Bab 2 || Dia lagi?

15 4 0
                                    

“Ini upah buat hari ini, ya, Neng.”

Mera bergegas menerima uang pemberian Bu Tatik dengan hati gembira. Meskipun jumlahnya tak seberapa, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan jika memiliki sisa, Mera bisa membeli bahan serta beberapa alat tambahan guna mempermudahnya dalam membuat buket. Contohnya tape dispenser, lantaran Mera kerap kali kesusahan ketika memotong selotip.

“Makasih banyak, Bu.”

“Iya, sama-sama, Neng.”

“Kalau gitu saya pamit dulu, ya Bu.”

“Hati-hati, Neng.”

Warung nasi yang berseberangan tepat dengan rumah sakit, setidaknya sudah tiga bulan lebih Mera bekerja di sana. Di mulai dari jam tujuh pagi sampai jam setengah satu siang, yang berarti masih ada sisa setengah hari sebelum matahari terbenam. Di karenakan hal itu pula Mera melangkahkan kakinya menuju kafe dekat swalayan, hendak melanjutkan pekerjaannya sebagai waiters.

Jarak dari warung nasi ke 'Senja Cafe'--nama tempat Mera bekerja, hanya sekitar 300 meter. Daripada mengeluarkan biaya untuk membayar ojek, Mera lebih memilih berjalan kaki. Kendati teriknya kota Jakarta tidak bisa di toleransi, Mera tetap nekad demi uangnya tetap utuh.

“Mera!”

Gadis berkemeja abu tua itu menutup kuping, melindungi gendang telinga dari teriakan sosok bertubuh ramping. Sudah tahu ekspresi Mera berubah masam, senyum Arum masih setia terpatri tanpa dosa.

“Siang panas begini teriak-teriak, nggak takut kaca jendela pecah apa, Rum?” Mera melengos, menghindari tatap muka Arum yang masih mencoba mendekati.

Aigo, kafe baru di buka, loh, Ra, tapi tampang lo udah kusut begitu,” tutur Arum dengan gaya bicara bercampur bahasa Korea yang ala kadarnya.

“Tahu, ah, Rum. Mana sapu, biar gue yang nyapu hari ini.”

“Nah, kan, menghindari pertanyaan itu dosa, loh, Ra.”

“Iya-iya, udah mana sini sapu!”

“Ck, nggak asik lo, Ra.”

Mera tidak peduli, yang terpenting sekarang adalah menyapu lantai agar kafe terlihat lebih bersih. Sepertinya panas matahari tadi mempengaruhi emosi Mera hingga dirinya menjadi sensi begini, ataukah karena jadwal datang bulannya akan datang sebentar lagi? Mengingat tanggalnya yang terbilang tidak jauh-jauh hari.

“Padahal gue pengin ngasih tahu kalau pacar online gue baru aja comeback, Ra. Gila ganteng banget, sih!” Gadis berambut pendek itu menyerahkan alat pembersih pada Mera, sembari terus mengoceh perihal artis Korea yang dikaguminya.

Sedangkan Mera hanya menganggapnya sebagai angin lalu, tidak terlalu penting, batinnya.

“Eh, Ra, bukannya itu Paman lo?”

Mera bergeming sebentar, lekas ia mengikuti arah pandang Arum ke luar kaca transparan guna menemukan keberadaan Rendi. Benar saja, Mera melihat sosok pamannya sedang melangkah terburu-buru seraya menggenggam amplop berwarna cokelat. Dari dalam kafe, Mera bisa melihat ekspresi cerah di wajah Rendi, seolah lelaki dewasa itu telah memenangkan sesuatu.

“Kayaknya dia menang judi,” ujar Mera membuat Arum membelalakkan mata.

“Seriusan, Ra?! Gila, sih, gue kira udah tobat, tuh, Om-Om.”

“Tobat apaan! Yang ada malah makin parah.”

“Demi apa, Ra?! Wah, kalau gue jadi Tante lo, udah gue loakin, tuh, lelaki begitu!”

“Tante gue 'batu' pakai banget, Rum.”

Arum yang tengah mengelap meja sontak mendesah kasar, ia sudah akrab dengan kondisi orang-orang rumah Mera yang jauh dari kata harmonis. Terkadang Arum merasa kasihan, bahkan beberapa kali mengajak Mera untuk tinggal di indekosnya. Namun, Mera tetaplah Mera. Sahabatnya itu selalu bersembunyi dari kalimat 'baik-baik saja', pernahkah Mera merasa kalau ia juga keras kepala?

White RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang