BAB 2

18 1 0
                                    


"Ma, A—Anin kira Mama ikut Papa ke kantor," sapa Anindya dengan terbata-bata. Dia pikir, rumah sepi dan bisa bebas untuk sekadar melepas penat di kamar, tetapi ternyata ada sang Ibu di rumah. Anindya jadi tidak enak jika harus bersantai-santai di depan ibu angkat yang selalu dia segani.

Ratna yang sejak tadi duduk di sofa, kini berdiri dan menghampiri putrinya. "Kenapa kamu harus bohong sama Mama?" Ratna bertanya dengan gurat kesedihan yang terpancar jelas di wajahnya.

Anindya tidak mengerti dengan maksud Ratna. "Bo—bohong gimana maksud Mama?"

"Jadi selama ini kamu masih perhatikan Abi tanpa sepengetahuan Mama? Padahal kamu pernah janji sama Mama kalau kamu enggak akan berhubungan lagi dengan laki-laki itu, kan, Sayang? Kenapa kamu harus bohongi Mama?" cecar Ratna seraya berjalan mendekati Anindya.

Belum sempat Anindya meluruskan kesalahpahaman dengan Abimana, satu masalah datang lagi. Anindya merasa tidak siap menghadapinya dalam waktu bersamaan. Dia jadi penasaran, dari mana ibunya tahu tentang hal itu.

Anindya meraih kedua tangan Ratna. "Ma, bukan gitu maksud Anin. Anin enggak ada maksud buat bohongi Mama. Anin cuma—"

"Mama sangat kecewa sama kamu, Anindya." Wanita itu berkata dengan tegas dan lugas, lalu meninggalkan Anindya seorang diri di ruang tamu.

"Ma, Anin bisa jelasin." Anindya ingin memberi penjelasan pada Ratna, tetapi wanita itu sama sekali tidak menghiraukannya dan tetap menjauh dari Anindya. "Ya Tuhan, aku harus gimana?" lirih Anindya yang terduduk lemas di sofa. Lagi-lagi wajahnya basah oleh deraian air mata yang entah sudah ke berapa kalinya mengalir sejak pagi. Hatinya menginginkan untuk selalu dekat dengan Abimana, tetapi entah kenapa Ratna selalu kukuh untuk menentangnya.

***

Abimana meninggalkan panti bukan tanpa alasan. Dia bersama teman sesama penyandang disabilitas fisik yang tergabung dalam klub pencinta lukisan, sedang mengadakan study tour. Mereka mengunjungi galeri pelukis difabel ternama yang tergabung dalam Association of Mouth and Foot Painting (AMFPA) di Salatiga milik Sabar Subadri.

Ketika sedang asyik mendengar Sabar bercerita, fokus Abimana beralih pada getar ponsel dari dalam saku celananya. Karena merasa penasaran, Abimana segera mengambil benda pipih itu dan memeriksanya.

Bu Ning:

Kamu pasti enggak akan percaya, Nak. Tapi Ibu harus sampaikan ini. Tadi Anindya datang mencari kamu.

Seperti itulah isi pesan yang dikirim Bu Ning. Pesan yang tidak begitu panjang, tetapi berhasil membuat Abimana merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya.

Abimana memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana tanpa berniat membalas pesan Bu Ning. Bagi Abi, diamnya Anindya selama ini sudah cukup membuktikan bahwa perempuan yang dia harapkan itu tidak lagi menganggap dirinya penting.

Suara di sekitar sudah tidak dihiraukan lagi. Ingatan Abimana justru melayang ke masa silam. Saat Anindya kecil masih berada di sisinya.

"Jangan sedih, Abi. Aku akan selalu ada untuk kamu. Kita akan selalu bersama selamanya." Demikian janji Anindya kala itu.

Abimana yang seharusnya bersyukur telah selamat dari kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua, justru merasa sangat terpuruk akibat kehilangan kaki kirinya. Namun, berkat Anindya yang selalu ada dan memberinya semangat, Abimana tidak lagi mempermasalahkan satu kaki yang dimiliki sehingga bisa bersemangat lagi.

Anindya juga selalu menghibur Abimana saat dia tengah bersedih karena teringat kedua orang tuanya yang telah tiada. Meskipun hal itu tidak mudah bagi Anindya mengingat kedua orang tuanya yang juga telah tiada.

"Kalau kamu sedih, aku juga sedih, Abi. Aku jadi inget Ayah sama ibuku. Tapi aku percaya, mereka udah di surga dan aku bisa ketemu sama mereka lagi suatu saat nanti," gumam Anindya yang tidak kunjung mendengar Abimana bersuara. "Aku enggak punya siapa-siapa. Tapi dengan adanya kamu, aku jadi enggak merasa sendiri lagi. Karna kita akan selalu bersama kan, Abi?" sambung Anindya.

Abimana menoleh dan mendapati wajah Anindya yang telah basah oleh air mata. Diam-diam rasa bersalah menyelinap ke dalam hatinya karena telah membuat Anindya terjerumus ke dalam rasa yang sama, rasa sedih tidak terkira.

"Maaf, Anin. Aku enggak bermaksud buat kamu ikut sedih." Abimana menghapus air mata Anindya dengan jemarinya. "Jangan nangis lagi, ya?" pintanya.

"Asal kamu janji enggak akan sedih lagi," balas Anindya dengan menatap sendu pada Abimana.

Abimana menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Iya, janji."

"Bi, Abi. Kamu ngelamun? Itu Pak Sabar tanya, kamu dari kapan belajar melukis?" seru Haikal, teman Abi yang juga menyandang disabilitas fisik. Haikal memiliki kaki dan tangan yang lengkap. Hanya saja, ada kelainan pada kedua tulang kaki Haikal sehingga menyebabkan pertumbuhannya tidak sempurna dan membuat Haikal tidak bisa berjalan.

Abimana tergagap dan mengalihkan pandangannya pada Sabar Subadri yang tengah menatapnya dengan seulas senyum.

"Jadi mulai kapan kamu gemar melukis? Saya lihat kamu cukup berbakat. Lukisan kamu bagus," puji Sabar dengan sorot mata teduh.

Abimana kembali teringat pada senyum Anindya kecil saat gadis itu memberinya peralatan melukis untuk pertama kali, selang sehari setelah Abimana mengatakan bahwa dirinya suka melukis dan mengungkapkan pada Anindya tentang keinginannya menjadi seorang pelukis.

"Saya suka melukis sejak umur enam tahun, Pak. Almarhumah Ibu yang pertama mengenalkan kepada saya tentang lukisan."

Pelukis terkenal bernama lengkap Sabar Subadri itu mengangguk. "Kamu mengikuti les atau ...."

"Belajar otodidak, Pak. Saya belajar melukis dengan bekal video yang saya pelajari setiap hari."

"Bagus, Abi. Dan untuk teman-teman semua juga, kalian harus tahu. Dari mana pun kita belajar, tentu enggak jadi masalah selama kita memerhatikan baik-baik tentang apa yang kita pelajari."

Abimana dan semua temannya mengangguk menyetujui kalimat yang dilontarkan Sabar. Pelukis difabel yang tergabung dalam AMFPA itu cukup memotivasi Abimana supaya dirinya bisa lebih maju dan kelak menjadi pelukis terkenal pula.

Beberapa menit setelah acara penutupan, Abimana merasakan ponselnya kembali bergetar. Dia sudah bertekad tidak akan membalas seandainya pesan itu berasal dari Bu Ning yang membahas tentang Anindya. Abimana sudah cukup kecewa dengan perempuan itu yang selama empat tahun ini telah menjauh darinya.

Selain itu, Abi sangat kecewa saat mendengar dari Sita bahwa Anindya telah memiliki seorang kekasih. Abimana tentu sadar betul bahwa dirinya hanya laki-laki cacat yang tidak pantas mengharapkan cinta Anindya, gadis cantik berbadan sempurna yang telah lama diadopsi keluarga kaya.

Abimana membuka layar kunci ponsel dan melihat pesan dari Sita. Membaca pesan dari perempuan yang beberapa hari ini menjadi kekasihnya membuat hati Abi mendadak terasa pedih. Dia tidak sadar telah mencengkeram ponselnya kuat-kuat karena rasa kecewanya begitu membuncah.

Sita:

Sayang, gimana acara hari ini? Lancar, kan? Oh ya, tadi aku enggak sengaja lihat Anin sama pacarnya.

Lukisan Cinta untuk AnindyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang