-5-

17 1 0
                                    

"Kau ternyata lebih berandal daripada aku."

Devan kembali turun pada lantai bawah, perjuangan tidak mudah untuk sampai pada tempat ini dia tinggalkan demi menjalankan perintah dari sang guru. Dia percaya bahwa Pak Hanif akan menjaga yang lainnya dengan baik sedangkan masih ada seseorang dari ruangan lain butuh pertolongan. Berbekal tongkat kayu besar Devan berlari menuju belakang sekolah, ada banyak jalan dari sekolah ini menuju sebuah ruangan bimbingan konseling dan mungkin saja belakang sekolah adalah tempat terbaik mengingat jarang ada orang menginjakkan kaki disana.

Namun alam tidak berpihak padanya, para monster bulu putih sudah berkumpul disana, saling bertabrakan dan mengeluarkan suara mendesak. Devan bersembunyi pada balik tembok koperasi, otaknya berpikir keras bagaimana cara dia untuk melewati barisan monster itu tanpa mengeluarkan suara langkah kaki. Devan ingat, ada sebuah petasan yang tergeletak pada koperasi sisa dari kami merayakan pesta tahun baru sekolah, dia meletakkan sendiri petasan itu sebagai seorang panitia.

Devan mendobrak pintu koperasi, mengambil petasan paling besar untuk dia nyatalan, satu korek api juga Devan ambil untuk bahan bakar.

"Rasakan ini, monster." Devan menyalakan korek api, meletakkan api pada tali petasan lalu dia lempar mendekat kearah monster itu. Tidak butuh waktu lama petasan besar meledak, menimbulkan suara cukup keras. Monster itu berhamburan, berlari tidak tentu arah mencari sumber suara. Devan tersenyum kecil, kesempatan emas ini dia gunakan untuk berlari menjauh dari tempat ini menuju ruangan bimbingan konseling yang sudah tidak jauh dari tempat Devan berdiri.

Ruangan bimbingan konseling berada tepat pada depan matanya, Devan membuka pintu kaca namun terkunci, mungkin tadi Pak Hanif sempat mengunci pintu ini agar tidak ada monster masuk kedalam. Namun Devan tidak mungkin berlari lagi menuju Pak Hanif yang sudah berbeda tempat, memastikan monster itu masih sibuk pada petasan, Devan memecahkan kaca menggunakan tongkat kayu, mendobrak pintu kayu menggunakan tenaganya sendiri.

"Bu Riska!Bu Riya! Ini Devan Bu, kalian dimana?"

"Devan!" Terdengar suara Bu Riska dari balik ruangan bimbingan konseling milik Pak Hanif, Devan menuju ruangan itu terlihat Bu Riska merangkul Bu Riya yang sudah berumur.

"Bu Riska, Bu Riya ayo kita pergi menyusul Pak Hanif dan Bu Husna. Lari depan Devan, Devan akan melindungi kalian."

"Devan, kamu nggak apa-apa kan? Syukurlah kamu baik-baik aja Nak." Bu Riska tersenyum melihat Devan baik-baik saja, semua amarah kepada Devan tadi pagi hilang seketika.

"Devan baik-baik aja Bu. Ayo keluar dari sini!" Bersamaa Bu Riya, Bu Riska dan Devan berlari keluar dari ruangan BK, suara petasan meledak masih terdengar ricuh setidaknya ide Devan untuk menyalakan petasan itu berguna walau diirnya harus rela ibunya kembali datang hanya untuk mendengarkan anaknya menjadi berandal sekolah.

"Kita ke Lab komputer kan? Lewat bagian kelas XII IPA 1 aja, kita cuman harus naik anak tangga. Masuk dalam perpus terus naik lewat tangga XII IPA 1." Saran Bu Riska seakan menjadi sebuah lampu dalam kepala, benar tadi mereka ber 4 terlalu panik sampai tidak menyadari ada jalan pintas lebih dekat dari perpustakaan. Devan membuka pintu belakang perpustakaan yang sudah berantakan, tapi Devan lupa bahwa ada monster para penjaga perpustakaan disana.

"Sembunyi Bu Riska!" Devan menyuruh Bu Riska sembunyi, dia kembali mengangkat tongkat kayu memukul kepala monster itu satu-persatu, rasa durhaka kepada guru sudah tidak dia pedulikan biarlah ketika keadaan sudah normal dirinya kembali harus mendapatkan hukuman yang terpenting kedua guru yang menjadi tanggung jawbanya sekarang bisa selamat. Tapi dari arah belakang, Devan tidak menyadari ada monster lain menghadangnya. Suara gigi bergerak terdengar keras, ketika Devan menoleh dirinya sudah dicengkram oleh monster itu bahkan belatung sudah memenuhi pundaknya. Devan tidak bisa bergerak, tongkat kayunya bahkan jatuh.

Last LessonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang