Bab 4 || Tiga Bulan Yang Lalu

9 2 0
                                    

“Nggak, Pak, saya bukan pacarnya!”

Mera mendelik marah, ia lekas melepaskan genggaman Djanu dari tangannya. Entah apa niatan pemuda itu hingga mengatakan suatu hal yang sudah pasti tidak ada kebenarannya. Bahkan belum seminggu mereka bertemu, tetapi Djanu selalu bertindak seenaknya sendiri. Kali ini Mera harus benar-benar bersikaptegas.

“Tapi, kata Mas Djanu--”

“Bukan, Pak, saya bukan pacarnya!”

Selepas memotong ucapan si pria dewasa tadi, Mera langsung bergegas pergi tanpa memedulikan Djanu yang terus-menerus memanggil namanya. Ia tidak mau jika harus mengulur waktu, tidak peduli pula dengan usaha Djanu yang masih kekeh untuk mengajaknya pulang bersama. Namun, banyaknya orang di trotoar membuat Mera merasa malu sendiri, mereka berdua menjadi pusat perhatian.

Dan tanpa pikir panjang, Mera melambaikan tangan guna memberhentikan taksi yang kebetulan lewat. Sesaat Mera berpikir jika perilakunya barusan adalah rencana yang bagus, sebelum luntur begitu saja setelah mengingat kalau sisa uang yang ia bawa tidak lebih dari lima ribu. Menjengkelkannya lagi, Djanu tanpa permisi ikut memasuki taksi seraya menyengir--memperlihatkan deretan giginya yang rapih.

“Lo ngapain, sih, ngikutin gue terus?” Mera sedikit merendahkan suaranya karena tidak enak dengan pak sopir di kursi kemudi.

Djanu mengedikkan bahu. “Pengen aja.”

Cukup, sepertinya Mera sudah terlalu lelah jika kembali berdebat. Lantas gadis itu menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang, menoleh ke sebelah kiri untuk menghindari presensi seorang Djanu. Lumayan lama keheningan mengisi mereka setelah Mera mangatakan alamat rumahnya kepada sang sopir, sedikit mengherankan juga kenapa Djanu hanya diam saja--tanpa mengeluarkan berbagai macam pertanyaan yang menurut gadis berkucir satu itu sangatlah tidak penting.

Nuna, maaf, ya, kalau selama ini sikap gue terkesan kurang ajar.”

Secepat kilat Mera menengok, air mukanya terlihat kebingungan. “Lo--”

“Gue minta maaf.” Djanu memandang Mera lalu tersenyum. “Pasti, Nuna, ngerasa terganggu banget, kan, sama sikap gue beberapa hari ini? Dan gue ngaku kalau gue salah, Djanu minta maaf, ya, Nuna.”

Ibaratkan hujan dia cuaca terang, seperti itulah kemustahilan tindakan Djanu saat ini. Bagi seorang Mera yang sudah merasakan seberapa menjengkelkannya sikap Djanu sejak awal bertemu, merupakan suatu hal yang tak di sangka-sangka ketika lelaki tersebut berbicara demikian. Bahkan tanpa sadar, Mera masih menatap Djanu dengan kedua alis bertaut.

“Iya, tahu ganteng, nggak usah gitu juga kali ngelihatnya.”

Musnah sudah. Keheranan di wajah Mera seketika sinar, tergantikan oleh ekspresi kesal yang tak terhingga. “Ngeselin lo!”

Djanu sempat terkekeh kemudian menyahut, “jadi, dimaafin, nggak, nih?”

Mera memutar bola mata malas. “Ya,” jawabnya singkat sebab ingin semuanya cepat selesai.

“Gue sering ngelihat, Nuna, di kuburan setiap hari sabtu.”

“Terus?”

“Ya, nggak apa-apa. Tapi maaf, kalau gue sering denger curhatan, Nuna, di makam orangtua, Nuna.

“Jadi, sesering itu lo ke kuburan--”

“Gue ke kuburan buat ke makam nenek gue,” ujar Djanu memotong kalimat Mera, ia harus menjelaskannya sebelum gadis itu kembali naik pitam.

Mera menghela napas. “Oh tapi emang setiap hari sabtu juga lo ke kuburan?”

“Tadinya nggak, itu juga tiga bulan terakhir ini jadi sering ke makam Nenek. Gue jadi rutin setiap hari sabtu setelah ngelihat, Nuna.”

White RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang