ada namun seakan tiada

8 1 0
                                    

---
Mita yang sedari tadi menunggu di luar sangat khawatir, apalagi saat mendengar suara gebrakan yang sangat keras dari dalam, dan pada akhirnya Mita masuk ke dalam ruang konseling.

"Alka! Alka kamu kenapa?" Panik Mita ketika melihat sang teman yang berderai air mata sedang di rengkuh gurunya.

Bu Febri mengisyaratkan untuk diam, Mita pun menurut karena ia tak tau apa yang terjadi. Gadis itu menatap sendu Alka yang menangis, temannya tak pernah sehancur ini.

---
Wanita itu menelpon ibu dari Alka setelah dirinya meminta nomor pada si murid. Ia menghela napas pelan, lalu mulai berbicara ketika panggilan sudah tersambung.

"Assalamualaikum, apakah benar ini Bunda dari Alka?"

"Ya, saya sendiri. Ada apa?"

"Maaf Bu, saya Febri guru konseling, bisakah ibu datang ke sekolah sekarang?"

"Konseling? Anak itu membuat masalah apa?"

"Tidak, saya hanya ingin berbicara dengan ibu terkait Alka."

"Baiklah, saya akan kesana."

Tut!

Telepon diputus sepihak, Febri menatap Alka yang bergetar ketakutan sedang dipeluk oleh Mita. Dia bukan sekali dua kali menghadapi masalah seperti ini, maksudnya beberapa murid pernah mengalaminya. Khususnya pada posisi si penengah.

Sebagai guru konseling, Febri sudah berulang kali menghadapi hal semacam ini.

-
-

Tiga puluh menit kemudian Bunda An datang, ia mengernyit ketika tak mendapati Alka berada di ruangan konseling. Kemana perginya anak itu?

"Alka di unit kesehatan, saya memintanya untuk tidur." Sahut Febri ketika mendapati wanita itu bingung.

"Baiklah ibu Anselma, saya ingin bertanya sesuatu."

"Apakah ibu pernah membeda-bedakan kasih sayang antara Alka dan saudaranya?" Lanjut Febri membuka obrolan.

"Tidak, memangnya kenapa?" Jawab Bunda An dengan cepat, oh astaga apa yang dipikirkan guru ini?

"Jika begitu, apakah ibu pernah memberikan apa yang Alka minta? Pernahkah ibu bertanya apakah Alka baik-baik saja?" Febri bisa melihat wanita di depannya ini bungkam, tak menjawab atau mengelak.

"..apakah itu perlu ditanyakan?" Bunda An kembali berbicara setelah terdiam, mencoba menahan amarah.

"Apakah ibu tau apa yang menjadi favorit putri ibu?" Febri mengabaikan pertanyaan itu.

"Tidak." Sahut Bunda An lirih, ia membenarkan itu semua.

"Itulah yang membuat psikis Alka sedikit terganggu, ia kekurangan perhatian."

Bunda An mendongak, menatap guru konseling itu terkejut. Dirinya tak pernah tau Alka bisa terluka seperti ini.

---
Jam menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Bunda An masih mencoba mengetuk pintu kamar putrinya, sejak pulang dari sekolah Alka selalu melihatnya dengan binar takut.

Tok! tok! tok!

"Alka, buka pintunya sayang. Kamu kenapa? Bilang sama Bunda." Wanita itu tak henti-hentinya mencoba membujuk sang anak. Tubuhnya terduduk tepat di depan pintu itu

Anselma begitu terkejut ketika sang guru mendatangkan seorang psikolog untuk Alka, dan psikolog itu mengatakan bahwa Alka divonis mengidap Middle child syndrome.

Tubuhnya jatuh seketika saat itu, dia merasa menjadi orang tua paling buruk di dunia ini. Ia bahkan tak tau jika sang anak begitu terluka selama ini.

"Alka, buka pintunya sayang. Bunda minta maaf, maafkan Bunda sudah membuatmu seperti ini." Lirihnya diiringi isak tangis yang terdengar menyakitkan.

-
-

Di dalam kamar, gadis itu menangis tanpa henti memanggil sang Ayah. Ia akan dengan refleks memukul kepalanya ketika bayangan-bayangan itu memenuhi kepalanya.

<~~~
"Bunda, baju Alka udah usang." Adu gadis itu pada Bundanya berusaha mendapat barang baru. Tapi ucapan sang Bunda membuatnya kecewa.

"Pakai saja baju Kak Lia, bunda sedang tidak punya uang."

"Lia! Berikan baju yang sudah tidak kamu pakai pada Alka!" Lanjut Bunda berteriak pada Lia yang berada di kamar.

"Iya Bun!"

Mau tak mau Alka harus menerimanya, kemudian dari arah ruang tamu Artha datang dengan girang.

"Bunda, bunda, Artha tadi liat Alan punya mobil remote baru. Artha mau.." Rengek anak laki-laki itu.

"Iya, nanti bunda beliin sekarang Artha mandi dulu ya?" Jawaban sang bunda membuat Artha memekik senang.

Alka hanya bisa melihat sambil mengepalkan tangannya.

~
"Kamu itu sudah dewasa! Berpikirlah layaknya orang dewasa, Alka!"

"Tapi, ini milikku dan hak ku, Bunda.."

~
"Jangan meminta yang tidak penting!"

"Tapi, Bunda selalu memberikan apa yang Artha mau, tidak peduli itu penting atau tidak.."

~
"Punya Kak Lia masih bagus 'kan? Pakailah itu."

"Tapi, itu bekas.."
<~~~

Nyatanya semua jawaban itu hanya bisa Alka suarakan dalam hati, ia tak sanggup menyuarakan semua itu. Tak disangka, hatinya hancur perlahan-lahan.

Ketika Kak Lia mendapat semua yang baru karena dia yang pertama, dan saat Artha mendapat apapun yang ia mau karena dia satu-satunya laki-laki, lalu bagaimana dengan Alka? Apakah Sang Bunda tak pernah memikirkan sedikit pun perasaannya?

Alka tau setiap anak mempunyai beban dan kesulitan masing-masing, maka dari itu ia tak mampu menjelaskan keadaannya pada dunia, ia tak mau orang-orang melempar kata pedas dan mengatakan jika menjadi anak sulung lebih berat atau menjadi anak bungsu lebih menyiksa. Dirinya cukup sadar diri.

Kalau pun setelah ini Bunda An akan lebih menyayanginya daripada sebelumnya, tetap saja luka di hati Alka akan tetap membekas, ia selalu takut jika Bunda kembali seperti dulu.

Alka menanggung semua sendirian, bahkan Mita yang notabene adalah sahabat dekatnya saja tidak tau tentang ini, walau dulu Alka mencoba cerita sedikit pada Mita. Namun respon dari Mita membuatnya trauma jika harus bercerita tentang masalah keluarganya.

Dan Alka hanya bisa mengobati lukanya sendiri, tanpa dokter ataupun lainnya.

Karena, se-terluka apapun kamu, pada akhirnya semua akan kembali sendirian.














"Miris sekali. Seolah spasi, untuk apa aku ada jika presensiku seolah tiada di mata mereka?"

– Bunda, lihat Alka

Bunda, lihat Alka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang