Bab 6 || Permulaan

10 1 0
                                    

Djanu telah sampai di rumah. Bangunan besar berlantai dua ini terlihat begitu sepi, sebuah tanda kalau orangtuanya pasti belum pulang dari bekerja, itupun biasanya. Setelah kakinya menjajaki anak tangga, Djanu bergegas memegang kenop pintu kamar lalu membukanya. Sedikit terkejut tatkala melihat presensi sang ibunda yang telah terduduk anggun di atas kasurnya.

“Mama, udah pulang?”

“Pertanyaan macam apa itu Djanu?”

Si pemuda berlesung pipi hanya terkekeh geli, lekas menghampiri Elisa-ibunya, kemudian ikut menduduki diri di sampingnya. Dilihat dari penampilan Elisa, Djanu menduga, pastilah wanita yang telah melahirkannya ini baru selesai dari pekerjaannya.

“Papa belum pulang?”

“Masih ada rapat di kantor.”

“Ohh ...”

“Kamu jangan terlalu sering keluar malam, Nu, ingat kesehatan kamu.” Elisa melepas topi yang dikenakan Djanu, menghapus bekas jejak keringat menggunakan telapak tangannya.

“Aku cuma pergi sebentar, kok, Ma.”

“Yang bener? Pak sopir bilang beberapa hari ini kamu sering pergi keluar, bahkan semalam pernah hampir kabur.”

Djanu menelan ludah, ia tidak bisa lagi mengelak sebab kebohongannya sudah terpampang di depan mata.

“Tolong nurut sama permintaan Mama, ya, Nu.” Elisa menggenggam tangan putranya. “Mama tahu, kok, kalau Djanu itu sudah berubah menjadi lebih baik. Mama percaya,” lanjutnya.

Lebih baik, Djanu seperti pernah mengatakan hal yang sama di tiga tahun lalu. Dua kata yang sampai saat ini masih ia pegang teguh, janjinya untuk keluarganya, untuk dirinya sendiri. Ikrar yang Djanu ucapkan kala dokter mendiagnosa, bahwa dirinya memiliki penyakit jantung koroner. Penyakit yang berasal dari pola hidupnya dulu, kenakalannya, serta keras kepalanya. Masa sekolah Djanu-lah yang menjadi saksi.

“Kak Djavis kapan pulang, Ma?” tanya Djanu mengakhiri keheningan keduanya.

“Mama kurang yakin, tapi kayaknya akhir tahun.” Elisa beranjak berdiri, mengambil handuk sang putra dilanjutkan memilih baju ganti yang sekiranya nyaman untuk tidur.

“Akhir tahun, lama banget, Ma. Apa masih bisa aku ketemu Kak Djavis kalau selama--”

“Djanu!”

Pegangan Elisa pada pintu lemari terasa menguat, menyalurkan rasa sakit yang menjalar karena kembali mengingat kenyataan. Sedangkan Djanu mengatupkan mulutnya, ia merasa bersalah sebab telah mengatakan hal sensitif yang tentu saja ibunya tak akan suka.

“Ma ...”

Hitungan menit sejak Djanu memanggil, Elisa tidak menyahut, membuat hati pemuda itu menjadi semakin tak karuan. Bahkan posisinya saat ini sudah beranjak berdiri, berniat menghampiri Elisa. Namun, itu semua belum sempat terencana ketika sang ibu membalikkan badan, melangkah cepat lalu memeluk Djanu dengan begitu erat.

Basah. Djanu merasakan basah di bagian depan kemeja yang ia pakai. Ia sangat yakin pasti Elisa tengah menangis, tanpa suara. Semakin bertambahlah rasa bersalah Djanu.

“Mama, mohon jangan ngomong kayak gitu lagi, ya, Nu,” pinta Elisa setelah melepas pelukannya, menatap sang putra lekat-lekat.

“Ma--”

“Mama mohon, kamu harus selalu sehat, selalu ada di sisi Mama, ya?”

Djanu menggigit bibir, menahan tangis. Ia bersusah payah menahan air mata sampai tenggorokannya terasa tercekat. Sakit, sangat sakit melihat ibunya menangis seperti ini. Namun, bagaimanapun juga Djanu tetap merasa kurang yakin. Prasangkanya selalu mengatakan jika penyakitnya ini bisa mengambil nyawanya kapan saja. Seperti hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.

Maaf, Ma, tapi Djanu nggak bisa janji, batinnya menahan rasa sesak.

•••

Warna-warni. Bunga-bunga yang terpajang di ruang tengah toko terlihat begitu cantik dengan beragam corak yang berbeda. Mera yang melihatnya pun menjadi gemas sendiri. Ingin sekali ia membeli semua bunga yang ada di sini, tetapi mana mungkin. Uangnya saja pas-pasan.

Seperti sebuah rutinitas, Mera kerap kali mengunjungi toko bunga tatkala dirinya sedang butuh inspirasi dalam membuat buket. Menghirup aroma mawar merah seolah membuang segala hiruk pikuk permasalahan Mera. Menjernihkan kembali kepalanya yang telah penuh oleh segala praduga dan opini.

“Mawar putih.”

Mera berhenti dihadapan bunga mawar putih yang masih tampak segar. Sekilas ingatannya berputar pada pemuda berlesung pipi bernama Djanu. Pemuda menyebalkan yang selalu mengintilinya seperti anak ayam. Tunggu! Mengapa dirinya jadi memikirkan Djanu?

Menggelengkan kepala, Mera sontak menghela napas, membawa langkah kakinya menuju keluar toko. Ia merasa sudah cukup untuk melihat-lihat beragam bunga serta membeli secukupnya. Waktunya Mera kembali pulang dan beristirahat, besok pagi ia harus pergi bekerja. Namun, sosok penjual cilok yang umurnya terlihat cukup tua--hampir tertidur di trotoar jalan, membuat Mera langsung merasa simpati. Ia sontak bergegas untuk menghampiri.

“Pak, ciloknya masih ada?”

“Ehh--i-iya-iya, masih, Neng.”

“Beli, Pak. Rp. 20.000 aja.”

Si penjual cilok langsung bersemangat. Dengan tangan gemetar, bapak itu membuka tutup panci yang lantas mengeluarkan uap beraroma khas, sesaat hidung Mera menjadi termanjakan. Namun, gadis itu kembali merasa kasihan setelah melihat dagangan si bapak yang masih berjumlah banyak.

“Bapak biasa jualan dari jam berapa?” tanya Mera penasaran.

“Jam delapan pagi, Neng.”

Melihat tampang lelah si penjual cilok, Mera serasa ingin menangis. Meskipun begitu, si bapak tidak melunturkan sedikitpun senyuman di wajahnya sejak mengetahui Mera datang guna membeli dagangannya. Hal seperti inilah yang acapkali membuat Mera kembali bersyukur.

“Meskipun udah malem, Bapak, masih semangat aja, ya?” Mera ikut mengongkrong, tersenyum sopan sembari memerhatikan si bapak menuangkan saos ke dalam pesanannya.

“Jelas harus, Neng. Meskipun udah tua harus tetap semangat. Apalagi, Eneng, yang masih muda.”

“Bapak hebat, ya,” ujar Mera tanpa sadar

Renyah suara tawa si bapak, membuat Mera menjadi ikut tergelak. Perkataan sederhana yang serasa menyentil ego Mera karena selalu bersikap pesimis. Lagi dan lagi, gadis ber-sweater cokelat itu mengulum bibir. Ia sontak merasa malu sebab rasa semangatnya telah mengurang sebelum perang dimulai.

“Bapak selalu yakin, Neng, kalau ada penjual, pasti ada pembeli.”

Entah sudah berapa kali Mera serasa tertampar, apalagi kalimat yang baru saja diucapkan si bapak sama persis seperti kata-kata yang dikeluarkan dari mulut Djanu tadi siang.

Selepas membayar pesanannya lalu mengambil sebungkus cilok yang ia beli, Mera langsung pamit pulang. Di perjalanan, gadis itu kembali melamun. Cukup lama sebelum Mera memutuskan untuk mendongak, memandangi langit malam yang kebetulan sangat cerah, menampilkan bulan beserta bintang-bintangnya. Seakan teringat, Mera lekas mengambil ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka aplikasi ber-logo kamera.

Florist Jakarta.

Mera melihat beberapa akun milik toko florist yang lumayan tersohor di Jakarta. Memindai model-model buket yang telah diposting, sekaligus jumlah followers yang rata-rata sudah mencapai ribuan. Jika boleh jujur, Mera lagi-lagi minder, tetapi mau sampai kapan ia bersikap demikian?

“Apa iya, gue harus mulai open order?” tanya Mera pada dirinya sendiri. Rasa semangatnya entah mengapa mulai membuncah sekarang. Yakinkah dirinya? Namun, Mera memang harus segera bertindak untuk memulai impiannya. Jika tidak sekarang, mau kapan lagi?







To be continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang