PROLOG

31 1 0
                                    


"Jauhi Abi! Dia enggak pantas untuk kamu, Sayang," pinta Ratna dengan raut memelas.

Mendengar kalimat Ratna membuat Anin seperti tersambar petir di siang bolong. Sejak lama, dia memang sudah tahu sang Ibu tidak merestui kedekatannya dengan Abi. Anin mengira, seiring berjalannya waktu dia fokus pada keluarga baru, Ratna akan membuka mata dan menyadari akan kedekatannya dengan Abi yang sudah terjalin sejak kecil. Namun, kenyataannya sama sekali berbeda, tidak seperti impian Anin yang selalu ingin bersama Abi. Lagi pula, Anin juga tidak pernah melupakan kalimat yang pernah disampaikannya kepada Abi, bahwa dia akan selalu ada untuk laki-laki tersebut.

Wajah Anin memanas. Perempuan itu dengan susah payah membangun benteng pertahanan, mencegah agar air matanya tidak tumpah. Rasa sesak memenuhi rongga dada. "T—tapi kenapa, Ma? Anin—"

"Abi itu cacat, Anin. Cuma satu kaki yang dia punya. Mengurus dirinya sendiri aja repot, gimana dia bisa melindungi kamu nantinya? Gimana bisa dia buat kamu bahagia?" Ratna memotong kalimat Anin.

Sudah lama dia menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat itu secara vulgar kepada sang anak, tetapi mengetahui fakta bahwa Anin sering kali berbohong demi bisa mengunjungi Abi ke panti asuhan membuat Ratna hilang kesabaran.

Bulir bening yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, kini luruh juga. Anin tidak menyangka Ratna akan mengeluarkan 'kata mutiara' yang sungguh melukai hatinya. Perempuan itu pun menggeleng tanpa sadar.

"Mama kecewa, Anin. Selama ini kamu diam-diam selalu ke panti asuhan dengan membohongi Mama kalau ada kegiatan tambahan di sekolah. Kenapa kamu enggak pernah dengerin Mama untuk jauhi dia? Masih banyak laki-laki normal di luar sana yang lebih baik dari Abi, kan?" Nada bicara Ratna meninggi dari sebelumnya.

"Justru itu, Ma. Karena Abi beda, makanya Anin enggak bisa jauhi Abi. Anin udah janji sama Abi untuk selalu ada, temani Abi sampai dia berhasil jadi pelukis sukses seperti yang dia inginkan, Ma. Anin—"

"Cukup, Anin." Ratna kembali memotong kalimat sang anak dengan dada yang mulai naik-turun. Napasnya terengah-engah seakan wanita itu baru saja berlari maraton. "Mama sayang sama kamu. Akan ada laki-laki yang lebih baik untuk kamu, Sa ... aaarrgh ...."

"Ma! Mama!" Anin yang melihat Ratna ambruk, segera berlari mendekati sang Ibu. "Mama, bangun, Ma! Mama!" Ditepuk-tepuknya pipi Ratna yang pucat pasi.

"Oke ... aku akan jauhi Abi, tapi tolong bangun, Ma!" janji Anin di sela isak tangisnya karena begitu mengkhawatirkan Ratna.

Anin merasakan pedih tak terperi. Di satu sisi, Anin memang ingin selalu ada untuk Abi, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa terus-terusan melihat sang Ibu drop karena mengetahui anak kesayangannya masih saja berhubungan dengan Abi, laki-laki berkaki satu yang dianggap tidak bisa melindunginya kelak.

Lukisan Cinta untuk AnindyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang