_Chap 1_

450 44 3
                                    


°°°°

"Perjalananmu akan segera berakhir Genta, kisahmu akan berhenti sampai disini." Senyum psikopat tercetak dengan jelas di bilah bibir seorang pemuda, mata tajamnya menatap lawan di depannya dengan ambisi ingin membunuh.

"Kak, apa yang kakak lakukan?" Genta bertanya dengan tubuh yang bergetar karena ketakutan

"Tentu saja, melenyapkanmu."

Genta menggeleng, kakinya ia bawa untuk mundur saat orang yang dipanggil kakak itu perlahan berjalan menghampirinya dengan sebilah katana di tangan kirinya

"Kak jangan, ingat Genta itu adik kakak bukan orang lain."

Pemuda itu mengangkat salah satu alisnya. "Hm adik? Kau bukan adikku dan aku juga bukan kakakmu, jadi berhentilah memanggilku dengan kata-kata yang memuakkan itu."

Pemuda itu semakin berjalan menghampiri Genta yang sudah berdiri di pinggir bangunan yang sama sekali tidak ada pembatasnya.

Genta sekilas melirik ke belakang tubuhnya, "tinggi sekali." Batinnya miris

"Apa jika aku jatuh dari sini aku akan langsung mati?" Pandangan Genta tiba-tiba saja menjadi kosong saat memikirkan itu.

Genta bukan takut mati, ia hanya takut jatuh. Bagaimana pun juga ia sekarang berada di atas gedung bertingkat yang sudah lama ditinggal, cukup terbelangkai karena posisinya berada di tengah hutan.

Ia dibawa oleh 'kakaknya' itu ketempat ini dengan dalih awal akan mengajaknya jalan-jalan.

Genta tentu saja merasa senang, tanpa merasa curiga ia langsung menginyakan ajakan itu.

Karena jarang-jarang 'kakaknya' mau mengajaknya jalan-jalan, selama ini kan dia orangnya sibuk, sibuk menghindarinya.

Tapi, tak disangka rasa senangnya itu justru malah membawanya ke dalam bencana yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan.

Genta di bawa ke tengah hutan, sempat memberontak yang berujung dengan kekerasan yang ia dapatkan.

Genta akhirnya membiarkan tubuhnya yang di seret secara paksa oleh 'kakaknya' menuju atas gedung.

Mau melawan pun ia tidak bisa, tenaganya dengan sang 'kakak' sangatlah berbeda.

Disana tidak ada orang lain, hanya ada mereka berdua.

Genta terus melamun, sampai-sampai ia tidak menyadari 'kakaknya' yang sudah tepat berada di hadapannya dengan seringai menyeramkan, terlebih dengan katana yang berada di tangannya.

"Bodoh."

Jleb

Genta tersentak, matanya bergulir melihat ke arah 'kakaknya' yang sedang tersenyum. Sekilas ia menunduk melihat ke arah perutnya yang sudah dialiri dengan darah.

Genta kembali mendongak dengan darah yang juga sudah mengalir menghiasi bibir kecilnya.

"Bagaimana?"

"Kak-" Genta tidak melanjutkan kata-katanya, ia memejamkan matanya saat katana itu semakin di perdalam menusuk perutnya

"Sudah kubilang jangan memanggilku kakak sialan." Umpatnya dengan aura dingin, lalu dalam sekali tarikan katana itu dia cabut.

Guntur Or GentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang