Arjuna menyusun buku di rak, tangan putih nya bergerak pelan tapi cekatan. Dibalik kacamata, matanya berkedip lambat. Angin diluar bertiup sedikit kencang, menerbangkan rambutnya hingga menjuntai dikening. Tapi Arjuna seolah tak terganggu, wajah tenangnya terlihat khidmat dengan keindahan yang teramat sangat.
Beberapa orang di perpustakaan berbisik pelan, ingin berkenalan dengan siswa baru yang dua hari ini banyak dibicarakan. Wajah tampan dengan mata tenang yang menyimpan beribu keindahan, senyum manis yang seakan meleleh seperti apel yang baru saja dicelupkan kedalam madu, kulit putih seperti salju dipuncak gunung tertinggi. Siapa yang tidak terpesona? hanya saja, Arjuna terlalu abai dengan semuanya. Sikapnya yang pendiam membuat kesan sulit didekati, begitu tinggi seperti bintang, bercahaya dengan indah namun hanya bisa digapai dalam mimpi.
Disekolah menengah pertama, Arjuna sama terkenalnya. Banyak yang datang padanya untuk berteman atau menyatakan cinta. Namun saat sudah lebih dekat dan tau bahwa Juna menyukai seseorang yang bukan kodratnya, mereka akan mengatakan bahwa Juna adalah orang yang cacat. Seperti lumpur yang melekat pada sepatu, begitu mengganggu hingga dibuang dan ditinggalkan dalam kedinginan. Sejak saat itu, Juna menutup diri, hanya tersenyum simpul saat ada orang yang datang ingin berteman. Ia menyimpan segala luka sendirian, selalu menyembunyikan penderitaan diam-diam. Ia takut ditinggalkan lagi hingga memilih untuk tetap sendiri.
Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Taraka. Entah bagaimana, dirinya seolah tersihir oleh mantra paling kuat didunia. Berani membuka diri pada orang yang baru saja dikenalnya. Bahkan laki-laki itu menyatakan cinta padanya, berjanji untuk menemani dan tidak akan pernah meninggalkannya sendiri. Sejujurnya, Juna takut. Namun hatinya menolak untuk pergi. Ia ingin ditemani, ingin berjalan menyusuri lika-liku dunia bersama Taraka, ingin merasakan bahagia sedikit saja.
"Juna..."
Arjuna menoleh, Taraka berdiri disana. Diujung lorong perpustakaan yang dihimpit oleh rak-rak berisi ratusan buku. Senyumnya merekah indah, membawa kedamaian yang tak berkesudahan, menghangatkan hati yang sudah bertahun-tahun ditutupi dinginnya angin kesendirian.
"Kenapa disini?" Arjuna bertanya saat Taraka sudah lebih dekat dan berhenti didepannya. Taraka sedikit lebih tinggi hingga Juna sedikit mendongak untuk menatap wajahnya.
"Sebentar lagi masuk jam olahraga, aku nyari kamu buat ganti baju."
Arjuna melihat jam didinding perpustakaan, ternyata sudah 15 menit ia berada di disini.
"Aku belum punya baju olahraga, kamu ganti baju sendiri aja, ya? aku tunggu kamu didepan ruang ganti."
Taraka sejenak terdiam lalu mengangguk, keduanya berjalan beriringan keluar perpustakaan. Taraka menyadari jika tatapan siswa perempuan terarah pada Arjuna, mereka seolah berteriak dalam diam. Menyiratkan ketertarikan yang begitu jelas, hingga rasanya kulit kepala Taraka bergetar hingga kesemutan. Tangan Taraka gatal ingin menarik Juna kedalam pelukan, mengatakan dengan lantang bahwa Arjuna adalah miliknya. Namun, dunia tak akan pernah mengizinkankannya. Ia tidak peduli pandangan dunia terhadap dirinya, tapi ia tidak ingin membuat Arjuna menanggung penghinaan besar dari kejahatan dunia.
"Juna, aku lupa tadi dipanggil bu Wita buat urus sesuatu. Aku nggak bisa ikut kelas olahraga, kamu pakai baju aku aja, ya?"
Taraka menyerahkan kunci loker ke tangan Juna. Meskipun wajahnya tenang, namun ada sedikit kebingungan di mata Juna.
"Absen kamu gimana?"
"Aku udah diizinin kok, tenang aja. Kamu ambil aja baju diloker, aku duluan, ya?"
Juna belum sempat bertanya lagi, tapi Taraka sudah pergi. Punggungnya menghilang dibelokan koridor. Juna menghela nafas pelan, hanya bisa menurut dan mencari loker Taraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naga Arjuna {Taeshan}
Teen FictionKalau ditanya tentang bahagia, Juna tak pernah tau jawabannya. Seperti apa bentuk kebahagiaan, ia belum pernah mengalaminya. Yang ia tau hanya sekolah dan bekerja, menghasilkan uang untuk ibunya. Namun, setelah bertemu dengan Taraka, Juna mulai meng...