BAB 4

10 1 0
                                    


"Bisa tolong carikan kaki palsu?" pinta Abimana kepada Sita.

Sita tidak pernah berpikir Abimana akan memiliki keinginan seperti itu. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Seandainya Abimana menggunakan kaki palsu, dia akan terlihat lebih sempurna tanpa tongkat yang selalu dia gunakan sebagai penyangga. Dengan begitu, Sita akan bisa menunjukkan dengan bangga kepada Anindya bahwa Abimana telah berubah.

"Ide yang bagus, Sayang. Kamu kenapa tiba-tiba punya pikiran buat beli kaki palsu?" Wajah Sita dibuat lebih semringah, seolah-olah memang senang dengan keputusan Abimana. Tanpa laki-laki itu tahu, bahwa ada tujuan tertentu yang ada dalam diri Sita untuk membuatnya lebih menjauh dari Anindya.

Abimana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kasar. "Karna aku harus bisa bertumpu pada kedua kakiku sendiri tanpa menyusahkan siapa-siapa lagi," katanya sembari menatap pilu pada tongkat yang selalu membantunya untuk berjalan. Tongkat yang sejak remaja menemani setiap langkah.

Ingatan Abimana pun melambung ke masa silam, saat dia menerima tongkat itu pertama kali.

Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu menghampiri Abimana yang tengah berkecil hati, karena tongkat yang biasa digunakannya untuk berjalan telah rusak. Di satu tangannya terdapat paper bag berwarna cokelat muda, sedang di tangan kanannya membawa tongkat baru yang sama persis dengan tongkat milik Abimana yang sudah rusak.

"Anin?" sapa Abimana yang tidak percaya melihat kedatangan Anindya.

Senyum lebar menghiasi wajah ayu Anindya yang napasnya terlihat naik turun tidak stabil. "Hai, Abi." Gadis itu balas menyapa. "Tongkat baru buat kamu," sambungnya sambil menyorongkan tongkat kayu berwarna cokelat tua.

"Dari mana kamu tahu kalau tongkatku rusak?" selidik Abimana.

Anindya mengempaskan dirinya di bangku sebelah Abimana yang baru saja menyelesaikan lukisan. "Itu bukan masalah penting, Abi. Yang jelas, aku bawa tongkat ini sebagai pengganti tongkat kamu yang rusak. Aku denger ... Bu Ning lagi dalam kesulitan dan belum bisa beliin tongkat baru. Jadi aku harap, tongkat ini bisa bermanfaat buat kamu," ucap Anindya disertai dengan senyum manis. Senyum yang selalu membuat Abimana lebih bersemangat ketika melihatnya.

"Seharusnya kamu enggak perlu repot-repot. Aku enggak mau jadi benalu dalam hidup kamu." Abimana berkata jujur.

Abimana melihat senyum Anindya yang jelas tampak memudar. "Buat aku, kamu bukan benalu, Abi. Bukankah sejak kecil kita udah janji bakal selalu bersama? Jadi walaupun aku enggak bisa di sini setiap waktu sama kamu, seenggaknya tongkat ini bisa jadi gantinya. Setiap kamu melangkah dengan tongkat ini, anggap aja kalau kita lagi jalan berdua." Anindya mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Abimana tidak pernah melupakan saat-saat dirinya bersama dengan Anindya. Setiap detik kebersamaan mereka selalu terpatri dalam ingatan. Namun, Abimana begitu kecewa saat mendengar dari Sita bahwa Anindya harus menjauhi dirinya karena permintaan kedua orang tua angkat. Bahkan Abimana lebih kecewa ketika Sita memperlihatkan potret Anindya yang sedang berdua dengan seorang laki-laki. Hal itulah yang membuat hati Abimana tergerak untuk melupakan Anindya yang sepertinya memang bukan jodohnya.

"Aku habis lihat-lihat di web. Ada satu nama pembuat kaki palsu yang menurutku bagus. Tapi, tunggu. Aku harus buat perbandingan dulu sebelum pesan kaki palsunya, kan? Supaya nanti kamu bisa dapat kaki palsu yang bagus dan berkualitas."

Abimana tidak memperhatikan ucapan Sita. Isi kepalanya masih sibuk memutar video kebersamaannya dengan Anindya yang dulu begitu menyenangkan bagi Abimana, tetapi kini membuat luka tersendiri karena pada kenyataannya Anindya tidak akan pernah bisa dia miliki.

Sita mendengkus kesal melihat Abimana melamun. "Abi, kamu denger aku atau enggak, sih?" serunya sambil menggoyangkan bahu Abimana, membuat laki-laki itu terkesiap.

"Eh, iya. Maaf, Sita. Kamu bicara apa tadi?"

Sita hendak mengulang kata-katanya, tetapi urung karena melihat Abimana yang sepertinya sedang tidak bisa berkonsentrasi.

"Kamu mikir apa? Bukannya kamu udah janji sama aku, kalau kita lagi berdua ... tolong banget! Kamu jangan mikirin dia, Abi. Dia udah enggak peduli sama kamu. Inget, Bi. Aku yang selalu ada buat kamu sekarang, bukan dia." Sita mengomel. Dia merasa kesal karena ternyata sulit sekali membuat Abimana melupakan Anindya. Padahal, dia ingin menunjukkan kepada Anindya bahwa Abimana sudah tidak menginginkannya lagi.

Sita sudah bersusah payah mengadu domba Anindya dengan Abimana selama empat tahun belakangan. Dia tidak ingin rencananya untuk menjauhkan Anindya dari Abimana gagal begitu saja, karena satu-satunya hal yang diinginkan Sita saat ini adalah melihat Anindya terpuruk. Dia tidak mau melihat perempuan yang dibencinya, hidup bahagia bersama laki-laki pilihan.

"Aku enggak mikir apa-apa. Tadi cuma lagi kepikiran aja. Mungkin kalau aku pakai kaki palsu, kamu enggak akan kerepotan lagi bantu-bantu aku. Aku juga bisa lebih leluasa melukis dan ...." Abimana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Dan ... apa?" Sita mengerutkan kening. Dia menunggu Abimana melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

"Aku udah memutuskan untuk mengontrak rumah. Kupikir, di sana aku akan lebih leluasa bergerak. Aku butuh ruang buat semua lukisanku nantinya dan enggak mungkin aku memenuhi setiap ruangan di yayasan ini dengan peralatan lukis, bahkan hasil lukisanku juga."

Sita tersenyum miring. "Ide yang bagus." Tentu saja dia sangat mendukung keinginan Abimana. Karena dengan begitu, Anindya tidak akan bisa menemui Abimana lagi.

"Kamu bisa bantu aku pindahan, kan?"

"Emangnya kapan mau pindah? Kamu enggak akan kasih tahu Anindya soal ini, kan? Aku pikir ... dengan kamu menjauh dari dia, kamu bakal bisa move on dan bisa menghargai keberadaanku di samping kamu. Iya, kan?" Sita duduk di samping Abimana, meraih lengannya dan menyandarkan kepala di sana, berpura-pura baik dengan bergelayut manja.

"Enggak akan. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Anin udah enggak peduli sama aku lagi? Jadi buat apa?" Abimana berdusta. Apa yang dia katakan barusan sangat bertentangan dengan isi hati sebenarnya, tetapi bagaimanapun juga, dia harus menghargai keberadaan Sita yang selalu membantunya.

"Oke, aku pasti bantu kamu." Senyum Sita merekah. Dia tidak sabar melihat Anindya semakin kecewa karena tidak akan bisa menemui Abimana lagi setelah laki-laki itu pindah ke tempat yang baru.

Sita melepas genggamannya dari lengan Abimana. "Oh ya, aku ambilin makanan dulu buat kamu. Aku habis masak tadi," ujar Sita dengan semangat. Bukan semangat karena hendak meladeni Abimana, tetapi semangat karena tidak sabar ingin melihat Anindya berada pada titik paling bawah yang dia inginkan selama ini.

Begitu Sita beranjak dari tempat duduk, dia tidak sengaja menyenggol dompet Abimana yang terletak di sisi meja. Dompet itu terjatuh dan tidak sengaja terbuka.

"Abi, kamu udah janji sama aku mau lupain Anin, kan? Tapi kenapa fotonya masih ada di dompet kamu?" 

Lukisan Cinta untuk AnindyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang