang kan."
"Ya mana gua tau lo bakal oleng kek gitu."
Laki-laki itu duduk di kursinya, merasa begitu bersalah pada orang yang duduk didepannya. Ini kali pertama ia dan teman-temannya menaiki bus ke sekolah dan langsung membuat masalah. Sial sekali. Ia ingin memanggil untuk meminta maaf yang kedua kalinya, namun bus sudah berhenti dan ia sudah ditarik keluar menuju sekolah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."TARAKA BAGI PR DUUNGGG"
"....."
"Tarakaaaa...."
"....."
"Taraka bangsat, gua sumpahin lo budeg beneran."
Taraka menghela nafas lalu memukul kepala Jaya dengan buku pelajaran. Berharap otak laki-laki itu sedikit berubah dan menerapkan 'rajin mengerjakan pekerjaan rumah' didalamnya.
"Namanya pr tuh dikerjain di rumah, bukan disekolah."
Jaya tersenyum menampakkan seluruh giginya, terkesan seperti kanak-kanak. Padahal umurnya sedikit berada diatas Taraka.
"Gua lupa."
"Itu terus alasan lo sampe ni bumi kebelah dua."
Taraka menyerahkan buku pr nya membuat Jaya bersorak seperti mendapat jackpot dan beralih ke meja nya sendiri. Taraka tak ingin peduli lagi pada temannya itu. Ia menatap kearah jendela, memperhatikan bulir hujan yang menghantam kaca. Taraka suka hujan, suka sekali. Hujan bermula dari satu tetes air, hingga akhirnya menjadi deras. Dari hal sederhana itu Taraka memahami bahwa segala sesuatu memerlukan proses. Semua berawal dari suatu hal kecil sebelum akhirnya berkembang menjadi hal besar. Hujan juga tak kenal lelah, meski sudah jatuh berkali-kali, ia tetap kembali membasahi bumi, memberikan kehidupan dan mengabulkan harapan tanah gersang.
Ditengah riuh pikirannya yang membanggakan hujan, senyum laki-laki yang ada di bus mengambil alih ingatannya. Taraka mengerjap sejenak, bersamaan dengan itu hujan mereda. Hujan seakan tau bahwa pikirannya sedang berselingkuh, memikirkan hal lain selain hujan. Senyum laki-laki itu terlampau tipis untuk dikatakan bahwa ia tengah tersenyum. Taraka berdecak, merasa kesal pada dirinya sendiri. Kenapa ia bergerak lambat sekali untuk meminta maaf yang kedua kalinya tadi?
Triingggg
Bel sekolah membuyarkan lamunan Taraka. Namun pandangannya tetap pada jendela, pemandangan setelah hujan selalu indah dimatanya. Hingga seorang guru dan seorang anak laki-laki dibelakangnya masuk, membuat seisi kelas menjadi tenang. Taraka mengerjap, apakah ia terlalu merasa bersalah pada anak laki-laki di bus tadi hingga sampai terbayang-bayang didepan matanya?
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi, Buukk!"
Guru perempuan paruh baya itu tersenyum sejuk melihat anak-anak didiknya, "Hari ini ibu bawa teman baru untuk kalian. Dia pindahan dari SMA Merdeka."
Dawita, atau lebih sering dipanggil Bu Wita, menarik anak laki-laki disampingnya untuk berdiri sedikit lebih maju, "Juna, ayo kenalin diri kamu ketemen-temen."
Juna melipat bibirnya kedalam, berusaha menghentikan kegugupan yang sejak tadi mempercepat detak jantungnya, "Halo semua, aku Naga Arjuna. Panggil aja Juna."
Tepat setelah Juna memperkenalkan diri, seisi kelas langsung riuh. Sebagian besar diisi oleh suara siswi yang bertanya tentang informasi pribadi, seperti nomor telepon atau status Juna.
Taraka tetap diam, matanya hampir tak berkedip. Suara Juna terngiang ditelinga nya, lembut dan menenangkan seperti melodi ditengah hujan.
'Jadi nama dia Arjuna, namanya bagus.'
Taraka tanpa sadar tersenyum, bibirnya bergerak sendiri. Otaknya memahat nama Juna dalam-dalam, enggan memberikan ruang untuk orang lain. Sampai Dawita memanggilnya, ia tergagap seperti tertangkap sedang melakukan sebuah kejahatan.
"I..iya, buk?"
"Kamu Ibu panggil dari tadi, lagi mikirin apa?"
Taraka menggeleng panik sambil mencuri pandang ke arah Juna, "Nggak mikirin apa-apa kok, Buk. Cuma lagi nggak fokus aja."
Dawita mengangguk mengerti, "Juna duduk sama kamu. Tolong bantu dia kalo dia mau nanya sesuatu, ya?"
Dengan senang hati Taraka mengangguk, merelakan kursi disampingnya yang selalu ia jaga agar tetap kosong karna lebih suka duduk sendiri, "Iya, Buk. Taraka bakal bantu sebisanya."
Dawita tersenyum lalu mempersilahkan Juna untuk duduk. Juna berjalan dengan canggung, bibirnya tersenyum sangat tipis dan terlihat rapuh. Seolah dengan sedikit sentuhan saja senyuman itu akan lenyap terbawa angin.
Juna menghela nafas pelan saat mendudukkan diri dikursi tepat disamping Taraka, ia berusaha menenangkan jantungnya yang berisik. Seperti guntur ditengah hujan, menakutkan.
Mata jelaga Taraka tak henti menatap Juna hingga ia duduk dikursi. Rambutnya sehitam arang, kulitnya seputih salju, matanya seperti sungai di musim panas, berkilau dibawah cahaya surya.
Taraka mengulurkan tangan, dengan senyum selembut kelopak bunga, ia menatap Juna penuh puja, "Hai, gua Taraka. Panggil aja Raka, salam kenal."
Juna menjabat ragu, bibirnya terangkat dengan pelan, "Aku Arjuna."
Enggan sekali Taraka melepas tangan Juna. Jika bisa, ia ingin waktu berhenti, beberapa menit pun tak apa. Asal ia bisa lebih lama menggenggam tangan manusia sempurna didepannya. Bisakah? mungkinkah?
Harapan Taraka sirna, dirinya tertarik kembali pada kenyataan saat Juna lebih dulu menarik tangan, membiarkan tangannya menggantung tanpa tempat berpegangan. Ia menyimpan tangannya dimeja, lalu memperhatikan Dawita yang sudah memulai materi didepan.
Juna fokus dengan pelajaran, matanya berkedip lambat, sesekali mengernyit saat ada beberapa hal yang tak ia mengerti. Semuanya tak lepas dari tatapan Taraka, ia sudah mencoba untuk fokus kedepan tapi tak bisa. Laki-laki disampingnya seperti magnet yang menarik otak dan pikirannya untuk terus berpaling menatap dirinya, seolah berbisik hanya dialah satu-satunya hal paling indah untuk dipandangi dan dipatri didalam hati.
Merasa ditatap, Juna menoleh. Tatapan keduanya bertemu. Kali ini, waktu benar-benar seolah berhenti. Segala suara yang ada bagai mati, hilang kedalam perut bumi. Hanya ada suara halus laki-laki yang bertanya dengan tatapan selembut bunga begonia.
"Raka, kenapa?"
Sepertinya, Taraka jatuh cinta, pada seorang laki-laki bernama Arjuna.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.HAPPY READING
KAMU SEDANG MEMBACA
Naga Arjuna {Taeshan}
Teen FictionKalau ditanya tentang bahagia, Juna tak pernah tau jawabannya. Seperti apa bentuk kebahagiaan, ia belum pernah mengalaminya. Yang ia tau hanya sekolah dan bekerja, menghasilkan uang untuk ibunya. Namun, setelah bertemu dengan Taraka, Juna mulai meng...