Percuma kita untuk bertahan, tenaga kita tidak sebanding dengan mereka
""Star, bantu gue!"
Aku kembali memasang kuda-kuda, menyerang zombie memggunakan pukulan tangan kosong hasil aku mengikuti kelas taekwondo sepulang sekolah. Sesekali aku melirik Devan, aku tahu Devan kelelahan mengingat nafasnya sudah mulai pendek dengan keringat sebesar biji jagung banyak jatuh dari pelipisnya, namun Devan tetap memaksakan diri terus memukul mereka walaupun sebagian dari monster itu adalah teman-teman kelas kami. Tetapi pada akhirnya tubuh Devan hampir tumbang, pukulan kayunya semakin pelan walaupun dirinya terus mencoba memaksa menyernag mereka sendiri.
"Devan! Starla!" Dari arah samping aku mendengar suara seorang guru yang begitu familiar, sontak kami menoleh melihat Pak Hanif dan Bu Husna berlari kearah kami dengan panik, seketika Pak Hanif memukul mereka menggunakan tongkat besi, membantu Devan menyerang monster itu.
"Devan, kamu baik-baik aja kan?" Tanya Pak Hanif khawatir, tapi Devan sudah terlalu lelah untuk menjawab dia hanya mengangguk tanpa bicara apa-apa lagi.
"Starla kamu baik-baik aja kan Nak? Starla nggak kena gigit kan?" Bu Husna memegang pundakku kencang, terlihat sekali tatapan mata yang biasanya tulus itu begitu khawatir.
"Starla baik-baik aja Bu. Mana Bu Riska dan Bu Riya? Mereka mana Bu Husna?" Refleks aku berteriak, menyadari guru bimbingan konseling kehilangan dua orang.
"Bu Riska sama Bu Riya masih didalam, mereka baik-baik aja sembunyi dalam ruangan konseling. Kita lagi cari bantuan buat keluar, kita nggak bisa gini terus kira harus lari. Mas Hanif! Ayo lari Mas, pergi!" Mendengar Bu Husna berteriak membuat Pak Hanif berhenti, menarik tangan Devan untuk menjauh sedangkan Bu Husna menarik tanganku untuk pergi mengikuti Pak Hanif dan Devan.
"Bu Husna, ini kenapa Bu? Kenapa sekolah kita jadi aneh kayak gini? Ada apa ini semua Bu?" Tanyaku sambil memandang Bu Husna yang terus memegang tanganku untuk pergi berlari melewati setiap gedung kelas yang sudah penuh oleh monster putih.
"Bu Husna nggak tahu Star, yang paling penting sekarang adalah kita harus menemukan kelas kosong buat kita berlindung sementara. Mas Hanif! Perhatikan depan!" Pak Hanif menghentikan langkahnya ketika banyak monster menghadang dan mengejar mereka ganas dari arah depan, terpaksa Pak Hanif harus mengajak mereka berputar balik.
"Kita harus kemana Mbak Husna? Semua kelas sudah penuh dengan monster, nggak ada kelas kosong yang bisa buat kita sembunyi selain ke ruang bimbingan konseling.'
"Kepada semua warga sekolah yang masih selamat harap bekumpul pada lab komputer. Sekali lagi, semua warga sekolah yang masih belum terkena gigitan dan masih sehat harap berkumpul sekarang juga!" Terdengar suara seorang laki-laki dewasa dari arah pengeras suara, menggema pada seluruh penjuru sekolah. Para monster yang peka terhadap suara serempak menghampiri pengeras suara secara bersamaan, perhatian mereka pecah setidaknya bisa membuat jalan kami untuk kabur.
"Dasar, saat seperti ini mereka menyuruh kita menuju lab komputer paling jauh! Kenapa tidak ruangan lain saja hah?" Guman Pak Hanif penuh emosi, namun kita tidak ada pilihan lain lagi selain harus mengikuti suara seorang guru untuk berkumpul pada ruangan komputer.
"Nggak ada waktu buat marah Pak Hanif! Ayo kita kesana sekarang!"
Serempak kami berlari meninggalkan ruangan perpustakaan, menuju lab komputer barat yang berada paling ujung sekolah membuat otomatis banyak tantangan harus kami lewati mengingat orang-orang yang terkena infeksi semakin banyak, bahkan sekilas dapat aku lihat lapangan sekolah kami penuh oleh manusia-manusia yang bergerak kaku bahkan pintu gerbang sudah terbuka membuat kedua mataku semakin terbuka lebar ketika menyadari bahwa gerbang terbuka itu sama saja pintu neraka bagi dunia luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Lessons
Teen Fiction"Pada akhirnya, dunia akan hancur orang-orang sibuk menyelamatkan diri mereka, dan disitulah sisi jiwa seorang manusia menjadi sebuah pertanyaan." Orang dewasa pernah bilang pada kami, masa sekolah adalah masa paling menyenangkan, tapi bagi kami seb...