38. MAAF & PAMIT

246 27 3
                                    

"Aku hanya sebagai perantara untuk kalian bersatu"

HAPPY READING

Adara melangkah pelan menuju taman dekat rumahnya yang lengang, suasana sore itu terasa tenang dengan angin yang berhembus lembut. Ia tidak mengerti kenapa Rahsya tiba-tiba mengirim pesan, memintanya untuk bertemu di sini. Mengingat bagaimana Rahsya dan Kirana begitu keras berusaha menyingkirkan mereka, pertemuan ini terasa aneh dan tak terduga.

Ia melihat Rahsya berdiri di dekat bangku kayu yang tersembunyi di balik rimbunan pepohonan. Pria itu tampak berbeda-raut wajahnya muram, seolah ada beban besar yang menggelayut di pundaknya. Biasanya, Rahsya selalu tampil tenang dan percaya diri, tetapi kini ia terlihat seperti orang yang telah kehilangan arah.

"Adara," panggil Rahsya pelan begitu melihat gadis itu mendekat. Suaranya terdengar lemah, berbeda dari nada angkuh yang biasa ia gunakan.

Adara berhenti beberapa langkah darinya, mempertahankan jarak yang aman. "Ada apa, Rahsya? Kenapa tiba-tiba mau bicara sama gua?"

Rahsya menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Adara. "Aku... aku tahu ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi aku perlu mengatakan sesuatu. Sesuatu yang sudah aku pendam terlalu lama."

Adara mengerutkan kening, mencoba menebak maksud ucapan Rahsya. Ia tidak menjawab, hanya menunggu dengan ekspresi penuh tanya.

"Adara, aku ingin minta maaf," kata Rahsya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Untuk semuanya. Untuk apa yang sudah terjadi... dan terutama, untuk sesuatu yang pernah kulakukan pada kamu dan Gibran."

Adara menatapnya tanpa berkedip, terkejut dengan pengakuan yang tiba-tiba itu. "Maksud lo apa?"

Rahsya menarik napas dalam, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Aku yang pernah mengirimkan foto itu, Adara. Foto Gibran dan Kirana... yang berboncengan di sepeda motor."

Kata-katanya membuat Adara terpaku. Kilasan kenangan menyentak pikirannya-foto itu muncul sekitar akhir-akhir ini, menciptakan desas-desus yang cukup merusak reputasi Gibran dan menimbulkan keraguan di antara teman-teman mereka.

Adara ingat betapa kecewanya ia saat pertama kali melihat foto itu. Gibran dan Kirana tampak begitu dekat, seolah-olah mereka menyimpan rahasia yang tak pernah diceritakan pada siapapun. Namun, alih-alih membicarakannya, Adara memendam rasa sakit itu sendirian. Dan sekarang, orang yang ada di hadapannya mengaku sebagai dalang di balik semua itu?

"Lo... yang melakukannya?" Adara tertegun, tak percaya.

Rahsya mengangguk, wajahnya tertunduk dalam-dalam. "Aku mengirimkan foto itu ke beberapa orang, berharap rumor itu akan menyebar. Aku pikir... aku pikir itu akan membuat kamu semakin jauh dari Gibran."

Adara mengerutkan kening, mencoba memahami motif Rahsya. "Tapi... kenapa? Bukankah Kirana selalu bilang bahwa lo dan dia adalah partner yang solid?"

Rahsya tersenyum getir. "Partner? Mungkin itu benar, tapi sejujurnya, aku pernah menyukai Kirana. Namun, dia menganggap aku hanya sekedar teman tidak lebih. Di situlah semua berawal. Dia memanfaatkan aku untuk melakukan ini semua." Rahsya berhenti sejenak, menelan ludah dengan susah payah. "Tapi semenjak dia memanfaatkanku, aku sudah tidak ada perasaan lagi untuk Kirana, karena untuk sekarang hati aku hanya untuk kamu. Dan Foto itu sengaja aku kirim ke kamu agar kamu bisa jauh dari Gibran."

"Maaf perbuatan aku selama ini salah, Ra," ucap Rahsya menundukkan kepala.

Adara terdiam, hatinya tercampur aduk. Rahsya, orang yang selama ini ia anggap pendukung setia Kirana, ternyata justru pernah menyimpan perasaan tersembunyi yang membuatnya berani melakukan hal seperti itu. Namun, mengetahui motif di balik tindakan itu tak lantas membuat Adara merasa lebih baik.

"Jadi, lo menyebarkan foto itu untuk merusak hubungan gua dengan Gibran?" tanya Adara akhirnya, suaranya tak menunjukkan emosi yang jelas.

Rahsya mengangguk, matanya tertutup rasa bersalah yang begitu dalam. "Aku tahu itu salah. Aku... aku melakukan itu agar kamu tahu kalau Gibran itu tidak bisa dipercaya. Dan kamu berpaling kepadaku."

"Dan sekarang?" Adara menatap Rahsya tajam. "Setelah semua yang sudah terjadi, apa lo masih berharap gua akan memilih lo?"

Rahsya tertawa kecil, pahit. "Sekarang? Tidak. Semuanya sudah hancur. Kamu pasti akan kembali kepada Gibran. Aku menyesal melakukan semua ini. Aku pengkhinat."

Adara memandangnya lama, mencoba menilai ketulusan di mata pria itu. Rahsya tampak begitu rapuh, seperti seorang anak yang terjebak di tengah badai yang ia ciptakan sendiri. Penyesalannya tampak nyata, meskipun luka yang ia tinggalkan terlalu dalam untuk bisa dihapuskan begitu saja.

"Kamu tahu, Rahsya," Adara akhirnya berkata, suaranya pelan tapi tegas, "permintaan maaf tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Kamu sudah menghancurkan banyak hal. Tapi aku menghargai keberanianmu untuk mengaku. Itu langkah pertama. Sekarang, terserah kamu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya."

Rahsya menunduk, menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin memperbaiki semuanya, Ra. Aku ingin jujur pada kamu, kalau aku ingin sekali memilikimu, meskipun aku tahu kamu mungkin akan semakin membenciku."

Adara menghela napas, hatinya sedikit melunak. "Untuk itu gua enggak bisa, Sya. Dihati gua cuman ada Gibran, Dan gua harap, semua kejadian ini buat pelajaran lo kedepannya."

Rahsya mengangguk, meskipun matanya masih dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Aku akan melakukannya. Tapi sebelum itu... aku ingin kamu tahu, aku benar-benar minta maaf. Bukan hanya untuk foto itu, tapi untuk semua yang sudah terjadi."

Adara mengangguk pelan, meski hatinya masih terasa berat. "Gua mengerti, Sya. Mungkin butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi yang terpenting adalah apa yang lo lakukan dari sekarang."

Rahsya tersenyum tipis, meskipun air mata tampak menggenang di sudut matanya. "Terima kasih, Adara. Aku... aku akan berusaha berubah."

Namun, sebelum meninggalkan Adara, Rahsya menggenggam erat tangan milik Adara dan berkata,"Terima kasih atas semua kenangannya. Sekali lagi aku minta maaf apa yang telah aku perbuat kepada kamu dan juga Gibran. Tolong sampaikan permohonan maafku kepada Gibran. Bahagia selalu ya! Aku izin pamit, Ra."

Lalu, dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya, Rahsya melepaskan genggaman tangan itu, dan berlalu pergi, meninggalkan Adara sendirian di tengah taman. Gadis itu menatap punggung Rahsya yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi di balik semua itu, ia berharap, seberkas cahaya penyesalan itu akan benar-benar mengubah Rahsya. Sebab, meskipun terlambat, sebuah permintaan maaf yang tulus masih lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Maaf selama ini aku belum bisa menjadi yang terbaik. Aku harap kamu selalu bahagia dengan dia. Meskipun, hati kecilku masih belum bisa menerima semua kenyataan ini."

Bersambung...

-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-

!! 1 chapter menuju ending !!

Haiii semuanya, untuk ending akan aku update pada tanggal 13 Oktober yaa!

Selamat berekspetasi untuk ending cerita ini. Semoga ekspetasi kalian terwujud. Sampai bertemu di tanggal 13

Perantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang