Bab 13

27 5 5
                                    

Kepergian Mami

“Cerai?” gumam Fatin. Attar akan menceraikannya. Apakah ini benar? Perubahan sikap suaminya satu bulan ini hanya Fatin simpan dalam hati dan hari terbongkar sudah mengapa suaminya berubah.  Namun, setelah mengetahui fakta yang terjadi, mengapa harus cerai solusinya?

“Tidak akan! Mami tidak akan membiarkan Attar menceraikan Fatin. Mami a—kan te-rus --” Belum sempat Mami Sarah menyelesaikan perkataannya, ia keburu pingsan.

Kontan saja Fatin dan Papi Yusuf teriak memanggil nama mami. Mereka berdua panik. Fatin segera mencari minyak kayu putih untuk ditempelkan di bawah hidung Mami Sarah sedang Papi Yusuf langsung menelpon ambulans. Ia khawatir istrinya terkena serangan jantung lagi. Tidak lama ambulans datang dan segera membawa Mami Sarah ke rumah sakit.

Fatin tidak berhenti merapalkan doa untuk kesembuhan mertuanya. Masalah rumah tangganya ia kesampingkan terlebih dahulu. Masih banyak waktu untuk membicarakannya dengan Attar. Ingat suaminya, Fatin segera menelpon Attar, tetapi tidak diangkat. Sampai lima kali panggilan, Attar tidak mengangkat telponnya.

“Di mana kamu, Mas?” tanya Fatin berulang. Akhirnya Fatin hanya mengirimkan pesan kepada suaminya, mengabarkan kalau Mami Sarah terkena serangan jantung dan kini berada di rumah sakit.

Fatin dan Papi Yusuf mondar mandir di depan IGD menunggu Mami Sarah yang sedang ditangani dokter. Kedua orang itu menunggu dengan cemas. Tidak lama Dinda datang dengan masih seragam sekolah yang melekat di badannya.  Gadis itu langsung ambruk dalam pelukan Fatin. Ia merasa sangat shock hingga tidak bisa berkata apa-apa.

“Kak, aku nggak mau kehilangan mami. Aku belum siap. Masih butuh mami,” racau Dinda berulang.

“Ssttt, doakan mami semoga bisa melewati masa kritisnya, ya. Jangan nangis terus begini. Dinda anak kuat dan hebat.” Fatin berusaha menenangkan hati adik iparnya meski sekarang ini ia merasa rapuh karena perlakuan suaminya. Fatin berusaha tegar dan kuat.

Tidak lama Manda datang. Kondisinya tidak jauh dengan Dinda. Kedua adik iparnya sama-sama shock.

“Mas Attar ke mana? Kenapa belum datang?” tanya Dinda yang tidak melihat batang hidung kakak laki-lakinya.

“Kakak sudah berusaha telpon, tetapi belum diangkat. Mungkin Mas Attar sedang meeting, tetapi Kakak sudah kirim pesan, kok.” Dengan tersenyum Fatin mengatakan hal itu. Rasa perih menjalari hatinya jika ingat Attar.

“Kakak, bagaimana keadaan Mbak Sarah?” tanya Mama Sila, mamanya Fatin. “Kamu kok pucat banget, belum makan, ya?” Mama Sila khawatir dengan keadaan putrinya.

Fatin mengangguk. Dari pagi perutnya hanya diisi roti bakar. Ia belum sempat sarapan karena keburu ada drama di apartemennya.

“Ayuk, makan dulu.” Mama Sila mengajak anaknya ke kantin, tetapi Fatin menggeleng.

“Nanti saja, Ma. Kalau mami sudah melewati masa kririsnya baru Fatin merasa lega. Untuk saat ini belum kepikiran untuk makan.”

“Nggak, Kakak harus makan.” Mama Sila memaksa anaknya. “Mama pesenin saja, kamu makan di sini. Manda dan Dinda belum makan juga, kan?”

Kedua gadis itu pun mengangguk.

Gegas Mama Sila pergi mencari makan untuk perempuan-perempuan yang sedang di landa lara berurai air mata.
***
Hingga larut malam kondisi Mami Sarah masih kritis. Dokter telah memberikan yang terbaik, sekarang hanya doa yang bisa mereka panjatkan. Fatin masih setia menunggui mertuanya bersama Papi Yusuf. Sedang Manda dan Dinda sudah pulang sejak isya setelah dibujuk rayu. Kedua gadis itu enggan beranjak dari ruang tunggu ICU, ingin tetap menunggui maminya. Setelah Mama Sila turun tangan, barulah Manda dan Dinda mau pulang.

Bukan Cinta yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang