Aroma bunga melati serasa menguar, menemani langkah kaki seorang gadis sebelum berhenti di antara dua makam dengan corak keramik yang sama. Tangannya menaruh bunga krisan tepat di bawah nisan, lalu mencabuti rumput liar yang tumbuh tidak teratur. Perempuan yang akrab dipanggil Mera itu menatap sendu, melihat nama kedua orangtuanya terukir rapih di sana.
"Udah tigabelas tahun, tapi rasanya masih sama."
Mera mendongakkan kepala, menghalau air mata yang siap membasahi pipi mulusnya. Namun, kali ini tidak boleh, Mera tidak boleh selalu menangis acapkali ia berkunjung ke sini. Waktu berlalu cukup lama, dan Mera harus bisa berdamai dengan semuanya. Ia tidak mau jika orangtuanya--di atas sana, khawatir perihal dirinya yang masih berlarut-larut dalam kesedihan. Hal itu juga tidak baik untuk kondisi psikisnya.
"Ibu, Ayah, kemarin aku coba bilang sama Tante Giyan untuk pisah dengan suaminya." Mera menarik napas panjang kemudian melanjutkan, "tapi, yah, responnya cuman 'iya' doang. Aku juga heran, kenapa Tante Giyan masih mau sama cowok modelan kayak Om Rendi? Kerjaannya cuman main judi, mabuk-mabukan, nggak jelas pokoknya, mah!"
Angin berhembus pelan, menerbangkan anak rambut Mera yang terlepas dari kuciran. Sesuai prasangkanya tadi, bahwa ia akan mencurahkan kekesalan ataupun peliknya kehidupan lantaran terlalu sesak untuk dipendam sendirian. Meskipun nyatanya hanya perantara benda mati yang menjadi tempatnya berkeluh-kesah, tetapi Mera merasa lega. Makin lama, penglihatannya mulai mengabur karena air mata yang seolah memaksa ingin ke luar.
"Aku pengin punya toko florist, tapi kadang aku ngerasa kurang yakin. Arum bilang buket buatanku bagus, dan sayang banget kalau cuman sekedar di jual sama anak-anak ... "
Kedua alis Mera bertaut, ia lantas bersikap waspada ketika langkah kaki terdengar mendekati. Dugaannya benar, tepat selepas Mera menoleh, sosok lelaki jangkung, berkulit putih, berkaos serta celana panjang, dilengkapi topi hitam bertuliskan 'Live Longer', sedang berdiri dalam jarak lima langkah seraya tersenyum lebar--menampilkan cekungan di kedua pipinya. Siapa? batin Mera bertanya-tanya.
"Gue nggak ada tisu. Jadi, gue cuman bisa ngasih lo ini ... mawar putih."
Mera mengerjap, ia tak mengerti apa yang di maksud si 'pria tanpa nama'. Namun, Mera segera paham tatkala gadis tersebut merasakan basah di sekitar pipi. Sial! Orang asing di depannya pasti berkesimpulan kalau Mera tengah menangis, tetapi memang begini adanya bukan?
"Ehh, mau ke mana?"
"Maaf, kita nggak kenal." Mera memutuskan untuk berdiri, berjalan menjauh guna menghindari pemuda antah-berantah ini.
"Yaudah, kita kenalan dulu! Nama gue Djanu Pangrengkuh, umur 20 tahun, pengangguran, hobi nyanyi sama main gitar."
Sontak Mera berhenti melangkah, menoleh ke belakang untuk memindai sosok paling sok akrab yang katanya bernama Djanu tersebut.
"Maaf sebelumnya, bisa terima bunganya?" Djanu mengambil langkah mendekati Mera. "Arti mawar putih ini penghormatan dan penghargaan. Apresiasi buat cewek yang belum gue tahu namanya, karena bisa bertahan sampai sejauh ini," lanjutnya sembari sedikit memaksa Mera untuk menerima pemberiannya.
Sedangkan si gadis hanya melongo, dalam hati Mera berpikir jika Djanu terlalu mendramatisir. Lagipula siapa yang peduli tentang filosofi bunga mawar merah? Apalagi yang menjelaskan hanya orang asing, di kuburuan pula.
"Jadi, nama lo--"
"Esmeralda, 21 tahun."
"Wih, mudaan gue, dong. Manggil apa, ya ... Nuna?
Sudah cukup! Sekarang Mera harus segera pulang, ia mesti menyudahi sesi perkenalan antara dirinya dan Djanu. Untungnya kali ini Djanu tidak menghalangi, tetapi hanya mengucapkan salam selamat tinggal sambil terus melambaikan tangan. Manusia aneh, pikir Mera.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Rose
Чиклит"Gue ngga ada tisu. Jadi, gue cuman bisa ngasih lo ini ... mawar putih." Mera menyukai bunga, sangat, bahkan bercita-cita memiliki toko florist sendiri. Tetapi seringkali kali ia merasa kurang yakin karena terkendala kondisi keuangan, ditambah lagi...