BAB 3

15 1 0
                                    


"Pa, gimana kondisi Mama sekarang? Apa Mama udah lebih baik?"

Anindya memberanikan diri bertanya pada Galih—ayah angkatnya—saat mereka sarapan berdua tanpa sang Ibu. Perempuan itu lalu menunduk. Dia merasa tidak enak karena telah menjadi penyebab kesehatan ibunya menurun.

Ratna memiliki penyakit lemah jantung. Hal itulah yang terpaksa membuat Anindya selalu menuruti kemauan Ratna. Dia tidak pernah menolak sekali pun permintaan ibu angkatnya, karena kesehatan Ratna akan menurun jika mendengar sesuatu yang tidak diinginkan terlebih tentang Anindya.

Namun, entah kenapa kemarin Anindya lengah dan mengabaikan pesan sang Ibu dengan bertekad pergi ke panti asuhan untuk menemui Abimana. Meskipun akhirnya dia tidak dapat menemukan laki-laki itu di sana, melainkan ibu panti yang agak dibencinya karena menurut Anindya, wanita itu adalah salah satu penyebab terpisahnya dia dari Abimana.

Galih menghela napas berat. "Mama sudah lebih baik, tapi belum mau keluar kamar," jawabnya sambil meraih segelas susu yang tersaji di meja.

"Maaf, Pa. Ini salah Anin. Harusnya Anin denger kata Papa dan enggak ceroboh main pergi ke panti gitu aja," sesal Anindya dengan wajah tertunduk. Dia takut terjadi apa-apa dengan sang Ibu yang selama ini sudah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu tenang saja, Sayang. Nanti Papa yang akan jelaskan ke Mama. Mudah-mudahan mamamu bisa ngerti. Lagi pula, Mama harus menyadari bahwa anak gadisnya sudah bertumbuh menjadi perempuan dewasa yang sudah pasti punya banyak keinginan sendiri."

Selama ini Anindya merasa cukup nyaman dengan Galih yang selalu mengerti tentang dirinya. Meskipun terkadang rasa canggung itu masih Anindya rasakan saat bersama dengan sang Ayah, tetap saja hanya lelaki itu yang bisa mendengar semua keluh kesah Anindya tanpa ditutup-tutupi. Berbeda dengan Ratna yang mudah syok bila mendengar sesuatu yang tidak dia inginkan.

"Oh, ya. Gimana dengan tugas kuliah kamu? Sebentar lagi kamu skripsi, kan?"

Anindya mengangguk lemah. Memasuki jurusan yang sama sekali tidak disukai membuat Anindya merasa kesulitan dalam belajar, tetapi berkat bantuan Riri—sahabatnya yang memiliki otak encer—Anindya menjadi bisa sedikit lebih maju. Walaupun dia merasa tidak nyaman setiap kali sang Ayah bertanya tentang hal itu, tetapi Anindya tetap bisa membawa diri dengan baik di hadapan orang tua angkatnya.

"Kamu mau ke kampus hari ini? Mau bareng sama Papa?" tanya Galih.

"Enggak, Pa. Hari ini Anin enggak ada kelas."

"Kalau soal bisnis online shop kamu gimana? Lancar, kan?"

Pertanyaan Galih membuat Anindya terbelalak. Karena masalah menyangkut Abimana cukup menyita seluruh perhatiannya, Anindya melupakan jadwal yang seharusnya mengirimkan beberapa barang kepada pelanggan.

"Emmm ... Anin lupa belum kirim barang, Pa. Untung Papa ingetin. Semoga aja pelanggan Anin enggak marah karna Anin telat kirim pesanan."

Galih menatap Anindya dengan penuh selidik. "Gimana bisa kamu melupakan kewajiban untuk itu, Sayang? Apa yang sebenarnya terjadi? Bisakah cerita ke Papa tentang kendala bisnis kamu?"

Anindya sama sekali tidak berani menatap netra sang Ayah. Meski berulang kali laki-laki itu memintanya untuk bersikap biasa saja layaknya seorang anak dan ayah pada umumnya, tetap saja Anindya tidak bisa. Rasa segan selalu ada, bahkan Anindya masih merasa kalau dirinya bukan siapa-siapa di rumah yang dia tempati bertahun-tahun.

"Apa ... itu ada kaitannya dengan kejadian kemarin?" selidik Galih dengan alis saling bertaut. Meskipun tangannya sibuk mengoleskan selai pada selembar roti tawar di piringnya, netra Galih tidak lepas dari Anindya yang sudah dianggapnya seperti anak kandung.

Kali ini Anindya memberanikan diri membalas tatapan Galih. "Iya, Pa. Anin jadi kurang fokus, sampai lupa harus belanja keperluan online shop." Beberapa detik kemudian, dia kembali menunduk. "Padahal seharusnya Anin udah kirim pesanan," sambungnya.

"Kalau gitu kamu harus belanja secepatnya. Minta diantar sama Pak Tino. Atau ... gimana kalau kamu coba saran Papa?"

Anindya mendongak. "Saran apa, Pa?"

"Papa bisa pinjami kamu modal supaya bisa buka pabrik untuk proses produksi peralatan lukis yang kamu butuh. Kebetulan Papa ada teman yang punya tempat kosong di Jogja kota. Jadi kamu bisa manfaatkan itu sekaligus menciptakan lapangan kerja untuk mereka yang membutuhkan."

Anindya sudah menduga jika Galih sudah pasti akan membahas itu lagi. Bagaimanapun, dia masih belum siap jika harus membuka pabrik dan merekrut pekerja dalam jumlah banyak. Mengerjakan tugas kuliah saja Anindya merasa tidak sanggup, apalagi jika harus memikirkan ide ayahnya yang tentu saja tidak mudah bagi Anindya.

"Anin belum siap untuk itu, Pa. Tugas kuliah masih banyak dan—"

"Kamu pusing mengerjakannya?" sahut Galih seolah-olah bisa mendengar suara hati anaknya.

"Seperti itulah, Pa. Anin harus berusaha meluluhkan hati Mama dulu, kan? Anin enggak mau mama kecewa. Karna itu, apa pun yang terjadi, Anin harus tetap berusaha." Anindya mengucapkan kalimatnya dengan tatapan kosong.

Galih menjadi tidak tega melihat putrinya yang selalu mengalah dan menuruti kemauan sang istri. Dia tahu Ratna sangat menyayangi Anindya, bahkan takut kehilangan anak itu. Akan tetapi, Galih merasa, seharusnya dia dan istrinya memperlakukan Anindya lebih baik lagi dengan membiarkan dia memilih jalannya sendiri. Bukan malah menentukan apa pun yang harus Anindya jalani.

Galih mendesah lelah. Dia menyadari kesalahannya yang membiarkan Ratna seolah-olah 'menyetir' Anindya sejak kedatangannya di rumah. Melihat kondisi Ratna sekarang benar-benar membuat Galih merasa bingung harus bagaimana membicarakan masalah Anindya kepada sang istri.

"Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan, Sayang?" Galih bertanya dengan sungguh-sungguh.

Anindya menatap bingung sang Ayah. "Maksud Papa?"

"Jangan segan untuk mengatakan ke Papa tentang apa yang menjadi keinginan kamu sekarang. Papa ingin tahu apa yang membebani pikiran kamu. Siapa tahu Papa bisa bantu."

Anindya merasa tersentuh dengan uluran tangan Galih, tetapi tetap saja dia tidak enak mengatakan yang sebenarnya, bahwa keinginannya yang paling besar saat ini adalah bertemu dengan Abimana.

"Papa enggak akan bisa bantu. Ini masalah pribadi Anin dan enggak ada sangkut-pautnya sama tugas kuliah atau bisnis yang Anin jalani, Pa." Anindya berkata tegas.

Memang benar yang diucapkan Anindya. Masalah tentang Abimana, tentu Galih akan mengikuti permintaan Ratna yang menginginkan Anindya jauh dari laki-laki penyandang disabilitas fisik tersebut. Karena sejak awal, Galih turut meyakinkan Anindya untuk menjauhi Abimana demi kesehatan Ratna. Jadi, Anindya merasa mustahil jika meminta bantuan Galih untuk berbicara pada Ratna mengenai Abimana.

Wajah Anindya mulai terasa panas. Dia merasa frustrasi.

"Bagi Papa enggak masalah, mau itu masalah pribadi atau bukan. Papa mau coba dengar curahan hati kamu tentang apa pun itu. Karena Papa lihat belakangan ini, kamu seperti kurang semangat."

Anindya menghapus air matanya yang lolos begitu saja, tidak percaya Galih akan sangat perhatian terhadapnya.

"Abimana, Pa. Anin cuma mau ketemu Abimana," ucapnya sangat lirih karena takut terdengar oleh Ratna. Bibir Anindya bergetar dan dia mulai terisak.

Lukisan Cinta untuk AnindyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang