Bab 10

28 4 3
                                    

Cemburu

Bau harum parfum perempuan menguar, menusuk indra penciuman Fatin. Ia cium kemeja yang digunakan Attar sekali lagi. Bukan parfumnya, atau saudara perempuan Attar. Suaminya belum bertemu Manda dan Dinda sejak off, apalagi maminya. Lalu ini parfum siapa? Insting Fatin pun bekerja. Apakah ini parfum perempuan yang tadi pagi buta bertelpon ria dengan Attar? Fatin mencoba menepis pikiran buruk yang ada, tetapi tidak bisa. Curiga kadung bersemayam di hatinya.

Namun, Fatin bukan tipe perempuan yang tidak menggunakan logika. Main labrak saja. Ia mau mencari tahu dulu. Untuk sementara biarlah ia simpan masalah ini hingga jika sudah ada bukti yang kuat ia bertanya dengan suaminya.

Hari berlalu seperti biasa. Sikap Attar masih sama meski kadang laki-laki itu lebih fokus ke ponselnya. Untuk ponsel, Fatin tidak berani membuka karena hal itu bukan ranahnya. Biarkan saja seperti begini.

“Mas, nanti sore aku mau ke toko sebentar, ya? Mau cek pesanan,” izin Fatin setelah makan siang yang kesiangan. Mereka baru makan di atas jam 2.

“Harus banget ke toko, ya?”

Fatin mengangguk. “Ini pesanan customer yang  cukup penting, kalau tidak dicek khawatir ada yang kurang, yang pesan suka komplain lagi.”

“Perlu Mas antar?”

“Kalau Mas capek, nggak usah. Aku bisa sendiri, kok.” Fatin biasa mandiri, jadi ia nggak mau terlalu bergantung kepada suaminya.

“Buat istriku nggak ada kata capek, terutama untuk yang satu itu.” Attar memeluk Fatin dari belakang yang mengakibatkan aktivitasnya terhenti.

Fatin membalikkan badan dan menunjuk kening suaminya. “Dasar pikirannya itu mulu! Jangan-jangan pas LDR juga, ya?” tebak Fatin memandang manik hitam suaminya.

“Kok tahu?”

“Tahulah. Apa sih yang tidak aku tahu dari Attar Fahrezi?” ujar Fatin jumawa.

“Coba apa yang istriku tahu?” Attar memainkan alisnya.

“Buanyaakkkk. Saking banyaknya jadi nggak tahu!” goda Fatin sambil  meloloskan diri dari dekapan suaminya. Kalau begini terus, kapan selesainya ia mengerjakan rumah.

“Curanggg!”
***
Fatin berangkat ke toko saat Attar sedang serius dengan Macbook-nya. Entah apa yang dikerjakan suaminya di depan laptop. Mungkin sedang mengecek perkembangan bengkel mobilnya.

“Mas, aku berangkat dulu,” pamit Fatin mendekati suaminya. Saat ia dekati, tetiba Attar menutup sebagian layar monitor. Fatin sempat berpikir sejenak, mengapa ditutup? Apakah sedemikian pentingnya hingga ia tidak boleh tahu. Lebih meninggalkan rasa penasarannya, Fatin melanjutkan langkahnya.

Attar mengantarnya hingga ke Fatin memasuki taksi. Seperti janjinya, ia akan menjemput Fatin jika pekerjaannya selesai. Setelah mencium punggung tangan suaminya, taksi yang membawa Fatin melesat pergi meninggalkan komplek apartemen mewah yang mereka tempati.

Di dalam taksi, pikiran Fatin berkelana. Bolehkah ia curiga dengan beberapa fakta yang ia dapati? Sebelum menikah, hubungan dekat Fatin dengan lawan jenis bisa dihitung dengan jari. Sedikit bukan berarti polos. Ia sering membaca dan melihat bagaimana seorang laki-laki selingkuh, mempunyai hubungan dengan perempuan lain di luar.
Lalu, melihat apa yang suaminya lakukan dapat dikatakan selingkuh? Rasanya terlalu dini untuk mengambil kesimpulan seperti itu. Fatin harus bersabar dulu, ya sabar sambil melihat perkembangannya ke depan.
Tanpa terasa, taksi yang membawa Fatin telah sampai di bakery miliknya. Setelah membayar dan mengucapkan, ia melenggang memasuki toko yang sore itu agak ramai. Beberapa pegawai menyapa kedatangannya dan dibalas Fatin dengan senyum ramahnya. Ia tidak pernah menganggap dirinya bos. Karyawannya dirangkul sudah seperti saudara sendiri.
Setelah meletakkan tasnya, Fatin menuju ke dapur. Sore itu, dapur cukup sibuk. Karyawannya berlomba menyiapkan pesanan karena jam 5 akan diambil sang pemesan. Fatin hilir mudik mengecek snack pesanan snack box yang dipesan dalam jumlah yang banyak, 200 kotak denga per kotaknya berisi 10 items. Setelah dirasa beres, ia hendak meninggalkan dapur.
Namun, kecelakaan kecil menimpanya. Ia terpeleset lantai yang licin. Beruntung kepalanya tidak membentur lantai. Dengan dibantu dua karyawan perempuannya, ia bangun dan berjalan dengan tertatih-tatih menuju ke sebuah kursi.
“Mbak Fatin tidak apa-apa?” tanya Lusi, karyawannya khawatir.
“Nggak apa-apa, hanya sedikit terkilir. Diurut juga sembuh.” Fatin meringis kesakitan ketika Lusi memegang kakinya yang terkilir.
“Lusi panggil Mbak Mar, ya. Dia kan pintar mengurut.” Lusi bangkit dari duduknya dan memanggil Mbak Mar, karyawan bagian kebersihan, semacam OB.
Tidak lama, Mbak Mar datang dengan minyak urut di tangannya.
“Tahan, ya Mbak kalau sakit,” jelas Mbak Mar yang mulai mengurut Fatin.
Fatin masih meringis, menahan sakit di kakinya. Pijatan Mbak Mar yang lembut lama kelamaan sedikit mengurangi sakit di kakinya.
“Coba Mbak Fatin gerakkin sedikit.”
Fatin mengikuti intruksi Mbak Mar, ia gerakkan kakinya dan rasa sakitnya sudah agak berkurang. “Lumayan berkurang, Mbak.”
Selanjutnya Mbak Mar memijat lagi. Meski masih sakit, tetapi tidak kayak tadi pas pertama kali jatuh. “Terima kasih, ya  Mbak,” tutur Fatin setelah Mbak Mar selesai memijat.
Tidak ada aktivitas yang bisa Fatin lakukan selain duduk saja. Untuk berjalan saja, ia harus menyeret kakinya. Akhirnya ia hanya duduk sambil bermain ponsel, menunggu hingga Attar menjemputnya jam 8 nanti.
***
“Nggak apa-apa, Mbak nunggu sendiri?” tanya Diah, karyawan bagian produksi yang tidur di dalam toko.

“Nggak apa-apa.” Jawab Fatin pendek. Pandangannya masih fokus ke ponselnya, menanti kabar suaminya yang sedari tadi ponselnya nggak aktif.  Ke mana dia? Sudah jam 9 lebih, tidak ada tanda-tanda Attar datang. Toko sudah tutup, lampu tengah sudah dimatikan, menyisakan lampu-lampu di depan. Dalam keremangan, Fatin duduk seorang diri menunggu suaminya.

Saat Diah hendak menutup pintu utama, seorang pembeli masuk. Orang itu memaksa beli meski toko sudah tutup. Akhirnya Diah mengalah dan mempersilakan laki-laki itu masuk tanpa curiga apakah laki-laki itu berniat buruk padanya atau tidak.

Diah menyalakan lampu kembali. dari tempat berdirinya sekarang, ia dapat melihat laki-laki itu banyak memasukkan aneka roti dan cake. Tidak jauh dari Diah berdiri, Fatin juga bisa melihat pembeli itu. Dengan kaki yang masih agak pincang, Fatin menghampiri Diah.

“Memaksa masuk, Mbak. Katanya kakaknya ngidam roti toko ini jadi Diah biarkan masuk,” terang Diah dengan agak takut.

“Iya nggak apa-apa.”

Laki-laki itu membawa banyak roti dalam dua keranjang besar ke depan kasir.

“Buat siapa roti sebanyak ini?” tegur Fatin yang membuat laki-laki itu kaget.

“Kak Fatin! Bikin kaget Adit saja,” pekik laki-laki ganteng bernama Adit terkejut.

“Harusnya Kakak yang terkejut, malam-malam gedor toko orang. Untung masih ada orang di toko dan kamu nggak dicap orang jahat.” Fatin kenal laki-laki di depannya. Aditya, teman Fathan –adiknya—sesama dokter.

“Iya nih Kak, bumil bikin repot. Kalau bukan kakak sendiri, ogah banget. Lagi hamil pakai acara LDR dengan suaminya. Yang repot kan keluarganya,” gerutu Adit dengan permintaan Tata, kakaknya.

“Anggap saja  menambah ladang pahala,” bisik Fatin.

Setelah menyelesaikan pembayarannya Adit bermaksud mau pulang. “Kakak nggak pulang?”

“Nunggu Mas Attar jemput.” Fatin memasukkan setoples cookies ke dalam tas belanjaan Adit. “Buat Kak Tata, bonus dari Fatin.”

“Terima kasih, Kak. Nanti Adit sampaikan,” ujarnya seraya melihat langkah kaki Fatin yang tidak biasa. “Kaki kakak kenapa?” tanya Adit kepo.

“Tadi jatuh trus terkilir.” Fatin kembali ke tempatnya semula.

“Boleh saya cek?”

Fatin membolehkan karena melihat Adit sebagai dokter. “Nggak perlu ke dokter, kan?”

“Nggak sih, dikasih krim pereda nyeri biar nggak bengkak. Kakak jangan banyak gerak dulu, ya?” tukas Adit.

Saat Adit sedang memeriksa Fatin sebuah suara deheman terdengar.

Ehemmm…

Fatin mendongak. Saat ia melihat siapa yang datang, Fatin dapati pandangan Attar tajam ke arahnya seperti menusuk dengan mata menyiratkan api cemburu yang berkobar.

Bersambung....

Bukan Cinta yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang