Tidak henti-hentinya Djanu tersenyum, memandangi sekantong plastik berisi mochacino yang ia beli dari Senja Cafe tadi. Ia berhasil mendapatkan nomor ponsel Mera berkat bantuan Arum, alasan utama mengapa Djanu masih setia menaikkan sudut bibir. Bahkan pak sopir di kursi kemudi kerap kebingungan dengan anak majikannya itu.
"Besok kita pergi ke ke sana lagi, ya, Pak."
"Ke sana mana, Mas?"
"Senja Cafe."
Si pengemudi menggaruk pangkal hidung. "Tapi, kan, besok jadwal, Mas Djanu check up."
Senyuman Djanu seketika luntur. Perlahan pemuda tersebut menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil, melepas topi kesukaan lalu memejamkan kedua matanya. Djanu tidak tertidur, ia hanya mencoba mengatur napasnya sebab rasa sesak kembali menyerang. Djanu selalu merasa kosong setiap kali mengingat kalau ada yang tidak normal dengan kondisi jantungnya.
"Lusa, deh, Mas, kita ke sana lagi," ujar pak sopir mencoba mencari alternatif lain.
Sontak Djanu membuka mata, memandang pria paruh baya yang sudah mengabdi pada keluarganya dalam kurun waktu cukup lama. "Makasih, ya, Pak."
"Sama-sama, Mas. Saya perhatiin dari tadi, Mas Djanu, senyum-senyum aja, lagi jatuh cinta, ya?" goda pak sopir.
Lelaki itu terkekeh geli. "Mungkin."
•••
"Selotip, tusuk sate, sama apa lagi, ya?"
Jari telunjuk Mera mulai mengetuk-ngetuk dagu, kebiasaannya ketika sedang berpikir. Persoalan buket pesanan Arum yang akan ia berikan besok siang, tentu harus dikerjakan malam ini. Namun, Mera lupa kalau beberapa persediaan bahan tinggal sedikit lagi, karena itu gadis ber-hoodie hitam tersebut ingin pergi keluar guna membeli peralatan yang kurang.
"Kertas cellophane!" Mera tersenyum senang setelah mengingat barang paling penting yang harus ia beli.
+628214326xxxx
Nuna, malam ini makan apa?
Helaan napas lelah terdengar, selepas membacanya, Mera langsung menghapus pesan di atas tanpa mau membalas. Ia sudah tahu kalau seorang Djanu yang mengiriminya pesan, sudah terlalu sering ponselnya bergetar semenjak pertemuan kedua mereka di Senja Cafe kemarin siang. Lebih menyebalkannya lagi, ternyata Arum-lah yang dengan cuma-cuma memberikan nomor ponselnya kepada Djanu.
"Hey, Mera, coba lihat! Sekarang Om-mu ini punya banyak duit."
Rendi mengambil ayam bakar bagian paha, lalu memakannya dengan begitu lahap. Dari sorot matanya, terlihat jika lelaki itu tengah menyombongkan diri. Sedangkan Mera yang diajak bicara, ia hanya memandang datar Rendi sebelum melirik Giyanti yang tampak datar-datar saja, fokus wanita tersebut hanya pada cucian piring di wastafel. Sesuai dugaannya, Rendi pasti telah menang judi.
Ada berbagai macam jenis makanan tersaji di atas meja, salah satunya ayam bakar tadi, dan juga setumpuk tote bag berserakan di atas sofa--yang Mera tidak tahu apa isinya.
"Yang jadi pertanyaan, Om, udah nyicil sebagian dari hutangnya?"
Rendi berhenti mengunyah tatkala mendengar keponakannya berbicara. "Itu bukan urusan kamu."
"Tentu jadi urusan saya." Mera melihat sekilas ke arah Giyanti. "Selama ini, Tante saya yang selalu kesusahan buat ngelunasin hutang-hutang, Om," lanjutnya.
Rendi tertawa mengejek. "Mera-Mera, jangan sok kamu, ya. Lagian hutang-hutang itu bisa dibayar nanti."
"Tapi kapan? Om nggak malu punya banyak hutang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
White Rose
ChickLit"Gue ngga ada tisu. Jadi, gue cuman bisa ngasih lo ini ... mawar putih." Mera menyukai bunga, sangat, bahkan bercita-cita memiliki toko florist sendiri. Tetapi seringkali kali ia merasa kurang yakin karena terkendala kondisi keuangan, ditambah lagi...