"Raja, cukup main hpnya sayang. Ayo makan dulu kamu udah main daritadi." Raina, ibu dari Raja alias kakaknya Jenagara mengomeli anaknya yang sibuk main karena diberi pinjam gadget oleh Jenagara.
Namanya anak, kalau sudah diberi gadget tanpa pengawasan akhirnya jadi lupa waktu. Oleh karena itu Raina kesal meskipun sebenarnya jatah screentime Raja hari ini memang baru terpakai berkat Jenagara.
"Jegra ih anak aku jangan diracunin hp deket waktu makannya dong. Liat dia jadi gamau makan." Raina merengek karena anaknya tidak mau mendengarkan. Malah asik dengan gadget di tangannya.
Jenagara tersenyum meledek tapi mau tidak mau membujuk Raja untuk berhenti main game. Karena mereka memang sudah lumayan lama bermain dengan Jenagara yang juga sebenarnya tidak lepas tangan begitu saja. Dia memperhatikan keponakannya sejak tadi.
"Udah jangan manyun lagi," Jenagara bicara pada Raina sebelum beralih ke Raja. "Ja udahan mainnya kita makan dulu. Om juga laper gara gara nemenin kamu main."
"Gamau ah, ini belum selesai mainnya."
"Besok lagi Ja, ntar om yang kena marah papah kamu kalo kamu gamau makan," Jenagara merebut paksa ponselnya dari Raja.
Raja cemberut, tapi melihat muka melas mamanya akhirnya ia mengalah dan ikut Raina untuk makan.
Jenagara menyusul karena dia betulan lapar. Hari ini seharusnya ada jadwal meeting dengan klien penting, tapi tadi sekretarisnya bilang kliennya tiba-tiba berhalangan hadir. Jenagara yang sudah siap pergi akhirnya datang ke rumah Raina karena sudah terlanjur rapih.
Sebenarnya inginnya dia sih lihat Andara aja di kedai es krim. Tapi takutnya malah mengganggu, jadi lebih baik datang ke rumah kakaknya sekalian bertemu Raja.
Selesai makan, Jenagara membantu kakaknya untuk mencuci piring. Sedangkan Raina menemani Raja ke kamar karena sudah waktunya untuk tidur siang.
Memang nikmat sekali tidur selepas makan. Beda dengan Jenagara yang sesudah selesai mencuci piring saja dia masih harus membereskan meja makan.
"Kebayang ga sih kalau karyawan kantor lo tau CEO nya jadi babu di rumah gue?"
Dengar suara Raina yang masuk dapur membuat Janagara semakin jengkel. "Untung sabar gue kak. Lagian anak lo kebo banget dah abis makan tidur."
Raina mendengus. Menarik kursi dan duduk di sana sambil memperhatikan adiknya yang sekarang juga duduk sambil minum.
"Heh, ntar kalo lo punya anak juga lo tau rasanya. Anak kecil tuh gampang cape, makannya harus dikasih tidur yang cukup siang sama malemnya."
Ah, berbicara anak. Jenagara jadi ingat Andara. Dia belum membicarakan soal masalah ini pada Raina.
Mungkin ini waktu yang pas untuknya, berhubung kakak ipar dan keponakannya sedang tidak ada. Dia mempunyai waktu yang leluasa untuk bicara dengan kakak kandungnya.
"Kak, sebenernya ada yang mau gue omongin sama lo deh."
"Gue gamau denger kalo soal mantan lo lagi. Sumpah ya lo tuh udah harus move on Jegra. Cari cewe yang mau diajak serius biar bisa langsung nikah."
Jenagara menghembuskan nafas kasar. "Nah itu dia kak, calonnya udah ada. Tapi doi kayanya masih ragu sama gue."
"Lah? Beneran udah ada? Cepet banget belum nyampe tiga bulan sejak lo putus?"
"Cepet salah lama juga salah lo mah kak. Ya intinya udah ada cewe yang mau gue nikahin. Tapi kayanya dia masih ragu banget sama gue."
"Ya lo yakinin lah Jegra, lagian gue juga gak nyuruh lo nikah besok. Gue cuma bilang supaya lo secepatnya nikah. Lo tuh butuh diurusin Je."
Jenagara meringis karena ucapan Raina benar. "Ya gimana, gue sih pengennya cepet cepet. Tapi cewenya keliatan banyak ragu. Padahal harusnya dia nuntut gue nikahin dia."
Raina mengerutkan kening. "Maksud lo apaan?" katanya dengan alis menukik tajam. "Lo abis hamilin anak orang?"
Mati sudah. Jenagara seharusnya tahu kalau respon kakaknya memang akan begini.
Raina menatapnya tajam, dan Jenagara bisa merasakan hawa panas yang yang mulai menguasai kakaknya.
"Jegra, jawab gue!" Raina masih menatap Jenagara tajam untuk meminta penjelasan.
Karena Jenagara juga tidak memiliki niat untuk berbohong pada kakaknya, ia akhirnya mengangguk pelan.
"Sorry, kejadiannya tuh di hari yang sama pas gue tau gue diselingkuhin kak. Gue pergi ke club dan ketemu dia."
"Terus sekarang dia hamil? Astaga Jegra," Raina memijat keningnya pusing. Menggelengkan kepalanya tidak habis pikir melihat adiknya yang bersikap seolah tidak ada yang salah dengan berita yang baru dia dengar.
"Tapi kak, gue udah punya tekad buat tanggung jawab ko. Cuman ini ceweknya gamau gue tanggung jawab, dia aneh banget malah gak mau nikah sama gue." Jenagara mengeluh frustasi.
Raina yang mendengar itu mengerutkan keningnya semakin bingung. "Hah? Ko bisa sih?"
"Ya itu dia gue ga paham, padahal kalo diliat liat juga umur dia kayanya pas buat nikah."
"Yaudah lah paksa aja, lo bapak dari anaknya ya anjir. Masa iya mau ditelantarin gitu anak lo." Raina yang terlanjur kesal akhirnya tidak sengaja berkata kasar.
"Ko lo santai banget sih kak, lo gamau ngamuk ke gue? Gue udah hamilin anak orang loh." Bingung Jenagara ketika tidak mendapatkan amukan brutal dari kakaknya.
Tapi kalimat paksa juga sebenarnya malah membuat Jenagara semakin tidak enak hati. Dia memang ingin menikah dengan Andara sebagai bentuk tanggung jawabnya, tapi tidak dengan memaksa perempuan itu.
Kalaupun pada akhirnya Andara tetap tidak mau menjadi istrinya, apa boleh buat. Dia mungkin hanya akan meminta kesempatan untuk diizinkan bertemu dengan putranya kelak kala ia sudah lahir.
"Terus menurut lo gue harus apa? Gue beneran gak masalah deh kalo cewenya anak baik, yang penting lo aman dan tanggung jawab. Kalo mama sama papa masih ada di sini pun mereka pasti support lo buat tanggung jawab. Walaupun gue yakin sih, itu juga lo harus kena pecut papa dulu baru tanggung jawab."
"Kena pecut papa tuh bentuk tanggung jawab tau kak."
Raina mendengus, "Itu namanya hukuman bego. Beda lagi sama pecutan buat kesalahan lo yang harus dipertanggung jawabkan."
"Iya udah jangan ungkit papa sama mama. Gue sedih dengernya."
"Iya. Yaudah, sekarang mending kenalin gue sama cewek yang lo maksud. Biar bisa diomongin baik baik, aneh banget masa dia gamau nikah sama lo."
Jenagara terkekeh karena sikap kakaknya yang rupanya diluar dugaan. Jenagara pikir dia akan diamuk oleh kakaknya, tapi yang dia dapatkan adalah saran yang cukup baik alih alih caci maki.
Yah tapi setidaknya, dia sudah dapat restu dari sang kakak.
