Matahari pagi begitu cerah, seakan siap menyambut hiruk-pikuk yang kembali aktif di seluruh penjuru Kota Yogyakarta. Namun, hal itu tidak sebanding dengan semangat Anindya yang masih bersembunyi entah di mana.
"Hmm ... jadi begitu, ya?" Masih dalam posisi duduknya menghadap meja makan, Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Kamu tahu dari siapa kalau Sita sudah membohongi Abi dengan mengatakan kalau semua peralatan lukis itu dari dia?"
Anindya merasa sedikit lega karena sudah menceritakan masalahnya pada Galih usai sarapan.
"Dari Winda, Pa. Temen Anin yang tinggal di panti juga. Kemarin Anin enggak sengaja ketemu Winda dan dia cerita kalau Sita yang selama ini memberikan peralatan melukis yang Abi butuhkan, padahal Sita cuma perantara," ujar Anindya yang merasa terharu dengan kesediaan Galih mendengar curahan hatinya dengan mengesampingkan pekerjaan.
Galih menunda berangkat ke kantor hanya untuk mendengar Anindya bercerita, sehingga dia merasa kalau sang Ayah memang benar-benar memperhatikan dirinya dan bersungguh-sungguh ingin membantu meluruskan kesalahpahaman dengan Abimana.
"Winda juga cerita kalau ...." Anindya menggantung kalimatnya. Dia mendesah lelah. "Winda cerita kalau dia pernah denger Sita menghasut Abi supaya melupakan Anin yang enggak pernah lagi ada buat Abi." Terlihat dengan jelas mendung yang mengantung di wajah cantik Anindya.
"Jujur sama Papa, apa kamu sangat mencintai Abi?"66
Anindya spontan menoleh mendengar pertanyaan sang Ayah. Selama ini, dia tidak pernah memiliki rasa suka terhadap laki-laki mana pun dikarenakan satu nama yang selalu mengisi hatinya. Dan memang benar, orang itu adalah Abimana. Tidak peduli dengan status Abimana sebagai penyandang disabilitas fisik yang hanya memiliki satu kaki. Anindya tidak menyangka Galih akan mempertanyakan hal tersebut.
"Apakah kamu ingin meluruskan kesalahpahaman itu karena tidak ingin Abi meninggalkan kamu?" Galih bertanya lagi. "Kalau memang Abi juga mencintai kamu, dia tentu tidak akan menerima cinta Sita dengan semudah itu."
Anindya menggeleng perlahan. "Jadi menurut Papa, Abi terima cinta Sita, apa karena Abi juga cinta sama Sita?" Netra Anindya mendadak berembun.
"Papa tidak tahu pasti, tapi kemungkinan bisa seperti itu."
Sebisa mungkin Anindya membuat benteng pertahanan yang kokoh, tapi nyatanya tidak bisa. Air mata luruh begitu saja dari kedua sudut matanya.
"Maaf, bukan maksud Papa membuat kamu sedih, Sayang. Tapi alangkah baiknya kalau kamu cari tahu lebih dulu kebenarannya langsung dari Abimana."
Anindya menyeka air matanya dengan tissue yang teronggok di atas meja. Dia mengalihkan pandang ke arah bunga-bunga di taman yang sudah bermekaran. Terlihat cantik dikelilingi kupu-kupu.
"Anin bingung, Pa. Gimana bisa Anin temui Abi, sementara kesehatan Mama selalu drop kalau tahu Anin berusaha menemui Abi?"
Tentu saja Anindya merasa sedih dan bimbang mengingat saat terakhir kali Ratna menyatakan kekecewaannya pada sang anak yang sudah nekat pergi ke panti secara diam-diam. Wanita itu terlihat sangat tidak terima, tetapi seperti enggan untuk menunjukkan amarahnya.
"Papa lihat sendiri, kan? Mama belum mau keluar kamar karena mungkin ... belum bisa maafin Anin yang udah berusaha menemui Abi diam-diam. Walaupun saat itu Anin enggak bisa temui Abi, tapi Mama enggak mau denger penjelasan Anin," ucap Anin di antara isak tangisnya.
Galih tampak sedang berpikir. "Apa mungkin ... Tino yang memberi tahu mamamu soal itu?"
Anindya menoleh. "Pak Tino? Apa mungkin, Pa? Anin udah larang Pak Tino supaya enggak kasih tahu Mama."
"Ya ... mungkin saja Tino keceplosan. Tidak mungkin Mama sengaja menyuruh orang untuk memata-matai kamu, kan?" Galih berasumsi dan Anindya mengangguk lemah.
Suasana hening sejenak. Anindya kembali melemparkan pandang ke taman bunga. Seharusnya, dia melihat Ratna menyibukkan diri di sana usai sarapan, menyiram tanaman juga membersihkan daun kering seperti biasa. Bukan malah berdiam diri di kamar karena sedang merajuk kepadanya.
"Maaf, Pak. Tadi ada telepon dari sekretaris Bapak di kantor. Katanya Bapak sudah ditunggu untuk meeting." Asisten rumah tangga datang memberi tahu Galih.
"Astaga ... sampai lupa." Galih menepuk dahi. "Terima kasih, Bi."
"Sama-sama, Pak. Bibi permisi dulu," pamit Surti, lalu menjauh pergi.
"Papa ada meeting?" Anindya menoleh dan memastikan. Dia jadi tidak enak mengganggu waktu Galih yang seharusnya sudah berangkat kerja.
Galih meringis, memperlihatkan susunan giginya yang putih dan rapi. "Iya, Sayang. Papa sampai lupa," jawabnya.
"Maaf, Pa. Ini salah Anin. Harusnya Anin enggak buang waktu Papa buat sekadar cerita hal yang enggak penting. Lagian masih pagi, harusnya Anin tahu kalau Papa udah waktunya kerja."
Galih berdiri dan mengacak rambut sang anak. "Kamu tidak salah. Papa juga kebetulan lupa kalau ada meeting. Kalau begitu Papa berangkat dulu, ya? Coba nanti kamu antar makan siang Mama ke kamar. Sekalian rayu Mama supaya bisa luluh," pesan Galih.
"Anin akan coba, Pa," janjinya sebelum Galih menjauh meninggalkannya seorang diri di meja makan.
Anindya mencoba untuk kembali mencerna ucapan ayahnya yang mengatakan bahwa seandainya Abi juga mencintai dirinya, dia tentu tidak akan menerima cinta Sita dengan mudah. Hal itu menjadikan Anin berpikir. Apakah benar, Abi juga menaruh hati pada Sita? Hari masih pagi, tetapi Anin terpaksa harus menerima kenyataan pahit itu.
Beberapa menit kemudian, Anindya memutuskan untuk kembali ke kamar. Dari arah yang sama, dia mendengar gawainya berbunyi nyaring, membuat Anindya melebarkan langkah supaya lekas sampai di tempat yang dituju.
Anindya buru-buru meraih benda pipih yang teronggok di atas nakas. Sontak dia menepuk dahi setelah melihat siapa yang menelepon.
"Ha—halo, selamat pagi." Anindya mencoba untuk menyapa pelanggannya seramah mungkin.
"Kak, enggak usah basa-basi, deh! Pesenan saya kenapa belum dikirim juga? Padahal seharusnya ... semua peralatan lukis yang saya pesan udah sampai dari kemarin. Saya jadi rugi karna harus belanja ulang di tempat lain dan lebih mahal. Saya enggak mau tahu, ya! Kakak harus refund uang saya dua kali lipat sebagai ganti rugi! Kalau enggak, saya sebarin ke semua orang biar mereka tahu Kakak udah coba menipu saya!"
Belum sempat Anin menjawab, pelanggannya itu sudah mengakhiri sambungan telepon.
Anindya mengempaskan dirinya di tepi tempat tidur. Dia mendadak bingung dan merasa bersalah karena telah mengabaikan pesanan pelanggan. Karena Abimana, Anindya menjadi kurang fokus belakangan ini.
Sejenak kemudian, Anindya baru ingat bahwa ada Riri yang selalu bisa membantunya ketika sedang dalam masalah. Dia pun mencoba untuk mengirim pesan kepada Riri untuk mengajaknya berbicara.
"Mbak Anin, gawat, Mbak!" Surti tiba-tiba datang dan mengejutkan Anin yang baru saja menyentuh tanda panah untuk mengirim pesan.
"Gawat apanya, Bi?" tanya Anindya tidak mengerti.
"Itu, Mbak Anin. Ibu ...."
Surti tidak melanjutkan kata-katanya. Wanita paruh baya yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten rumah tangga di kediaman Galih itu justru berlari menjauh, membuat Anindya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada sang Ibu. Dia pun berlari mengikuti Surti dengan rasa cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Cinta untuk Anindya
DragosteAnindya sudah lama bersahabat dengan Abimana dan menaruh hati kepadanya. Tidak peduli dengan status laki-laki itu yang menyandang disabilitas fisik. Ya, Abimana adalah laki-laki cacat yang hanya memiliki kaki kanan sebagai tumpuan. Namun, cinta Anin...