kasih yang terbatas

10 1 0
                                    

---

Mentari mengintip malu di ujung timur sana, bebungaan menari mengikuti sang angin. Hari ini adalah hari yang sibuk di suatu rumah, panggilan untuk sang Bunda terdengar membuat wanita itu sedikit berlari menuju kamar anaknya.

"Bunda, buku Artha hilang!" Gelisah anak laki-laki itu mencari kesana-kemari.

"Ini ada di tas, tadi malam Bunda yang beresin." Ucap wanita itu lembut sambil memberikan sebuah buku pada Artha.

Bunda An kembali menuju meja makan untuk melanjutkan acara menata makanannya, ini sudah menjadi rutinitas wajib bagi Bunda An untuk menyiapkan makanan bagi anak-anaknya. Sang suami sudah menghadap sang pencipta tiga tahun yang lalu, membuatnya harus bertahan demi ketiga anaknya.

Semuanya telah berkumpul di meja makan untuk menyantap sarapan pagi ini, suasananya hening, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang beradu, Bunda An memang melarang anak-anaknya untuk berbicara ketika makan.

Setelah selesai, semuanya bersiap menggendong tasnya masing-masing untuk berangkat ke sekolah, mulai dari si Sulung, si Bungsu dan si Tengah.

"Eh, Kak Lia, bekalnya ketinggalan!" Teriak Bunda sambil membawa kotak berwarna kuning, ia menghampiri si Sulung.

"Oh iya, Lia kelupaan, Bun." Ucap gadis itu tertawa kecil sambil mengambil kotak bekal dari Bundanya.

"Bun, Artha butuh krayon buat tugas mewarnai." Rengek Artha dengan wajah memelasnya, melihat itu Bunda An langsung memberikan sejumlah uang pada Artha untuk membeli krayon.

"Yeyy, makasih, Bun." Seru Artha girang lalu menghampiri sang kakak yang sudah menunggu.

Si Sulung beranjak pergi, mengayunkan langkahnya pada motor kesayangan yang terparkir di bawah pohon jambu dan berangkat bersama Artha.

Melihat itu, Alka hanya bisa menghela napas, ia tau betul Artha meminta uang bukan untuk membeli krayon melainkan untuk membeli sebuah komik keluaran terbaru.

Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya menuju halte bus walau uangnya hanya tinggal beberapa ribu, ia tau dirinya tak akan pernah dibelikan motor seperti sang kakak ataupun meminta uang dengan alasan membeli buku, layaknya sandiwara sang adik.

Alka sudah sangat terbiasa dengan hal seperti ini. Tidak, Alka bukanlah anak tiri atau anak angkat yang dibedakan kasih sayangnya seperti di drama-drama televisi, dia anak kandung Bunda An, entah apa alasan ia diperlakukan seperti itu.

---
Di sepanjang lorong sekolah banyak murid yang sedang bercengkrama sambil mengobrol dengan temannya. Alka segera menuju kelasnya yang terletak persis di sebelah taman.

"Halo Kala, happy Monday!" Sapa salah satu temannya.

"Hai Tami, semoga harimu menyenangkan." Balas Alka dengan senyuman, sedangkan temannya tadi menatap kesal.

"Namaku Mita, bukan Tami!" Kesal gadis itu menghentakan kakinya.

"Loh? Maaf, ku kira Tami. Soalnya namaku juga Alka tapi dipanggil Kala." Sindir Alka mendapat pukulan pelan dari Mita.

Perkenalkan, dialah Mita. Teman Alka yang paling dekat, juga dia adalah teman sebangku yang suka meminta contekan, eh?

Maafkan, tapi memang begitu kenyataannya.

Bel tanda masuk berbunyi, dengan segera murid berhamburan menuju kelasnya masing-masing untuk menerima pelajaran. Pada jam pertama ada Bahasa Indonesia, dengan guru kesayangan kita, Bu Tia.

"Selamat pagi, anak-anak." Sapa wanita itu menatap seluruh muridnya.

"Pagi, Bu." Ucap para murid serempak.

"Baiklah, tolong kumpulkan tugas Minggu lalu." Perintah Bu Tia sambil bertepuk dua kali.

Seluruh siswa mulai mengumpulkan tugas mereka satu persatu, yah mungkin ada yang tidak mengerjakan karena rasa malas. Setelahnya Bu Tia langsung mengecek tugas para siswa.

"Alkana Maheswari, kenapa kertasmu kosong? Bukankah saya meminta agar orang tua menandatanganinya?" Tanya guru itu pada Alka yang berada di bangku barisan tengah.

"Dia tidak peduli." Sahut Alka sambil memalingkan wajahnya.

Bu Tia menghela napas, selalu saja seperti ini, "setelah pembelajaran, temui guru konseling."

-
-

Sesuai dengan perintah sang guru, Alka pergi menuju ruang konseling ditemani dengan Mita yang sedari tadi terus khawatir.

"Al, gimana kalo kamu diapa-apain? Ihh kenapa kamu bisa dipanggil konseling sih? Kamu ngelakuin apa kok bisa gini?" Ribut Mita sambil berjalan di belakang Alka.

"Udah diem!"

Alka masuk ke dalam ruangan teduh itu, memang ruangan konseling menjadi ruangan ternyaman di seluruh penjuru sekolah.

"Alkana? Duduklah." Ini adalah Bu Febri, guru konseling yang amat ramah, namun bisa menjadi singa jika itu menyangkut hukuman para siswa.

"Jadi, kenapa saya dipanggil untuk kesini?" Tanya Alka penasaran.

Bu Febri menghela napas, "kenapa kamu selalu melewatkan tanda tangan orang tua, ah maksudnya ibumu di setiap momen? apapun itu."

"Dia tidak peduli."

Wanita itu mengernyit, "apa besok orang tuamu bisa datang ke sekolah menemui saya?"

Alka mengepalkan tangannya, "sudah kubilang dia tidak peduli!"

Brak!

Alka berteriak, menggebrak meja di depannya, sungguh dirinya muak saat ini.

"Alkana..?"

Gadis itu terduduk di lantai, menekuk lututnya dan menenggelamkan kepalanya. Ia menangis, mencurahkan segala kesakitannya pada tangisan itu. Suaranya terasa pilu.

Wanita itu segera merengkuhnya, menepuk pelan punggung gadis itu agar tenang, sebagai guru konseling ia tahu bahwa ini bukanlah hal yang baik. Ia harus secepatnya menemui ibu gadis ini.

To be continued....

Bunda, lihat Alka [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang