"Semua hal yang ada di dunia ini memang gak akan bisa kita tebak pada akhirnya, sama halnya seperti sesuatu yang kita mau gak akan pernah bisa selalu sesuai sama ekspetasi kita, karena pusat kendalinya ada pada Tuhan dan kita hanya sebatas penghuni. Kita gak bisa maksa takdir buat terus berputar di sekitar kita. Tapi, aku selalu berdoa agar apapun lubang kesedihan yang menghampiri Alana, Mama Sharon dan bunda, They always struggle for stay happy."
Gak Kuat aku nangis, ini nyesek banget.
Sabar ya, cuma fiksi.
Tapi sakit banget.
Alana kuat banget kamu sayang.
"Udah bun,,, cukup bacanya, Alana gak kuat." Bunda menatap wajah Alana ketika anak perempuan itu berusaha memegang tangannya lalu menaruh buku diary milik Alan yang sedari tadi di bacakan bunda.
Alana yang tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihannya, ia menangis tersedu-sedu sembari meraba semua hadiah pemberiannya masih disimpan Alan dengan baik.
Bunda yang tidak bisa melihat Alana menangis, ia segera memeluk Alana dan mengelus rambut anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang.
"Alana gak tahu lagi gimana caranya melanjutkan hidup Alana."
"Alana sayang, kamu gak boleh ngomong kaya gitu, Nak! Nanti Alan denger."
"Bun, Alana sakit. Sakit banget, Alana gak tahu cara nyembuhinnya kalau obatnya aja Alan."
"Alan, kenapa laki-laki itu meninggalkan luka yang dalam banget, Bun?"
"Nak, kamu gak boleh ngomong kaya gitu ya? Alan gak pernah mau liat kamu kaya gini. Alan sayang banget sama kamu, sampai dia gak bakal tenang sebelum liat kamu baik-baik aja. Sekarang udah ya sedihnya? Biar Alan tahu kalau kamu udah bahagia, Alan juga berhak bahagia sayang. Kamu tahu kan apa yang jadi kebahagiaan Alan? Satu-satunya kebahagiaan Alan cuma kebahagiaan kamu."
"Bun, Alana gak bisa."
"Engga sayang, kamu bisa! Sini biar bunda tatap wajah cantik kamu."
"Matamu cantik sayang," sambungnya. Setelah melepaskan pelukannya, bunda menatap wajah Alana. Ia tersenyum bahagia setiap kali memandangi wajah teduh milik Alana.
Ia menyeka air mata yang tidak henti-hentinya bercucuran di pipi Alana. Perempuan itu sekilat mencium kening Alana. Anak perempuan yang begitu dicintai putranya.
Ini sudah tahun ketiga setelah kepergian Alan, tapi Alana tidak pernah beranjak sembuh sedikitpun dari rasa sakit yang ia rasakan. Seolah-olah Alana lebih memilih merawat lukanya daripada memilih untuk sembuh. Lagi pula, bagaimana ia bisa sembuh, jika satu-satunya obat yang Alana butuhkan hanya Alan.
Satu jam yang lalu Alana meminta Arjaka untuk menelpon bunda. Mama sebenarnya sudah melarang Alana pergi menemui Bunda Alan, lebih tepatnya melarang Alana pergi ke rumah Alan, tapi Alana tidak pernah mau mendengarkan mama. Ia pergi setelah taxi yang di pesan Arjaka tiba tanpa berpamitan sedikitpun dengan mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
After him | Dear Alana.
Teen FictionSetelah di suguhi deretan kehilangan, Alana diberikan dua pilihan. Tetap bertahan dengan masa lalunya atau mengikhlaskan segalanya kembali pada tempat masing-masing. Ia tidak bisa melawan takdir untuk bersikeras mencintai dia yang lebih di cintai Tu...