“Tidak, kumohon jangan lagi merendahkan dirimu di depan pria itu! Dia telah menolakmu sebulan yang lalu. Harusnya kamu sadar akan hal itu!” Kedua tangannya menyatu sempurna sembari memejamkan do’a. Untuk malam ini ia ingin tidur tenang tanpa harus meredakan tangisan dari sahabatnya. Suara merdu yang mengalun bersama syair-sya’ir puisi cinta menandakan jika pernyataan cinta resmi selama reuni lima tahun berturut-turut akan kembali berulang. Penolakan yang dialami juga akan seperti dejavu yang disengaja.
Nyanyian yang lagi-lagi berhasil menyihir penonton diakhiri dengan rekahan sempurna yang menambah kesan indah dari pemilik wajah bersuara halus itu. Matanya yang bulat sempurna tertuju pada sosok yang sangat ingin ia miliki. “Gavin, aku mencintaimu!” ungkapan itu begitu terus terang, tanpa keraguan bahkan suaranya tak pernah bergetar. Ia sangat yakin jika cinta sepihaknya akan berbalas meski penolakan sebelumnya meluruhkan bendungan mata air miliknya.
Semua mata kini tertuju pada sang pemeran utama. Mereka menunggu jawaban seperti waktu-waktu yang lalu. Dalam beberapa tahun mereka juga ikut berharap jika perjuangan gadis itu tidak sia-sia.
“Ver, Gavin diam doang lagi!”
Vera yang masih memerhatikan sahabatnya di panggung terkejut dengan perkataan sahabatnya yang lain. Ya, memang selalu seperti ini, Gavin selalu membiarkan Shylla berdiri lebih lama dan menahan malu dari pada memberikan penolakan tegas secara langsung.Ia melihat gulungan merah yang melilit jari kelingking Shylla yang tak tertaut dengan Gavin. Perasaan cinta sendiri Shylla bukan hanya berlandasan ketidakinginan Gavin membalasnya tapi juga takdir yang mendorong mereka untuk memberi jarak. Mereka yang dulunya adalah dua sahabat yang tak pernah terpisahkan kini menjadi bungkam. Tak bertegur sapa semenjak perasaan cinta itu hadir di hati Shylla.
“Jangan melakukan hal konyol ini lagi!” Gavin lagi-lagi menyatakan kalimat konyol itu lalu pergi begitu saja dengan wajah dinginnya. Tangannya bahkan menggenggam tangan gadis lain yang entah dari mana ia bawa. Namun seingatnya, itu berbeda dengan yang terakhir kali. Pria tak berperasaan itu seolah tau dan semakin semena-mena mempermainkan perasaan mantan sahabatnya.
Sikap ini benar-benar sudah muak Vera lihat. Berbagai cacian juga telah ia lontarkan pada Shylla yang masih terus ingin berjuang. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Seandainya saja mereka bisa murni hanya sekedar sahabat maka semua akan menjadi lebih baik. Tak kan ada air mata yang terbuang hanya karena takdir yang tak bersedia menyatukan genggaman tangan mereka.
“Kamu benar-benar tidak menginginkannya?” Sepintas gelombang suara mencairkan suasana yang tadinya membeku. Puluhan indra penglihat mencari sumber suara.
Di sana, di hadapan Gavin duduk, seorang pria dengan lesung pipi di wajahnya yang tetap terlihat meski tanpa menyunggingkan senyuman berdiri dengan yakin menghadap Shylla. Wajah manisnya berhasil menghipnotis seolah tiba-tiba mereka berada dalam sebuah taman yang dipenuhi bunga. “Aku mencintainya, jika kamu tak menyukainya maka aku akan berusaha memusnahkan cinta sepihaknya dan biarkan hatinya bermekaran karena senyuman di wajahku!” Pernyataan cinta itu terdengar begitu kaku dan ada getaran suara di ujungnya namun terdengar begitu emosional dan rasa ingin memiliki.
Kini jawaban ada di tangan Shylla yang tak bisa berkata-kata. Lirikan matanya berlarian kesana kemari seolah mencari seseorang untuk membantunya menjawab. Pencariannya berakhir pada kedua sahabat wanitanya yang duduk berdampingan. Ia belum pernah berada di posisi seperti ini hingga tidak tau cara penolakan atau penerimaan hatinya.
Vera kembali melihat benang merah d jari kelingkingnya. Mengikuti arahnya hingga kedua bibirnya terbuka lebar. “Terima aja, apa salahnya move on!” teriaknya tak membiarkan Shylla berpikir lebih lama. Mereka berkesinambungan satu lama lain. Benang merah takdir mengikat jari kelingking meraka dengan begitu erat. Cahaya darinya bahkan lebih terang dibandingkan lampu penerang jalan di malam hari. Rasa senang yang memeluknya membuatnya tak memikirkan apa yang dirasakan oleh Syhlla saat ini.
“Kamu tidak perlu buru-buru, terlalu lama, sang pria pemberani itu kembali bersuara. Posisinya masih belum berubah bahkan Gavin belum sepenuhnya pergi.
“Berikan aku waktu, aku akan memikirkannya.” Kali ini suara Shylla bergetar hebat, ia bahkan menundukkan kepalanya. Wajahnya bersemu seperti ABG yang baru pertama kalinya mendengar pernyataan cinta padanya. Kegugupan seperti melingkupi kehadirannya saan ini. “Aku permisi!” Ia berlari keluar dari panggung dan berjalan menuju kamar mandi. Ia membutuhkan ketenangan ini. Penolakan dan pertanyaan cinta ia dapatkan sekaligus, yang mana yang harus ia selesaikan lebih dulu?
“Ganteng, ya?”
“Dia sukanya sama Shylla, Sha. Lo udah ada suami kalau lo lupa!” Vera mengingatkan, benang merah yang dimiliki sahabatnya yang lain begitu erat dengan suaminya. “Gue jumpai tu cowok dulu ya.”
Vera perlahan mendekati pria itu. Semakin menipisnya jarak ketampanan yang tak bisa dibendung dengan kata-kata. “Hai, aku sahabatnya Shylla, lo mau nomor dia?” Ia menjulurkan tangannya yang disambut dengan begitu baik.
“Emang boleh?” Tanpa ragu, pria itu memberikan ponselnya. Matanya berbinar seperti bayi yang melihat mainan kesukaannya.
Sangat menggemaskan, mengapa pria seperti ini tidak ditakdirkan dengannya saja. Ia akan menerimanya dengan senang hati. “Oiya, nama kamu si … a … pa?” Wallpaper yang ia lihat saat ponsel pria itu terbuka. Seorang bayi yang berada di pangkuan ayahnya sedang ditenangkan. Wajah pria di awal tiga puluhan itu membuat bayang-bayang masa lalu berputar-putar tak menentu di kepalanya. “Narendra?”
*****
Yuhuuu
Mohon maaf aku tidak detail baca aturan PENSI
Ini aku update lagi untuk hari ini.Selamat membaca
To be continued
Ditunggu Chapter selanjutnya ya!
☺️☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Little Finger
RomanceAnugerah seperti ini harus disesali atau disyukuri? Takdir ini harus diterima atau harus melarikan diri? Verasha Ayunindya merasa jika ia bisa merubah takdir jari kelingking yang mengikatnya. Setelah bertahun-tahun mengalah dengan benang merah yang...