Sekarang semua sudah berkumpul di rumahku, kami semua duduk di gazebo yang ada di pekarangan rumahku, aku membuka laptop dan bersiap membuat laporannya. Si Arnawan itu memanjangkan lehernya melihat apa yang sedang ku lakukan.
“Buset, nanti dulu kenapa, ini perut masih keroncongan, tunggu kita selesai makan, memangnya kamu enggak lapar ?,” Tanyanya.
“Lapar sih,” kataku.
Elsa dan Harun sedang membeli makan di luar, tadi sepulang sekolah mereka berdua pisah tujuan dengan kami.
“Enggak di sediakan makan ? seenggaknya minum gitu,” kata Bambang.
“Lagi di buat sama Ibu, nanti di antar,” kataku sambil menutup laptop.
Sewaktu sampai rumah Ibu terkejut karena aku membawa teman, Ibu juga antusias karena sebelumnya aku belum pernah mengenalkan atau membawa teman ke rumah.
“Durhaka loh, malah suruh Ibu mu yang buat minum,” kata Bambang.
“Orang Ibu yang nawarin, kalau aku yang siap kan minum aku akan sedia kan air putih saja,” kataku.
“Hai hai para manusia manusia kelaparan,” teriak Harun yang masih di atas motor, dia bahkan belum memarkirkan motornya tapi sudah intro dari awal masuk pagar.
“Jadi terharu di tungguin gini,” kata Harun lagi setelah turun dari motornya.
Elsa berjalan di depannya dengan kantong nasi bungkus yang di beli mereka. Bambang langsung menyomot bungkusan nasi yang di sodorkan Elsa untuk Arnawan. Arnawan langsung mendengus melihat kelakuan Bambang.
“Lapar banget bro ?,” kata Elsa.
“Lapar bro, lama banget kalian berdua bro,” Bambang menjawabnya sembari heboh membuka bungkus nasi karena nasinya terlalu banyak dan hampir keluar dari bungkusnya ketika di buka.
“Nih tuan rumah masak enggak di sediakan makan, tamu loh ini,” kata Harun membuat aku menoleh dan mendengus kesal.
“Tadi di tawarin masak Indomie pada gengsi maunya nasi bungkus,” kataku.
“Ya Indomie mana kenyang,” kata Harun.
“Ibu ku enggak masak hari ini, lagi hamil tua jadi lagi malas malasnya, lagian kan ini mendadak, mana sempat nyiapin apa apa,” kataku.
“Alasan,” kata Harun.
Semua pada fokus pada makanannya.
“Kamu beneran gak makan, tadi katanya lapar,” tanya Caca setelah menelan makanan yang ada di mulutnya.
“Enggak, kalian makan saja,” kataku, aku tidak berselera makan nasi sekarang ini, aku tadi sempat melihat Ibu menyiapkan pisang goreng jadi aku menunggu itu saja.
“Shika, Ibumu nyiapkan minumnya dari Arab ya, lama banget, seret Shika tenggorakan ku,” kata Bambang.
“Makanya pelan pelan Bambang, udah kayak enggak makan seminggu saja ngebut banget,” kata Elsa.
Bambang bersiap menjawab tapi malah tersedak karena masih mengunyah, Bambang melambai lambai padaku seperti meminta pertanggung jawaban karena minum yang di minta sedari tadi tidak kunjung datang, dia terus terbatuk batuk. Aku sendiri ikut panik, Ibu pasti lama karena menunggu gorengan pisangnya.
“Minum Shika minum,” kata Awan.
Aku langsung lompat dari gazebo dan bersiap lari ke dalam rumah, tapi ternyata Ibu sudah keluar membawa nampan yang berisi minum di atasnya.
Ibu melihat Bambang terbatuk batuk dan paham kalau Bambang sedang tersedak, Ibu mempercepat langkahnya agar Bambang bisa minum. Sesaat aku mengkhawatirkan Ibu karena berlari kecil sambil mambawa nampan penuh dalam keadaan hamil besar, tapi aku juga panik liat wajah Bambang memerah.
Bambang langsung menyerobot salah satu gelas dan mengisinya dengan sirop yang ada di teko. Dia langsung meminumnya, tanpa sadar kami semua terpaku menatap Bambang. Si korban malah tertawa sambil masih batuk batuk kecil. Semua menarik nafas lega dan kembali di tempat masing masing.
“Gak selera makan lagi jadinya,” kata Caca sambil melirik Bambang. Bambang tersenyum menyebalkan pada Caca. Caca langsung menutup baik baik nasinya dan di masukkan ke plastik sampah.
“Makasih tante,” kata Bambang pada Ibu.
“Sama sama, maaf ya minumnya telat datang lagi goreng pisang soalnya untuk kalian,” kata Ibu.
Aku mengisi gelas dengan sirop dan ku berikan pada Caca. Dia menerimanya dengan canggung.
“Duh repot repot tante, jadi enak,” kata Arnawan yang langsung mendapat sikutan maut dari Harun.
“Maaf ya tante anaknya suka gak tahu diri, tapi di kasih toping susu coklat makin enak tu tante,” kata Harun yang ternyata sama gak tau dirinya dengan Arnawan.
“Gelok, gak usah di dengerin tante, 11 12 mereka berdua ini,” kata Caca.
“Enggak apa apa, iya nanti tante tambah toping susu coklat plus parutan keju,” kata Ibu. Harun dan Arnawan langsung semringah.
“Tante masuk dulu kalau gitu,"
“Ken sebentar lagi masuk ya ambil pisang gorengnya, tinggal satu gorengan lagi,” kata Ibu.
“Iya bu,” kata ku, setelahnya Ibu langsung masuk ke rumah dan yang lain kembali makan nasi mereka kecuali Caca.
“Pangilan kamu bisa Ken juga ?,” tanya Arnawan, aku membalasnya dengan anggukan.
“Aku mau panggil Ken juga deh,” tambahnya yang di angguki yang lain juga.
"Itu buat yang deket-deket aja," kataku.
"Ken," Harun tiba-tiba memanggilku dengan sebutan Ken.
"Deket kan ini kita," lanjutnya, memang posisi Harun ada di sebelah ku saat ini, aku tersenyum.
“Terserah kalian mau panggil apa,” kataku.
"Okey, mulai sekarang kita panggil Ken, aneh juga enggak sih panggilnya Shika," Kata Elsa.
"Iya, rada canggung gitu ya kan," kata Caca.
"Memangnya arti nama kamu apa Ken ? Yashika Keneisha," tanya Awan.
"Untung panggilannya enggak di plesetin sama bambang jadi Yashin," Kata Harun.
"Suudzon," Kata Bambang menyaut dengan mulut penuhnya.
"Maknanya agak lebay sih menurutku," aku menjawab mereka dan aku tatap satu-satu, ternyata mereka masih menatapku dengan rasa penasaran.
"Okey, maknanya itu harapan kehidupan yang sukses dan mulia," kataku.
"Eh, bagus itu artinya, cuma memang agak enggak nyambung saja sih namanya," Kata Bambang.
"Mulutmu, minta di jejali pakai cabainya Ken," kata Harun sambari menunjuk tanaman cabai di sebelah gazebo.
Awan tiba-tiba tanpa sadar bersendawa dan suaranya cukup keras, aku cukup kaget karena tanpa malu-malu dia bersendawa di depan kami, yang lain terlihat sudah terbiasa.
"Malu Wan, ada Ken," kata Elsa.
"Kebiasaan sama kita-kita begitu," kata Harun.
aku tersenyum saja menanggapinya, Awan hanya bersikap acuh setelah mendapat peringatan dari Elsa.
Ini tidak seburuk yang aku pikirkan, mereka semua baik, mereka adalah sekumpulan anak yang bebas mengekspresikan diri. Aku tidak merasa canggung sedikit pun, mereka juga selalu memulai percakapan kalau situasi mulai sepi. Entah hanya di depanku, atau mereka memang begitu.
Aku melirik Bambang yang masih batuk sesekali, dan menertawakannya diam diam.
“Apa ketawa ketawa ?,” kata Bambang.
“Ketahuan,” kataku, malah semakin lucu ketika mengingat kejadian tadi.
.......
Terimakasih yang sudah baca bagain 5 ya, ditunggu terus kelanjutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPO RARY
Random"Kenapa hanya ayah yang berusaha memperbaiki luka, sementara kamu selalu membuka luka itu ?"