Suasana kelas yang sangat panas karena terik matahari yang menembus jendela kelas membuat seisi kelas mengipas ngipaskan buku karena merasa gerah. Di depan ibu Sinta guru Biologi sedang menjelaskan tentang tugas kelompok yang akan kami kerjakan, tapi semua siswa termasuk aku sibuk memegang kepala karena panas, pengap dan membuat sakit kepala.
Sembari kepanasan perutku juga keroncongan, sejak kejadian kemarin aku berdiam diri di kamar sampai pagi, hanya keluar ketika berangkat sekolah, Ibu terus berusaha merayuku untuk sarapan tapi aku masih tidak enak hati, jadi Ibu membawakan aku bekal, karena tidak tega menolak akhirnya aku terima meski sesampainya di sekolah aku belum memakannya sampai sekarang karena aku datang mepet jam masuk.
“Shika,” panggil ibu itu. Aku langsung duduk dengan tegap karena merasa kaget tiba tiba di panggil.
“Tolong maju ke depan catat nama nama anggota kelompok di papan tulis,” kata Ibu Sinta.
Aku langsung mengambil spidol dan berdiri di depan papan tulis menunggu perintah selanjutnya.
“Anggota kelompoknya ibu acak ya,” kata Ibu Sinta yang di sambut keluhan oleh siswa, mereka lebih suka berkelompok dengan teman masing masing.
“Kelompok 1, Arum, Eka, Fais, Yani, Lika, Angga, dan Zikra,” ibu Sinta menyebutkan nama nama kelompok 1 dan langsung ku tulis di papan tulis.
Ibu Sinta terus menyebutkan nama nama kelompok dan aku mengikuti diktean nya.
“Kelompok 4, Yashika, Elsa...,” ketika nama Elsa di sebut aku mendengar dengusan kesal Elsa dari tempat duduknya.
“Harun,” ibu guru menyebutkan lagi.
“Yah elah,” keluh Harun, aku mendengarnya dan menghela nafas kasar.
“Ibu,” aku memanggil ibu guru dan seketika seisi kelas menjadi diam.
“Saya akan mengerjakannya sendiri bu,” kataku.
Ibu Sinta merasa heran dengan permintaanku, kemudian dia menoleh ke arah siswa lainnya. Dia sebenarnya tau kalau aku memiliki hubungan yang tidak baik dengan teman teman sekelas.
“Kalau kamu sendirian itu namanya bukan tugas kelompok tapi tugas individu, tidak ada protes untuk kali ini Shika, selama ini kamu sudah ibu izinkan mengerjakan tugas yang harusnya per kelompok menjadi individu, sekarang sudah cukup ibu tidak izinkan lagi,” kata Ibu Sinta.
Semua siswa mendengus melihat ku. Aku juga tidak bisa melawan lagi, aku tau aku sudah sering menutup diri dari teman temanku, bukan aku tidak ingin berteman dengan mereka hanya saja aku terlalu fokus pada targetku.
Sejak TK aku selalu berusaha menjadi yang terbaik di antara teman temanku, itu semua agar Ayah merasa bangga punya anak sepertiku.
Ayah terobsesi dengan anak laki laki, sampai sekarang ayah masih menginginkan anak laki laki, ketika aku lahir Ayah bahkan tidak di samping ibu, ketika aku mendapat peringkat 1 di TK ayah yang berprofesi sebagai dosen di puji puji oleh para ibu karena berhasil mendidikku, sejak itu Ayah mulai memperhatikanku.
Aku senang ketika Ayah merasa bangga menceritakan prestasiku pada teman temannya, aku senang melihat ekspresi Ayah ketika di puji puji teman dan kolega kerjanya.
Sejak itu aku bertekad menjadi yang terbaik agar Ayah tidak merasa kecewa karena memiliki aku sebagai anaknya.
“Kerjakan tugas ini dengan benar, jangan mencampurkan masalah pribadi pada tugas sekolah, nilai tugas ini untuk tambahan nilai ujian praktek kalian nanti,” kata ibu Sinta.
“Iya bu,” jawab semua serentak.
Bu Sinta menoleh padaku kemudian berdeham sebelum melanjutkan perkataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPO RARY
Random"Kenapa hanya ayah yang berusaha memperbaiki luka, sementara kamu selalu membuka luka itu ?"