Saat jam istirahat pertama aku, Awan, dan Bambang bertemu untuk membicarakan bagaimana kami akan berangkat ke rumah sakit nanti, karena Awan membawa motor sedangkan Bambang tidak, mungkin mereka bisa berboncengan, tapi aku ?.
“Ya sudah begini saja, motor ku, aku tinggal saja di sekolah, kita bertiga naik angkot saja,” kata Awan, sejak tadi kami berdebat siapa yang harus naik angkot sendirian, aku mengajukan diri tapi mereka tidak membiarkan aku naik angkot sendiri, padahal sudah biasa juga kemana mana naik angkot, tadinya Awan menyuruh Bambang tapi aku jadi tidak enak karena Bambang dan Awan memang selalu pulang pergi sekolah bersama.
“Memangnya tidak apa apa Wan ?,” kataku.
“Awan biasa nitip motor di sekolah, biarkan saja,” kata Bambang.
Akhirnya kami setuju untuk meninggalkan motor Awan di sekolah dan naik angkot bersama ke rumah sakit, Caca ternyata tidak begitu dekat dengan mereka sehingga dia tidak perlu ikut kata Bambang.
Di tengah terik matahari, panas yang menembus pakaian dan menusuk kulit, kami berjalan ke gerbang bersama mencari angkot dengan tujuan Rumah Sakit Umum. Aku mengekori langkah Awan dan Bambang yang berjalan di depanku, langkah kaki mereka yang cepat membuat ku sedikit kesulitan menyeimbangkan langkah ku,
kata Bambang “Kita harus cepat atau tidak
angkot akan penuh dan kita harus cari angkot lain yang harus transit dulu di mana mana,”
Beruntung angkot itu baru terisi 2 penumpang, segera kami masuk dan menunggu mobil berjalan. Huru hara suasana panas yang bertepatan dengan jam makan siang kantor, pulang sekolah membuat jalanan ramai dan macet. Rasanya pengap dan panas sekali, kami juga berdempetan karena banyak penumpang yang tujuannya searah dengan kami, aku duduk di paling pinggir dekat jendela belakang mobil, sebelah ku ada Awan baru kemudian Bambang di sebelahnya lagi.
“Panas ya,” kata Awan padaku. Dengan tinggi badannya yang menjulang membuatnya harus sedikit membungkuk karena kalau tidak kepalanya akan membentur atap angkot, dia juga berusaha menjaga jarak dengan ku, berulang kali ia geser ke arah Bambang tapi berulang kali juga di dorong Bambang. “Jangan dorong dorong Bambang kasian Ken kejepit,”.
“Kamu sendiri loh dorong dorong, masih mending kamu nabraknya Ken, liat aku nabrak ibu ibu galak,” kata Bambang dengan suara yang nyaris berbisik sambil melirik ibu ibu di sebelahnya, aku dan Awan ikut mengintip ibu itu dan benar Ibu itu menoleh juga pada kami dengan wajah masamnya.
Aku dan Awan saling menatap kemudian tertawa melihat Bambang di galaki terus dengan Ibu itu.
“Sini tas mu ku pegang,” kata Awan.
“Gak usah,” kataku sembari melihat bagaimana kondisinya Awan yang lebih memprihatinkan karena badannya yang besar tapi kekar alhasil dia mendapat tempat duduk sedikit meskipun tasnya sudah di pangkunya.
Dia juga menahan badannya sendiri agar tidak melorot kebawa setiap kali supir mengerem atau berhenti menurunkan penumpang.
Tak lama penumpang semakin berkurang, penumpang yang duduk di seberang kami pun tersisa dua menumpang.
“Untuk mengurangi kepadatan penduduk di area ini, lebih baik aku pindah saja,” kata Awan sambil pindah duduk di seberangku, orang orang di sebelahnya langsung bernafas legah.
Aku cekikikan karena Bambang cepat cepat geser ke arahku. Sebenarnya aku sadar kalau sedang di tatap Awan tapi pura pura tidak peka karena merasa canggung, aku malah sibuk bergosip tentang Ibu di sebelah Bambang dengan korbannya langsung. Kata Bambang seperti ada antara hidup dan mati.
........
Kami langsung mempercepat langkah menuju ruangan Ibu Harun yang sebelumnya sudah kami tanyakan di Resepsionis. Di depan ruangan ICU Harun terlihat sedang berdebat dengan petugas polisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPO RARY
Random"Kenapa hanya ayah yang berusaha memperbaiki luka, sementara kamu selalu membuka luka itu ?"