06. SETANGKAI BUNGA

437 44 1
                                    

"Dikasih bunga oleh seseorang yang kita kagumi adalah kebahagiaan di level yang berbeda."


HAPPY READING

Setelah menyelesaikan belanja, Gibran dan Adara keluar dari supermarket dengan beberapa kantong belanjaan di tangan mereka. Udara sore yang sejuk menyambut mereka saat mereka berjalan menuju parkiran. Adara, yang biasanya lebih banyak bicara, kini tampak lebih tenang. Mungkin karena kehadiran Gibran yang tidak terduga, atau mungkin karena Gibran benar-benar menepati janjinya untuk tidak membuat onar.

Gibran melirik Adara sekilas. Ada sesuatu yang mengganggunya—entah mengapa, dia merasa ingin melakukan sesuatu yang lebih. Membantu belanja memang bagus, tapi... itu belum cukup. Saat itulah, matanya tertuju pada toko bunga kecil di seberang jalan.

Di etalase toko, terlihat rangkaian bunga-bunga indah yang memikat, tetapi yang paling menarik perhatian Gibran adalah setangkai mawar merah yang diletakkan dengan manis di tengah-tengah. Mawar yang sederhana namun elegan. Lambang dari banyak hal yang tidak bisa Gibran ungkapkan dengan kata-kata.

"Adara, tunggu sebentar," katanya tiba-tiba.

Adara menatapnya heran. "Kenapa? Lo mau ke mana?"

"Sebentar aja, gue balik lagi." Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Gibran menyeberang jalan dan berlari kecil menuju toko bunga tersebut. Adara mengerutkan kening, bingung dengan apa yang dilakukan Gibran, tapi ia tetap berdiri di tempat, menunggu dengan sabar.

Di dalam toko, Gibran cepat-cepat memilih setangkai mawar merah yang tadi menarik perhatiannya. Pemilik toko, seorang wanita paruh baya yang ramah, tersenyum penuh arti saat menerima pembayaran darinya.

"Mawar ini buat seseorang yang spesial, ya?" tanya wanita itu sambil membungkus bunga tersebut dengan kertas coklat elegan.

Gibran mengangguk, sedikit malu. “Bisa dibilang begitu.”

Setelah menerima bungkusannya, Gibran buru-buru kembali menyeberang dan menghampiri Adara yang menunggunya di dekat motornya. Adara tampak sedikit kebingungan saat melihat Gibran membawa sesuatu yang disembunyikan di belakang punggungnya.

“Apa yang lo sembunyiin?” tanya Adara curiga.

Gibran ragu sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya dan mengeluarkan setangkai mawar merah itu dari balik punggungnya. “Ini buat lo,” ucapnya cepat, menatap Adara penuh harap. “Gue... gue cuma mau bilang makasih, buat hari ini.”

Adara membelalak kaget. “Mawar?”

Gibran mengangguk, wajahnya sedikit memerah. “Iya. Gue... gak tau lo suka bunga atau enggak, tapi... ini satu-satunya hal yang gue pikir pas buat ngungkapin rasa terima kasih gue.”

Adara terdiam, memandang bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya sedikit melembut, dan bibirnya bergetar seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

“Gibran... kenapa tiba-tiba kayak gini?” tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

“Karena... gue sadar selama ini gue udah nyusahin lo,” jawab Gibran dengan jujur, menatap lurus ke dalam mata Adara. “Dan hari ini, lo ngasih gue kesempatan buat belajar sesuatu yang baru. Buat ngelihat kalau berubah itu bukan cuma soal nahan emosi atau berusaha patuh sama aturan. Tapi lebih ke... ngelakuin sesuatu buat orang yang gue peduliin.”

Adara terdiam, menatap Gibran dengan ekspresi takjub. Hatinya terasa hangat, penuh oleh perasaan yang tidak bisa ia gambarkan. Ini pertama kalinya seseorang memberinya bunga—dan terlebih lagi, itu dari Gibran. Seseorang yang selama ini hanya ia lihat sebagai sosok keras kepala yang tak peduli pada apapun.

“Aku... Aku suka bunganya,” akhirnya Adara berbisik, menerima mawar itu dengan kedua tangannya. “Terima kasih, Gibran.”

Gibran tersenyum lebar, lega mendengar jawaban itu. “Gue seneng lo suka. Dan, eh, jangan bilang ke Rahsya atau Irsyad ya. Bisa-bisa mereka ngejekin gue seumur hidup kalau tau.”

Adara terkekeh kecil, tatapannya penuh rasa sayang yang tak pernah ia sadari. “Tenang aja. Ini rahasia kita berdua.”

“Rahasia, ya?” Gibran mengangguk mantap. “Oke, sepakat.”

Mereka berdua tertawa kecil, dan suasana canggung yang sempat menyelimuti mereka seketika menguap begitu saja. Kini, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—sesuatu yang halus namun nyata. Bunga mawar itu mungkin hanya simbol sederhana, tapi bagi Gibran dan Adara, itu adalah tanda bahwa hubungan mereka telah berubah. Bukan lagi sekadar teman sekelas atau partner dalam mengatasi masalah.

Mereka kini terikat oleh sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang perlahan, namun pasti, membawa mereka ke arah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

“Sekarang ayo kita pulang. Gue anterin lo,” ujar Gibran, memecah keheningan yang nyaman.

Adara mengangguk sambil menatap mawar di tangannya. Senyum lembut menghiasi wajahnya saat ia melangkah menuju motor Gibran. “Boleh. Tapi ingat, pelan-pelan ya. Jangan ngebut.”

Gibran tertawa kecil, mengenakan helmnya. “Gue bakal patuh, kok. Apa pun buat lo.”

Adara tersenyum dan naik ke boncengan. Ketika mereka mulai melaju meninggalkan supermarket, angin sore yang lembut seolah mengiringi mereka, membawa harapan akan masa depan yang lebih cerah.

BERSAMBUNG...

-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-

Perantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang